SPKS: Plasma Akal-akalan demi Ekspansi Sawit Perusahaan

Penulis : Gilang Helindro

Sawit

Rabu, 01 Maret 2023

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID -  Kemitraan sebagai kunci kesejahteraan petani sawit hanyalah jargon semata, menurut Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) kemitraan di perkebunan sawit terutama pola bagi hasil dalam berbagai skema termasuk manajemen satu atap telah menjerumuskan masyarakat di desa pada kemiskinan, konflik yang berujung pada hilangnya tanah dan ancaman deforestasi yang makin meluas di wilayah desa-desa di Indonesia. 

Berbagai cara dan promosi skema-skema tersebut dari kalangan pengusaha sawit sebagai success story mereka dalam pemberdayaan petani maupun pengembangan sawit rakyat hanya akal-akalan dari para pengusaha yang rakus, karena dalam banyak kasus yang ada, mayoritas petani plasma terlilit hutang bertahun-tahun, konflik terjadi dimana-mana karena hilangnya lahan akibat skema kemitraan yang manipulatif dan tidak transparan serta tidak sah secara hukum (illegal).

Kepala Advokasi SPKS, Marselinus Andri mengatakan 10 temuan utama hasil investigasi yang dilakukan The Gecko Project tentang skema kemitraan di perkebunan sawit merupakan fakta yang serupa terjadi di banyak kasus kemitraan di perkebunan sawit di berbagai daerah, dan ini menunjukkan bahwa skema kemitraan yang selalu dijadikan success story gagal menghasilkan kesejahteraan bagi para petani di desa dan sebaliknya menjerumuskan mereka pada kemiskinan karena hilangnya pendapatan dan tanah mereka. 

Dalam temuan The Gecko Project 2022, masyarakat yang terikat dalam skema plasma memperoleh bagian sangat kecil dari keuntungan yang bisa dihasilkan perkebunan. Berdasarkan kajian-kajian lepas yang ada, kebun plasma dapat menghasilkan keuntungan lebih dari Rp22 juta per hektar tiap tahun. Para petani sawit mandiri, yang menggarap kebun tanpa dukungan perusahaan perkebunan, bisa mendapat keuntungan lebih dari Rp15 juta per hektar tiap tahun. Namun, dari beberapa kasus plasma yang mereka selidiki, para petani itu hanya mendapatkan keuntungan rata-rata sekitar Rp2,5 juta.

Salah satu kebun kelapa sawit milik warga di Kecamatan Air Manjuto, Kabupaten Mukomuko, Kamis (1/12/2022)./Foto: Antara/Ferri.

Perusahaan mendapat banyak keuntungan dari skema kemitraannya dengan masyarakat, apalagi dalam pola bagi hasil yang mereka kelola secara penuh dari pembukaan kebun hingga pemanenan buah, misalnya melalui mekanisme penyerahan lahan dari masyarakat mereka dapat memperluas areal konsesi agar produksi bahan baku terjamin serta biaya pembukaan lahan ditanggung masyarakat dengan skema kredit dimana perusahaan menjadi avalis”, tegas Andri kembali.

Dalam catatan SPKS, Pendapatan petani plasma umumnya sangat rendah bahkan kadang nihil dan tidak cukup untuk membayar angsuran hutang kredit, dan ini terjadi karena rendahnya produksi dari kebun yang dikelola tidak sesuai standar agronomis yang ditetapkan pemerintah, dan faktor lainnya seperti potongan hutang, sehingga mereka dimobilisasi tanpa transparansi melalui koperasi untuk mengajukan hutang baru mengganti kerugian produksi bahkan pembayaran angsuran hutang kredit yang pada akhirnya terjerat berpuluh puluh tahun terlilit hutang dan mereka sama sekali tidak punya pilihan untuk keluar dari skema yang buruk ini, tegas Andri kembali.

“situasi seperti ini terjadi akibat pengelolaan plasma yang tidak transparan melalui perjanjian yang cenderung hanya menguntungkan pihak perusahaan sebagai mitra, dan sayangnya peran pemerintah dalam melakukan pengawasan dan evaluasi tidak dilakukan, misalnya tindakan Penilaian Usaha Perkebunan (PUP) yang tidak berjalan, hanya ketika fasilitasi di awal dan timbulnya konflik dan aksi protes dari masyarakat yang menjadi korban”, tegas Andri.

Serupa dengan temuan investigasi The Gecko Project, Andri mengatakan bahwa jika dibandingkan dengan penghasilan petani plasma yang sangat rendah bahkan jauh di bawah UMP, pendapatan pada petani swadaya jauh lebih baik, dari kajian yang dilakukan SPKS pada 4 kabupaten penghasil sawit, rata-rata penghasilan petani swadaya mencapai 25 juta per hektar tiap tahun dengan berbagai karakteristik masalah yang ada, jika dibandingkan dengan petani plasma yang rata-rata hanya mendapatkan 2,5 juta per hektar tiap tahun, dan ini ironis padahal pengelolaan plasma harus memenuhi standar pembiayaan serta standar teknis lainnya mulai dari pembangunan, perawatan, pemanenan untuk menunjang produksi dan produktivitas yang tinggi.

“skema kemitraan dengan mekanisme penyerahan lahan dan menempatkan perusahaan sebagai mitra yang mengelola penuh lahan masyarakat dengan pola bagi hasil sudah tidak relevan lagi, sehingga sudah seharusnya pemerintah meninggalkan skema yang sudah usang dan bermasalah seperti ini, dan itu menjadi solusi agar mengatasi dan meminimalisir terjadinya konflik agraria perkebunan dan konflik sosial lainnya yang melibatkan masyarakat yang meluas di desa”, tegas Andri.

Andri mengatakan bahwa permasalahan kemitraan di perkebunan sawit juga membawa konsekuensi pada meluasnya areal deforestasi hutan dan lahan serta alih fungsi lahan garapan masyarakat menjadi perkebunan kelapa sawit, dan kemitraan dengan masyarakat menjadi praktek untuk melegitimasi para pengusaha untuk melakukan perluasan dan ekspansi baru di wilayah desa, dan di sisi lain hilangnya lahan ulayat atau lahan masyarakat di desa nyata terjadi, karena adanya proses yang manipulatif serta mekanisme penyerahan lahan yang tentu membawa konsekuensi pada peralihan hak atas tanah kepada perusahaan dan status yang disebut tanah negara yang tidak dipahami oleh masyarakat adat/masyarakat lokal di desa.

Lebih ironis lagi, dalam temuan The Gecko Project, perusahaan pembeli minyak sawit seperti Nestlé, Unilever, dan Kellog’s yang memiliki sederet komitmen terhadap keberlanjutan termasuk di dalamnya Human Rights dan No Exploitation salah satunya melalui pendekatan sertifikasi membeli minyak sawit dari perusahaan-perusahaan yang membagi sedikit sekali keuntungan atau bahkan sama sekali tidak membagi keuntungan untuk masyarakat dalam skema kemitraan.

Ini tentu saja kritik terhadap pihak RSPO yang membiarkan produksi sawit kotor lolos dalam proses sertifikasi serta kritik terhadap para pembeli minyak sawit (buyers) dan Grup Perusahaan besar di Indonesia yang selalu mengatakan mereka memiliki mekanisme yang ketat dalam pelaksanaan sertifikasi dan melakukan praktik sawit berkelanjutan, namun ternyata faktanya konflik masih terjadi dan kehadiran komitmen keberlanjutan mereka hanya pemanis, tidak sampai pada praktek operasional di level pabrik maupun supplier-nya, tegas Andri kembali.

RSPO maupun perusahaan pembeli minyak sawit seharusnya perlu melakukan evaluasi dan pemberian sanksi yang tegas bagi perusahaan penerima sertifikat berkelanjutan atau yang menjadi suppliermereka yang terlibat konflik dengan masyarakat, bukan sebaliknya hanya menjadi jalan tol bagi minyak sawit kotor, dan sudah menjadi kewajiban bagi perusahaan yang memiliki komitmen keberlanjutan untuk memastikan implementasinya hingga pada tingkat operasional paling bawah, sehingga klaim sustainability mereka tidak sekedar jargon atau hanya praktek greenwashing yang kerap dilakukan oleh grup perusahaan dan buyers, tegas Andri kembali.

Menurut Data Auriga, sejak 2007 hingga sekarang, baru 29℅ kewajiban plasma yang telah dipenuhi.