300 Juta Ton Limbah Freeport Rusak Sungai dan Pesisir Mimika

Penulis : Aryo Bhawono

Tambang

Jumat, 03 Februari 2023

Editor : Kennial Laia

BETAHITA.ID -  Lebih dari 6.000 jiwa warga terdampak limbah tailing PT Freeport Indonesia luput dari tanggung jawab perusahaan dan perhatian pemerintah. Sekitar 300 juta ton limbah tailing Freeport (FI) menyebabkan kerusakan sungai hingga pesisir Mimika, Papua Tengah. 

Sekitar 300 juta ton limbah tailing PT FI setiap harinya merusak sungai hingga muara di Mimika. Warga turut menanggung pencemaran ini karena pendangkalan hingga menyebarnya bibit penyakit. 

Dampak ini dialami warga Suku Sempan, Amungme, Kamoro, terutama warga yang tersebar di 23 kampung di Distrik Jita, Distrik Agimuga, dan Distrik Mimika Timur Jauh. Anggota DPR Papua, John Gobay dan perwakilan Yayasan Lepemawi, Adolfina Kuum, mengungkap PT FI selama ini tidak melakukan apapun untuk menanggulangi hal ini. 

Pada Rapat Dengan Pendapat (RDP) di Komisi IV DPR RI Rabu, (01/02/2023), mereka mendesak pemerintah untuk segera melakukan audit atas seluruh operasi pertambangan Freeport, terutama dampaknya terhadap warga dan lingkungan. 

Tampak dari ketinggian kondisi sungai di sekitar PT Freeport Indonesia./Foto: PT FI

“Pendangkalan atas sungai-sungai oleh limbah tailing itu nyata terjadi. Kehidupan warga suku Kamoro dan Sempan, yang dikenal  budaya  3S (sungai, sampan, dan sagu) mulai hilang,” ujar John Gobay. 

Dolim sapaan Adolfina Kuum, mempertanyakan ketakberdayaan negara di hadapan sejumlah kejahatan Freeport atas warga dan lingkungan Papua. 

“Pemerintah dan Freeport telah mencuri kekayaan orang Papua. Sementara kejahatan yang dilakukan perusahaan tak pernah dilakukan penegakan hukum, apalagi dilakukan pemulihan dan ganti rugi atas segala kerusakan,” ujar Doli.

Terpisah, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), M. Jamil,  menyebutkan akuisisi saham Freeport sebesar 51 persen tak membuat kedaulatan pemerintah Indonesia menjadi kuat dalam mengatur Freeport agar taat dan patuh pada hukum dan peraturan yang berlaku. 

“Sedang berlangsung pagelaran pelanggaran hukum yang dilakukan secara bersama oleh korporasi dan negara dengan melakukan pembiaran atas praktik kejahatan tanpa adanya penegakan hukum. Hal ini jelas menunjukkan pembangkangan oleh korporasi–negara secara terang-terangan terhadap konstitusi UUD 1945," tegas Jamil.

Menurut Jamil, pembiaran atas seluruh tindak kejahatan itu tidaklah mengherankan. Pasalnya, pemerintah Indonesia telah berkali-kali kehilangan akal sehat dan tunduk pada Freeport. 

Pertama, Presiden Megawati pada 2004 menerbitkan Keppres yang melegalkan 13 perusahaan tambang yang lahannya tumpang tindih dengan hutan lindung diizinkan melanjutkan kegiatan operasionalnya di kawasan tersebut hingga kontraknya berakhir, Freeport menempati nomor urut pertama.

Kedua, Kementerian ESDM RI, menghapus Permen ESDM Nomor 11/2014 dengan mengeluarkan Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2016, yang akhirnya memberikan keleluasaan bagi Freeport untuk tetap melakukan ekspor bahan tambang mentah konsentrat ke luar Negeri. 

Ketiga, Kementerian LHK yang kehilangan akal sehat pada 2018, saat menemukan 22 kegiatan melanggar Amdal, salah satunya perluasan ukuran tambang terbuka Grasberg dari 410 hektare menjadi 584 hektare, menjadikan lima sungai sebagai tempat pembuangan limbah beracun (merkuri dan sianida), bukannya melakukan penegakan hukum, justru malah menerbitkan surat agar Freeport menyusun Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH). 

Keempat, temuan BPK yang menyebutkan terdapat kerugian negara mencapai Rp 185 triliun akibat saat operasi produksi, Freeport menggunakan kawasan hutan lindung seluas minimal 4.535 hektare tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ( IPPKH). 

Menurutnya model pelibatan masyarakat ala Freeport melanggar ketentuan Pasal 26 UU PPLH 32/2009 dan turunannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 17/2012 Tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Amdal dan Izin Lingkungan. Jika proses tersebut tetap diteruskan oleh Freeport bersama Menteri LHK maka amdal dan perizinan lingkungan yang dihasilkan cacat prosedur dan cacat yuridis sehingga harus batal demi hukum.