Batas Kuota Emisi PLTU Batu Bara Jangan Jadi Solusi Permanen

Penulis : Kennial Laia

Energi

Jumat, 03 Februari 2023

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID -  Pemerhati lingkungan menilai pembatasan kuota emisi bagi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bertenaga batu bara bukan solusi permanen untuk mengurangi emisi karbon di Indonesia. Sebaliknya pemerintah didorong untuk memprioritaskan mekanisme yang mendorong percepatan pensiun pembangkit listrik batu bara. 

Sebelumnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 16 Tahun 2022. Aturan ini menerapkan batasan emisi yang dihasilkan perusahaan pembangkit listrik dan efektif berlaku tahun ini. 

“Pembatasan kuota emisi harus bersifat sementara dan menjadi disinsentif bagi PLTU batu bara, bukan menunda transisi energi dan menjadi justifikasi bagi keberadaan PLTU batu bara,” kata Tata Mustasya, Koordinator Regional Kampanye Energi dan Iklim Greenpeace Indonesia kepada Betahita, Selasa, (31/1/2023). 

“Jadi pembatasan kuota emisi ini harus ketat dan menerapkan standar yg tinggi dan merupakan bagian percepatan transisi energi di mana di semua PLTU harus sudah phase out di 2040,” imbuh Tata.

Sekelompok anak-anak bermain dilatari pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU). Foto: Greenpeace Indonesia

Menurut Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, M.P. Dwinugroho, terdapat 99 pembangkit listrik yang akan memasuki fase pertama tahun ini. Di antaranya PLN Nusantara Power, PT Cirebon Electric Power, PLN Indonesia Power, dan Central Java Power Plant. 

Menurut Dwi, dasar pembatasan emisi karbon yang diatur ini ialah Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha Pembangkit Tenaga Listrik (PTBAE-PU) atau penetapan kuota emisi yang diberikan kepada pelaku usaha. Skema ini akan diterapkan dalam tiga fase. Fase pertama dijalankan pada 2023 dan menyasar perusahaan pembangkit yang terhubung ke jaringan listrik PT PLN. 

Terdapat kategori PTBAE yang masuk fase pertama ini. Pertama, PLTU non-mulut tambang berkapasitas 100-400 megawatt (MW), yang ditetapkan dengan 1,011 ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e)/MWh. Kemudian PLTU non-mulut tambang berkapasitas lebih dari 400 MW, dengan PTBAE sebesar 0,911 ton CO2e/MWh.

Ketiga, PLTU mulut tambang berkapasitas lebih dari atau sama dengan 25-100 MW, dengan PTBAE sebesar 1,297 ton CO2e/MWh. Lalu PLTU mulut tambang berkapasitas lebih dari atau sama dengan 100 MW, dengan PTBAE 1,089 ton CO2e/MWh.

Melalui aturan itu, pemerintah juga mengatur sanksi bagi PLTU yang melanggar batasan kuota yang telah ditentukan. Hukuman ini berupa pengurangan kuota emisi karbon pada tahun berikutnya.

"Kalau melanggar, ya, ke depan tidak bisa segitu lagi, cekek lagi, bukan dinaikkan," kata Dwi, dikutip dari Tempo, Jumat (27/1/2023). 

Pemerintah mengatur dua mekanisme jika PLTU mengalami defisit yakni melebihi kuota emisi yang telah ditentukan. Perusahaan bisa membeli emisi kepada perusahaan lain yang mengalami surplus atau emisi yang dihasilkan di bawah PTBAE-PU. Cara lainnya, melalui mekanisme offset emisi dengan membeli sertifikat pengurangan emisi gas rumah kaca dari perusahaan lain. Sertifikat ini nantinya dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

Perusahaan juga dapat melakukan cara lain jika tidak memilih dua opsi di atas. Misalnya dengan mengembangkan mengembangkan energi terbarukan, membangun pembangkit listrik tenaga surya, atau pembangkit listrik tenaga bayu, membangun teknologi yang lebih ramah lingkungan, ataupun membeli lahan untuk penghijauan. 

Melalui cara itu, Dwi mengatakan pemerintah mendorong transformasi untuk pengurangan emisi dengan energi bersih. 

Namun, Tata mengatakan mekanisme offset tidak bisa menjadi sanksi bagi pencemar, termasuk PLTU batu bara. Menurut Tata, yang harus segera dilakukan oleh pemerintah adalah implementasi pajak karbon untuk PLTU batu bara yang dinaikkan terus secara bertahap dan merupakan bagian dari phase out PLTU batu bara sebelum 2040. 

“Kuota emisi seharusnya menjadi bagian dari percepatan transisi energi dan phase out PLTU batu bara bukan menjadi justifikasi penggunaannya. Untuk itu, eksternalitas PLTU termasuk dampak buat masyarakat, harus dihitung dan dibebankan pajak,” tambah Tata. 

Sementara itu, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Dwi Sawung mengatakan, pembatasan kuota emisi terhadap pembangkit listrik bertenaga batu bara tetap memberi ruang bagi pencemar untuk menghasilkan emisi. Emisi gas rumah kaca dari pembakaran batu bara merupakan penyumbang terbesar pada krisis iklim. 

“Peraturan ini sama saja seperti memberi izin jual-beli pencemaran kepada perusahaan. PLTU batu bara ini akan tetap beroperasi dan masyarakat sekitar tetap terdampak polusi,” kata Dwi. 

“Walhi juga menolak skema offset, karena skema ini mengizinkan pencemar melepas tanggung jawab dengan membeli sesuatu di luar wilayahnya, serta mengorbankan masyarakat di tempat tersebut dan mengunci negara lain (dalam jumlah emisi karbonnya). Ini kan tidak fair,” pungkas Dwi.