Industri Ekstraktif Picu Bencana di Kaltara

Penulis : Aryo Bhawono

Tambang

Jumat, 17 Februari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Sederet bencana ekologi akibat industri ekstraktif terjadi di Kalimantan Utara, mulai dari banjir bandang hingga pencemaran sungai. Dua proyek raksasa, PLTA Sungai Kayan dan pembangunan Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI) di Tanah Kuning, menambah kian merisikokan provinsi itu ke jurang bencana lingkungan.

Catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan banjir yang merendam enam desa Kabupaten Malinau, Kaltara, sejak 29 Januari hingga 4 Februari lalu disebabkan oleh aktivitas industri di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) di kabupaten itu dan sekitarnya. Aktivitas industri, khususnya operasi pertambangan, di kawasan hulu dan daerah aliran Sungai Malinau, Sungai Mentarang dan Sungai Sesayap ini, telah menyebabkan alih fungsi lahan dan hilangnya kawasan hutan.

Bahkan luapan Sungai Sesayap pekan lalu mengakibatkan meninggalnya Efan, anak kecil usia 7 tahun karena terseret arus dan tenggelam.

Banjir di Kabupaten Malinau disebabkan aktivitas tambang yang berada di kawasan hulu. Banjir terus berulang sejak sejak 2010, 2011, 2012, 2017, 2021, 2022 dan terakhir pada awal 2023 lalu. 

Luapan air Sungai Malinau memutus akses jalan penghubung desa di Kecamatan Malinau Selatan, Kabupaten Malinau, Kaltara, 14 Agustus 2022 kemarin. Jatam melaporkan, air Sungai Malinau yang meluap itu telah tercemar limbah tambang PT KPUC./Foto: Jatam Kaltara.

Pada 4 Juli 2017, misalnya, tanggul kolam pengendapan (settling pond/sediment pond) di pit Betung milik PT Baradinamika Muda Sukses juga jebol dan mengakibatkan pencemaran di lokasi yang nyaris sama.

Saat itu PDAM Malinau menyatakan kekeruhan air baku pada sungai tersebut mencapai 80 kali lipat dari 25 NTU (nephelometric turbidity unit) menjadi 1.993 NTU. Mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan No 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang persyaratan kualitas air minum, PDAM setempat juga mematikan pelayanan air bersih selama 3 hari, sejak tanggal 7 hingga 9 Juli 2017.

Kemudian pada 7 Februari 2021, Tanggul penampung limbah tambang yang diduga berasal dari kolam Tuyak milik PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC) jebol dan mencemari Sungai Malinau. Akibat pencemaran itu, air sungai menjadi keruh-kecoklatan, ratusan ikan ditemukan mati mengambang, dan ekosistem sungai menjadi rusak. 

Banjir di Kalimantan Utara menggenangi beberapa kawasan, termasuk kebun warga. Sumber foto: Jatam

Pencemaran ini menjangkau persediaan air bersih di 14 desa sekitar DAS Malinau (Desa Sengayan, Langap, Long Loreh, Gong Solok, Batu Kajang, Setarap, Setulang, Setaban), DAS Mentarang (Lidung keminci dan Pulau Sapi), DAS Sesayap (Desa Tanjung Lapang, Kuala Lapang, Malinau Hulu, dan Malinau Kota). 

Bahkan, PDAM Malinau terpaksa menghentikan pengelolaan dan pasokan air bersih pada 8 Februari 2021 akibat pencemaran parah. Warga pun terpaksa menadah air hujan untuk persediaan air bersih.

Uji lab yang disampaikan KLHK, dalam hasil uji sampel Sungai Malinau No S.447/HUMAS/PPIP/HMS.3/10/2021, menyebutkan terdapat parameter yang melebihi Baku Mutu Air (BMA) kelas 1 PP 82 Tahun 2001 yaitu BOD, COD, PO4, NO3, NO2, Fluoride, minyak, lemak, MBAS, CACO3 dan Phenol.

Pada 14 Agustus 2022, tanggul penampungan limbah beracun milik perusahaan tambang batu bara PT KPUC kembali jebol dan mencemari Sungai Malinau, menyebabkan air Sungai Malinau berwarna coklat keruh, berlumpur dan meluap hingga menggenangi kebun warga dan memutus akses jalan penghubung antar Desa Langap dan Desa Loreh. Limbah itu menyebabkan pasokan air bersih warga di Sebagian Kabupaten Malinau terganggu, terutama di Desa Malinau Hulu, Desa Tanjung Keranjang, Desa Malinau Hilir dan Desa Pelita Kanaan di Kecamatan Malinau Barat. 

PDAM Malinau pun berhenti mengoperasikan instalasi pengolahan air, sebab baku mutu air Sungai Malinau yang telah tercemar limbah batu bara tersebut tidak memungkinkan untuk diolah menjadi air konsumsi warga.

Kejadian serupa berpotensi besar akan terus terjadi. Sebab saat ini, terdapat lima perusahaan pemegang izin usaha pertambangan yang konsesinya berada pada hulu dan badan sungai Malinau. Kelima perusahaan itu, antara lain PT Artha Marth Naha Kramo (AMNK), PT Amarta Teknik Indonesia (ATI), PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC), PT Baradinamika Mudasukses (BM), dan PT Mitrabara Adiperdana (MA).

Pulau Bunyu Dalam Ancaman Bencana

Bencana sosial-ekologi karena aktivitas tambang juga terjadi di Pulau Kecil Bunyu dan perairan sekitarnya. Pada 1 Februari lalu tanggul limbah batu bara di Desa Bunyu Barat, milik perusahaan tambang PT Saka Putra Perkasa jebol. Air limbah beracun bercampur lumpur dan pasir tersebut mengalir deras dan menenggelamkan pemukiman warga. Diperkirakan 100 lebih keluarga petani dan nelayan menjadi korban atas peristiwa tersebut. 

Puluhan hektar lahan kebun warga juga rusak diterjang aliran limbah dari tanggul yang jebol tersebut, terendam air limbah bercampur lumpur dan pasir. Setidaknya 45 rumah kebun dan enam buah bangunan sarang burung walet warga turut rusak.

Kawasan pesisir pantai hingga laut Pulau Bunyu juga turut tercemar oleh limbah beracun dari tanggul limbah yang jebol tersebut. Diperkirakan sepanjang 6 km kawasan pantai di Desa Bunyu Barat tercemar limbah batu bara. Pencemaran tersebut juga mencapai perairan yang berjarak 2 mil dari bibir pantai Desa Bunyu Barat.

Sejak jebolnya tanggul penampungan limbah batu bara tersebut, tim dari kepolisian, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas ESDM, serta PSDKP Dinas Kelautan dan Perikanan, hingga Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara melakukan peninjauan lokasi, pengumpulan data dan fakta lapangan. Namun tak ada tindak lanjut pasca aksi pemerintah tersebut. 

Mereka meninggalkan Pulau Bunyu dalam keadaan kolam limbah menganga dan terus mengalirkan limbah beracun hingga ke laut lepas. Tidak ada satupun upaya untuk mendatangkan alat berat dan menutup tanggul limbah beracun milik yang jebol. Padahal kurang dari satu kilometer dari tanggul jebol tersebut, terdapat alat berat perusahaan batu bara lain yang sedang beroperasi, yakni milik PT Lamindo Multikon. Akibatnya limbah beracun tersebut terus mengalir hingga Selasa 7 Februari 2023.

Perusahaan pemilik tanggul limbah yang jebol ini, PT Saka Putra Perkasa, adalah pemilik konsesi tambang batu bara seluas 728,59 hektar di Pulau Bunyu berdasarkan izin usaha pertambangan Nomor 205/K-IV/549/2014 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Bulungan. Selain PT Saka Putra Perkasa, terdapat dua perusahaan tambang batu bara lainnya yang beroperasi di Pulau Bunyu, yakni PT Garda Tujuh Buana seluas 710 hektar dan PT Lamindo Multikon 2.413 hektar.

Pencemaran pantai dan pesisir Pulau Bunyu ini bukan yang pertama kalinya. Pada Mei 2022 lalu, Sungai Siput dan Sungai Barat di Pulau Bunyu juga mengalami pencemaran akibat limbah batu bara. Kedua sungai tersebut menjadi keruh dan dan berlumpur akibat pencemaran dari kolam limbah batu bara. Pencemaran sungai dan kawasan pesisir ini memaksa nelayan untuk melaut lebih jauh, pindah dari muara Sungai Barat dan Sungai Siput ke muara Sungai Kelong dan Sungai Kapah yang belum tersentuh aktivitas pertambangan batu bara.

Padahal, Pulau Bunyu yang hanya seluas 198,32 km² masuk dalam kategori pulau kecil yang seharusnya dilarang untuk aktivitas pertambangan sebagaimana UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Jo Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Ketua Divisi Hukum Jatam, Muh Jamil, menyebutkan dua bencana lingkungan dan kemanusian terjadi akibat operasi ugal-ugalan perusahaan pertambangan batu bara di Kalimantan Utara. 

“Namun hingga saat ini, alih-alih melakukan pencabutan izin, pemerintah belum sekalipun memberikan sanksi tegas untuk menindak perusahaan-perusahaan pengundang bencana ini,” ucapnya melalui rilis pers.

Seharusnya, kata dia, bencana berulang di Kaltara menjadi pertimbangan pengurus negara, khususnya Pemerintah Provinsi Kaltara, untuk tidak lagi mengobral izin industri ekstraktif berbasis lahan skala luas. Pemerintah, baik nasional maupun daerah, harus bertindak tegas, mencabut seluruh izin tambang yang telah menyebabkan bencana sosial-ekologis di Kalimantan Utara.

Namun proyek besar dengan label proyek ramah lingkungan dan rendah karbon, yakni proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Sungai Kayan, serta proyek pembangunan Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI) di Tanah Kuning justru diloloskan. Kedua proyek yang berada di Kabupaten Bulungan ini berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN) dan diproyeksikan akan menjadi penopang untuk kebutuhan Ibu Kota Negara yang baru di Kalimantan Timur.

Jatam pun mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas, mencabut izin dan menghentikan aktivitas tambang dan industri ekstraktif lainnya yang telah terbukti mendatangkan bencana. Kemudian, menghentikan seluruh proyek ramah lingkungan abal-abal, yang berdaya rusak tinggi dan mengundang bencana sosial-ekologis yang lebih besar, di antaranya adalah KIPI di Tanah Kuning dan PLTA Kayan.