Tahun 2022: Kekerasan dan Pelanggaran HAM Meningkat di Papua

Penulis : Kennial Laia

HAM

Jumat, 17 Februari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua meningkat pada 2022. Mayoritas kasus berhubungan dengan pembungkaman kebebasan berekspresi hingga penolakan terhadap kehadiran perkebunan kelapa sawit. Korban masyarakat sipil lebih dari 300 orang, termasuk  perempuan dan anak-anak. 

Berdasarkan Catatan Akhir Tahun 2022 Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA), terjadi 38 kasus kekerasan yang tersebar di berbagai kabupaten, bertambah delapan kasus dibandingkan dengan data 2021. Paling banyak terjadi di Jayapura (8), Jayawijaya (6), Nduga (4), dan Dogiyai (3). Dari kasus ini, 34 peristiwa melibatkan aparat negara dan 4 kasus di daerah konflik bersenjata yang melibatkan militer dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB). 

Peneliti PUSAKA, Amelia Puhlil, mengatakan kenaikan jumlah kasus tersebut berhubungan dengan banyaknya kebijakan kontroversial yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Di antaranya revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB). Tindakan represif terjadi saat masyarakat melakukan demonstrasi penolakan kebijakan tersebut. 

“Trennya cenderung meningkat dari tahun sebelumnya karena banyak kebijakan terkait Papua yang tidak diinginkan masyarakat. Aksi penolakan ini dibalas dengan kekerasan,” kata Amelia saat dihubungi Betahita, Kamis 16 Februari 2023. 

Iring-iringan pemakaman jenazah korban penganiayaan oleh anggota TNI di Kepi, Mappi, Papua, pada 2022. Dok Istimewa

“Kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua masih terjadi karena pemerintah belum serius berpihak pada masyarakat adat. Banyak aspirasi tidak didengar. Di sisi lain, negara menggunakan militer untuk menekan aspirasi tersebut. Masifnya militer di Papua membuat tingkat kekerasan semakin sering terjadi,” kata Amelia. 

PUSAKA memperkirakan korban kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua pada tahun 2022 sebanyak 317 korban, diantaranya 26 perempuan dan 32 anak di bawah umur. Peristiwa ini melibatkan 35 Pelaku, utamanya aparat keamanan negara dan TPNPB. 

Peristiwa terbanyak berhubungan dengan pelanggaran kebebasan berekspresi sebanyak 19 kasus. Kekerasan ini tersebar di Jayapura, Nabire, Yahukimo, Merauke, Timika, dan Sorong, terjadi sepanjang bulan Maret hingga Juni 2022. Di Yahukimo, aparat bertindak brutal hingga mengakibatkan dua orang massa aksi meninggal dan delapan orang luka-luka.

Kasus kekerasan dan pelanggaran HAM tertinggi terjadi pada Juli hingga September 2022, sebanyak 14 kasus. Kejadian ini tersebar di Kabupaten Paniai, Nduga, Jayawijaya, Pegunungan Bintang, Jayapura, Mappi, Timika, Dogiyai, Kaimana, dan Teluk Bintuni. Kategori pelanggaran antara lain pelanggaran hak hidup, hak bebas berekspresi, dan hak untuk tidak mendapatkan penyiksaan. 

Menurut catatan PUSAKA, kasus yang paling menarik perhatian publik adalah penangkapan 34 aktivis PRP di Wamena pada 28 Juli 2022. Dua hari kemudian terjadi penganiayaan hingga meninggal dunia terhadap warga di daerah Mappi. Peristiwa brutal lainnya terungkap pada 22 Agustus 2022, di mana terjadi mutilasi terhadap empat warga di Timika. 

Kekerasan penyiksaan terhadap anak dan hingga korban meninggal terjadi di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, pada 22 Februari 2022. Berdasarkan pemantauan PUSAKA, aparat TNI Batalyon Infanteri Mekanis 521/Dadaha Yodha melakukan penyiksaan terhadap tujuh anak yang dituduh mengambil senjata SS2. Penyiksaan ini mengakibatkan satu anak meninggal.

Selain itu, terdapat 4 (empat) kasus kekerasan di daerah konflik bersenjata antara TNI/Polri dan TPNPB, yang diikuti penyiksaan dan pembunuhan terhadap warga sipil dan warga yang dituduh sebagai informan aparat negara. Di Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, TPNPB Ndugama menembak 10 orang yang diduga informan aparat. Di Distrik Moskona, Kabupaten Teluk Bintuni, 4 (empat) orang pekerja jalan meninggal ditembak anggota TPNPB Sorong Raya.

Konflik bersenjata dan kekerasan di Papua mengakibatkan dan meningkatnya pengungsi internal, pembatasan akses informasi dan komunikasi, pembatasan mobilitas dan kebebasan beraktivitas dialami warga Orang Asli Papua dan warga non Papua. 

Buruknya penanganan pengungsi dan pemenuhan kebutuhan dasar, menimbulkan masalah tersendiri, kematian, gizi buruk, anak usia sekolah telantar, dan kriminalisasi terhadap pengungsi. Berdasarkan laporan dari Koalisi Pengungsi di Maybrat (2021-2022), terdapat 63 orang meninggal: 30 perempuan, 12 laki-laki, enam anak remaja, dan 12 anak bayi.

Amelia mengatakan, pihaknya juga mencatat konflik yang disebabkan oleh eksploitasi sumber daya alam di Tanah Papua, melalui berbagai perusahaan dan komoditas. Menurut PUSAKA, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang merusak hutan dan tanah, tapi juga menciptakan konflik internal masyarakat adat terdampak. 

PUSAKA memantau dua kasus terkait ekspansi bisnis di Tanah Papua. Keduanya yakni melibatkan perusahaan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PT PNM) di Lembah Grima Nawa, Jayapura, dan PT Indo Asiana Lestari di Kali Mappi, Boven Digoel. Masyarakat adat terdampak yang melakukan protes mengalami intimidasi oleh aparat keamanan negara, perusahaan, dan pendukung perusahaan.

“Masyarakat adat yang menolak kehadiran perusahaan harus berhadapan dengan militer yang menjadi beking perusahaan untuk mengamankan berjalannya investasi. Di sini aspirasi masyarakat tidak didengarkan, malah dibenturkan dengan militer,” kata Amelia.

Menurut Amelia, pelaku pelanggaran HAM di Papua hingga saat ini belum ditangani secara baik. Proses hukum terhadap para pelaku dari institusi TNI/Polri tidak pernah terbuka dan impunitas masih sering terjadi. Sementara korban hanya diberikan rehabilitasi dan restitusi hak korban melalui upaya karitatif, bantuan pemberian uang dan sembako, tanpa penyelesaian dan sanksi hukum yang memberikan efek jera.

Amelia mengatakan, pemerintah Indonesia harus melakukan evaluasi dan menentukan pendekatan yang tepat dan damai untuk menangani aksi protes damai dan menyelesaikan konflik pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

“Mobilisasi dan operasi aparat keamanan dengan pendekatan keamanan dan hukum yang nyatanya menyeramkan, sangat tidak tepat untuk menangani, menyikapi dan menyelesaikan konflik dan pelanggaran HAM,” kata Amelia. 

“Negara juga harus melakukan pendekatan yang lebih manusiawi, seperti pendekatan dialog damai dan penyelesaian hukum yang berkeadilan, melakukan jeda kemanusiaan, menghentikan mobilisasi dan operasi militer, agar tidak ada warga sipil yang menjadi korban; dan melakukan evaluasi menyeluruh atas kebijakan- kebijakan investasi di Papua yang sebetulnya hanya menjarah tanah dan merusak hutan, dan meminggirkan Orang Asli Papua,” tutupnya.