Insentif Biodiesel Lebih Banyak Dinikmati Korporasi

Penulis : Aryo Bhawono

Sawit

Selasa, 07 Februari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Insentif Biodiesel lebih banyak dinikmati korporasi ketimbang petani sawit. Kebijakan pemerintah soal sawit pun justru mengancam kelangkaan minyak goreng sekaligus lingkungan karena ekspansi perkebunan. 

Ekonom UI, Faisal BAsri mengungkapkan data penerima insentif sawit badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit  (BPDPKS) yang berasal dari pajak ekspor hanya mengalir ke segelintir perusahaan besar. 

"Sebanyak 75 persen lari ke oligarki-oligarki ini. Jadi udah zalim pemerintah ini. Notabenenya uang petani ini," ucapnya dalam webinar ‘Problematika Minyak Goreng, CPO Bagi Pangan vs Energi’ yang diselenggarakan oleh Satya Bumi dan Sawit Watch pada Sabtu, 4 Februari 2023.

Sedang petani sawit hanya mendapatkan sekitar 25 persen insentif untuk peremajaan tanaman. Padahal, kata dia, 40 persen minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dihasilkan oleh petani kecil atau perkebunan rakyat.

Lahan perkebunan sawit PT PLD di Kalbar yang terbakar./Foto: Gakkum

Mereka masih dikenai pajak ekspor dan biaya lainnya seperti bea keluar. Meski pajak itu dibayar oleh pedagang CPO, kenyataannya para pedagang menekan harga di tingkat petani agar laba pedagang tidak turun. 

Insentif BPDPKS ini berkaitan dengan program biodiesel B30 atau solar dengan kandungan minyak nabati 30 persen. Program tersebut membuat pedagang berbondong-bondong menjual CPO untuk produsen biodiesel. 

Dikutip dari tempo, penerima insentif terbesar adalah Wilmar Group milik Martua Sitorus. PT Wilmar Bioenergi Indonesia menjual CPO untuk biodiesel dengan volume 1,5 juta liter dan menerima insentif pada 2021 hingga Rp 8,44 triliun. Kemudian, PT Wilmar Nabati Indonesia dengan volume biodiesel 1,4 juta liter mendapatkan insentif sebesar Rp 7,09 triliun. 

Lalu PT Sari Dumai Sejati yang menjual CPO untuk biodiesel sebanyak 510,3 juta liter mendapatkan insentif sebesar Rp 2,72 triliun. Kemudian PT Sinar Mas Agro Resources and Technology mendapatkan insentif sebesar Rp 2,24 triliun dengan volume biodiesel sebesar 422,4 juta liter. 

Kemudian PT Musim mas menerima insentif Rp 5,05 triliun dengan volume penjualan CPO untuk biodiesel 977,5 juta liter. Selanjutnya PT LDC Indonesia dengan volume  biodiesel sebesar 456,2 juta liter, menerima insentif sebesar Rp 2,38 triliun. Lalu PT Pelita Agung Agroindustri menerima insentif Rp 2,18 triliun dengan volume biodiesel 422 juta liter.

Selanjutnya PT Multi Nabati Sulawesi dengan volume biodiesel sebanyak 402 juta liter dan insentif yang diterima mencapai Rp 2,13 triliun. PT Permata Hijau Palm Oleo juga mendapatkan insentif tinggi Rp 2,08 triliun dengan volume biodiesel sebesar 409 juta liter. 

Sedangkan PT Kutai Refinery Nusantara mendapatkan insentif Rp 2,01 triliun dengan volume penjualan ke biodiesel sebesar 391 juta liter. Lalu PT Tunas Baru Lampung mendapat insentif sebesar Rp 1,89 triliun dengan volume biodiesel 356,5 juta liter. PT Sinarmas Bio Energy mendapatkan insentif sebesar Rp 1,88 triliun dengan volume biodiesel 369,7 juta liter. 

"Ini segelintir orang ini saja. Jadi Anda bisa bayangkan betapa karut marutnya pengelolaan kebijakan Indonesia yang mengkhawatirkan sekali," ujar Faisal.

Kelangkaan Minyak Goreng

Harga jual CPO untuk program biodiesel yang lebih tinggi dibandingkan untuk produsen pangan, ia duga menjadi penyebab kelangkaan minyak goreng saat ini. 

Faisal memperkirakan penjualan CPO akan semakin meningkat karena pemerintah baru saja meluncurkan program Mandatori Biodiesel B35 pada 1 Februari lalu. Pemerintah meningkatkan kandungan minyak sawit dalam solar hingga 35 persen. Sehingga insentif dari BPDPKS akan semakin besar mengalir kepada pengusaha yang menjual CPO ke produsen biodiesel. 

"Sumber dana untuk menomboki kesenjangan harga didapat dari BPDPKS yang notabene 3/4-nya buat pengusaha-pengusaha besar ini. Jadi petani sawit mah dicuekin oleh pemerintah. Nah ini realitas yang kita hadapi," ucap Faisal Basri. 

Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menambahkan belum adanya pengaturan yang jelas antara CPO untuk kebutuhan pangan dan energi semakin meniscayakan adanya kompetisi antara keduanya. Sampai saat ini belum ada aturan perizinan HGU untuk biofuel, semuanya kan masih tanaman pangan. 

“Kalau begini, maka kita akan selalu terjebak pada dua pilihan, CPO untuk pangan atau disetor untuk biofuel. Hal ini yang membuat kondisi kita semakin rentan ke depan,” ujar dia. 

Deputi Direktur Satya Bumi, Andi Muttaqien, mengatakan, ancaman paling nyata yang akan muncul akibat program biodiesel adalah ekspansi lahan untuk memenuhi kebutuhan energi baru tersebut. Pengembangan biodiesel punya risiko yang justru kontradiktif dengan upaya penurunan emisi dan berdampak buruk pada lingkungan. Sebanyak 80-90 persen emisi dihasilkan pada tahap perkebunan dari alih fungsi lahan, apalagi jika dibuka di lahan gambut. 

“Untuk itu, menjamin penerapan prinsip sustainability dari hulu hingga hilir ini menjadi kunci penting,” ujar dia.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menambahkan, sejumlah hasil studi menunjukkan bahwa program Bahan Bakar Nabati (BBN) di Indonesia berkorelasi dengan deforestasi, ancaman terhadap keanekaragaman hayati, dan memperburuk perubahan iklim yang telah terjadi. Studi mencerminkan peningkatan permintaan biodiesel berbasis CPO diikuti dengan peningkatan luasan kebun kelapa sawit, dimana dalam kurun waktu 2014 hingga 2020, terjadi peningkatan 4,25 juta hektare lahan sawit. 

Direktur Bioenergi Ditjen Energi Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Edi Wibowo, membantah jika pasokan CPO untuk program biodiesel mengganggu kebutuhan untuk industri pangan sehingga memicu kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng subsidi. Ia merujuk data GAPKI yang menunjukkan bahwa total konsumsi CPO dalam negeri pada 2022 tercatat sebanyak 20.968 juta ton. 

Dari jumlah tersebut, sebanyak 9.941 juta ton digunakan untuk kebutuhan pangan, 2.185 juta ton untuk oleokimia dan 8.842 juta ton untuk biodiesel. 

“Jadi sejauh ini masih lebih besar penggunaan CPO untuk pangan daripada biodiesel. Kami terus menjaga kestabilan harga dan ketersediaan CPO untuk industri lain, terutama pangan, meskipun ada program mandatori biodiesel ini,” tuturnya.

Edi memastikan bahwa proyeksi produksi CPO untuk periode 2023-2026 dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Target produksi CPO akan kita tingkatkan dengan program replanting sehingga harganya bisa terjaga dengan baik. Pemerintah di lintas kementerian juga akan menyiapkan portofolio alokasi maksimum CPO untuk menjaga keseimbangan berbagai keperluan konsumsi.