Walhi: Perkebunan dan Tambang Biang Bencana Ekologi

Penulis : Aryo Bhawono

Lingkungan

Rabu, 01 Februari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Sektor perkebunan, pertambangan, infrastruktur, hingga pariwisata dinilai menjadi kontributor dalam bencana ekologis di Indonesia. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat hubungan bisnis sektor tersebut dengan kekuasaan kian memperparah dampak terhadap lingkungan. 

Walhi mencatat bencana ekologis yang disebabkan manusia seperti banjir serta kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) tak lepas dari berkembangnya perkembangan empat sektor, yakni perkebunan pertambangan, infrastruktur, dan pariwisata. 

"Sektor kehutanan dan perkebunan, pertambangan. Dua sektor ini menjadi aktor utama terjadinya bencana ekologis di Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi," kata Zenzi dalam peluncuran Tinjauan Lingkungan Hidup, Selasa (31/1).

Zenzi menyebutkan data BNPB mencatat sepanjang 2021 terjadi 2.943 bencana, yang didominasi oleh bencana hidrometeorologi. Bencana yang dipengaruhi oleh kondisi iklim, mencapai 1.288 kejadian, longsor 623, dan puting beliung 677. 

Indonesia semakin sering mengalami bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim. Foto udara menunjukkan situasi usai banjir bandang melanda Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada September 2020. Dok Teguh Pratama/Tim Reaksi Cepat BNPB

Walhi memprediksi tahun 2022 bencana hidrometeorologi akan meningkat sebesar 7 persen. Sementara untuk banjir akan meningkat di lebih dari 17 persen dan longsor lebih dari 7 persen. Angka ini akan meningkat signifikan jika tidak ada upaya pemulihan lingkungan hidup berbasis capaian, serta upaya menurunkan angka kerentanan.

Keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha membuat industri sektor ekstraktif tersebut berkembang tanpa memiliki keberpihakan kepada masyarakat dan lingkungan. Zenzi mengungkap di era pemerintahan Presiden Jokowi sendiri negara dan pemerintah tak sanggup menjadi pengelola sumber daya alam. 

“Dalam 3 tahun ini tidak hanya orang yang bekerja untuk bisnis. Tetapi negara yang dibuat bekerja untuk bisnis,” ucapnya.

Ia menyebutkan beringasnya perpaduan bisnis sektor ekstraktif dengan kekuasaan juga menghasilkan perampasan Wilayah Kelola Rakyat, deforestasi penghancuran lingkungan, dan penggusuran. Hal ini juga akan mengalami peningkatan jika pengurus negara terus menggenjot 211 proyek dan program strategis nasional, yang dilegitimasi melalui Undang-Undang Cipta Kerja. 

Setidaknya ada sebanyak 47 proyek (17 persen) bendungan, pembangunan jalan tol sebanyak 56 proyek (30 persen), pelabuhan sebanyak 15 proyek, sebanyak 8 proyek pembangunan bandara, sebanyak 16 proyek kereta api, sebanyak 15 sektor energi, program food estate, program Pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) di 5 provinsi, serta proyek/program lainnya. Proyek-proyek strategis ini akan menambah rentan wilayah perkotaan, hutan serta pesisir dan pulau-pulau kecil.