Pemerintah Harus Hati-Hati Mengalokasikan Minyak Sawit

Penulis : Aryo Bhawono

Sawit

Senin, 20 Februari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Kelangkaan Minyakita seharusnya membuat pemerintah berhati-hati mengelola alokasi Crude Palm Oil (CPO). Pemberlakuan B35 sejak Februari 2023 paling tidak memberikan pengaruh besar terhadap pasokan CPO untuk kebutuhan minyak pangan domestik untuk Minyakita.

Masalah kelangkaan Minyakita di pasar hingga kini belum terselesaikan. Padahal Minyakita merupakan produk yang diluncurkan sejak 6 Juli 2022 oleh pemerintah untuk mengatasi kenaikan harga minyak goreng. 

Kala itu harga per liter minyak goreng mencapai Rp 25 ribu per liter. Minyakita diedarkan dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp 14 ribu per liter. 

Berbagai cara sudah dilakukan untuk mengatasi kelangkaan, mulai dari operasi anti penimbunan hingga pembatasan pembelian minyak goreng tersebut menjadi 2 liter per kepala keluarga (KK). 

Buruh menurunkan tandan buah sawit (TBS) dari mobil truk di Pelabuhan Rakyat Lalosalo, Desa Sei Pancang, Kecamatan Sebatik Utara, Nunukan, Kaltara, Minggu (29/3). Ribuan ton TBS setiap pekan terpaksa diekspor ke Tawau, Malaysia diangkut menggunakan kapal kayu akibat belum adanya pabrik CPO (crude palm oil) di wilayah itu./Foto: ANTARA/M Rusman.

Permasalahan kenaikan harga Minyakita tak hanya disebabkan oleh kondisi pasar saja. Yayasan Auriga Nusantara menyebutkan kelangkaan terjadi tak jauh dari pemberlakuan biofuel, B35, pada awal Februari lalu. 

B35 merupakan campuran biodiesel antara bahan bakar nabati (BBN) berbasis minyak kelapa sawit dengan BBM diesel. Kadar minyak sawit (CPO) dalam bahan bakar adalah 35 persen, sementara 65 persen sisanya merupakan BBM solar. 

Kebijakan ini berarti meningkatkan alokasi CPO untuk kebutuhan B35 menjadi 13,14 juta ton. Alokasi ini meningkat dari tahun sebelumnya, yakni 11,02 juta ton. 

Sejak akhir tahun 2019 sendiri Indonesia masih menerapkan B30. Pada tahun 2020, alokasi CPO untuk biofuel sebesar 9,5 juta ton. Angka ini menurun di tahun 2021 menjadi 9,2 juta ton. 

Juru Kampanye Auriga Nusantara, Hilman Afif, mewanti-wanti pemerintah berhati-hati untuk menjaga alokasi CPO untuk kebutuhan pangan dalam negeri. Ia menyebutkan tren kebutuhan domestik untuk CPO mengalami kenaikan sejak 2020 hingga 2021. 

Ia menyebutkan pada 2020 konsumsi domestik sebesar 17,83 juta ton dan pada 2021 meningkat menjadi 18,08 juta ton.

“Tentu penetapan B35 harus memperhitungkan tren kenaikan ini. Jika tidak, maka percuma menyalahkan level distribusi. Masalah kelangkaan tak akan terselesaikan,” ucap Hilman.

B35 Hanya Untungkan Korporasi

Sebelumnya ekonom, Faisal Basri, menyebutkan data penerima insentif sawit badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit  (BPDPKS) yang berasal dari pajak ekspor hanya mengalir ke segelintir perusahaan besar. 

Insentif BPDPKS ini berkaitan dengan program biodiesel B30 atau solar dengan kandungan minyak nabati 30 persen. Program tersebut membuat pedagang berbondong-bondong menjual CPO untuk produsen biodiesel. 

Penerima insentif terbesar adalah Wilmar Group milik Martua Sitorus. PT Wilmar Bioenergi Indonesia menjual CPO untuk biodiesel dengan volume 1,5 juta liter dan menerima insentif pada 2021 hingga Rp 8,44 triliun. Kemudian, PT Wilmar Nabati Indonesia dengan volume biodiesel 1,4 juta liter mendapatkan insentif sebesar Rp 7,09 triliun. 

Lalu PT Sari Dumai Sejati yang menjual CPO untuk biodiesel sebanyak 510,3 juta liter mendapatkan insentif sebesar Rp 2,72 triliun. Kemudian PT Sinar Mas Agro Resources and Technology mendapatkan insentif sebesar Rp 2,24 triliun dengan volume biodiesel sebesar 422,4 juta liter. 

Kemudian PT Musim mas menerima insentif Rp 5,05 triliun dengan volume penjualan CPO untuk biodiesel 977,5 juta liter. Selanjutnya PT LDC Indonesia dengan volume  biodiesel sebesar 456,2 juta liter, menerima insentif sebesar Rp 2,38 triliun. Lalu PT Pelita Agung Agroindustri menerima insentif Rp 2,18 triliun dengan volume biodiesel 422 juta liter.

Selanjutnya PT Multi Nabati Sulawesi dengan volume biodiesel sebanyak 402 juta liter dan insentif yang diterima mencapai Rp 2,13 triliun. PT Permata Hijau Palm Oleo juga mendapatkan insentif tinggi Rp 2,08 triliun dengan volume biodiesel sebesar 409 juta liter. 

Sedangkan PT Kutai Refinery Nusantara mendapatkan insentif Rp 2,01 triliun dengan volume penjualan ke biodiesel sebesar 391 juta liter. Lalu PT Tunas Baru Lampung mendapat insentif sebesar Rp 1,89 triliun dengan volume biodiesel 356,5 juta liter. PT Sinarmas Bio Energy mendapatkan insentif sebesar Rp 1,88 triliun dengan volume biodiesel 369,7 juta liter.