Poco Leok Mencekam, Perluasan Geothermal Libatkan Aparat Keamanan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Jumat, 24 Februari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  "Apa yang terjadi di sini? Kesalahan atau pelanggaran apa yang sudah kami lakukan?"

Itu beberapa ragam pertanyaan yang muncul dari mulut sejumlah warga yang merasa resah atas kehadiran aparat keamanan di perkampungan Poco Leok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), dua pekan terakhir.

Hampir setiap hari, sejak 8 Februari 2023 lalu, belasan aparat TNI dan kepolisian rajin datang ke perkampungan, atas nama pengamanan. Jumlah aparat yang datang bertambah di hari-hari berikutnya.

Konon kehadiran alat negara di Poco Leok itu untuk mengamankan kegiatan PLN UIP Nusa Tenggara, Dinas PUPR dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu yang melakukan survei topografi akses jalan, untuk pengembangan proyek tambang geothermal unit 5 dan 6.

Warg Poco Leok menghadang tim survei topografi akses jalan untuk proyek pengembangan tambang geothermal PLTP Ulumbu, Rabu (15/2/2023) pekan lalu./Foto: Istimewa

Selain survei akses jalan, perusahaan dan pemerintah juga memasang perangkat keras berupa antena deteksi di sejumlah lokasi sekitar pemukiman warga. Aktivitas lapangan itu terjadi dalam berbagai kesempatan. PLN UIP Nusa Tenggara menyatakan pembangunan PLTP Ulumbu direncanakan memanfaatkan tujuh area pengeboran, lima area sumur produksi dan dua sumur injeksi.

Namun di sisi lain, keberadaan aparat hukum dan keamanan itu justru meresahkan warga. Seperti dituturkan Servasius Masyudi, warga Poco Leok dari Gendang atau Kampung Adat Lungar. Ia mengaku tidak nyaman dengan kehadiran aparat hukum dan keamanan dalam jumlah besar di perkampungan. Keresahan itu juga dirasakan puluhan warga Poco Leok lainnya.

"Seminggu terakhir ini, warga merasa heran dengan kehadiran aparat keamanan ke wilayah pemukiman warga. Bahkan mereka turut terlibat mendampingi tim survei dan pengukur suhu di Poco Leok," kata Servasius, kepada Betahita, Kamis (23/2/2023).

Awalnya, lanjut Sevarius, survei pembangunan jalan dan infrastruktur pendukung proyek geothermal hanya dilakukan oleh pihak berkepentingan saja, aparat TNI dan kepolisian sama sekali tidak hadir. Namun diakuinya, kegiatan survei itu kemudian dihadang oleh warga.

"Warga berang dengan kehadiran pihak-pihak perusahaan, yang memang datang tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan warga. Warga tidak tolak pembangunan. Warga hanya tolak pembangunan yang mendukung geothermal," tegas Servasius.

---
Untuk diketahui, Poco Leok merupakan penyebutan suatu wilayah yang mencakup tiga desa, di Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, yakni Desa Lungar, Desa Mocok dan Desa Golo Mintas.

Di Poco Leok, terdapat 14 gendang atau kampung adat. Terdiri dari Lungar, Mesir, Ncamar, Cako, Leda, Lelak dan Nderu (secara administrasi masuk dalam Desa Lungar), Tere, Racang, Mori, Mano, Rebak, Mocok (masuk dalam Desa Mocok), dan Mucu (masuk Desa Golo Muntas).

Dari 14 gendang atau kampung adat di Poco Leok itu, 4 di antaranya menyatakan mendukung pengembangan proyek tambang geothermal unit 5 dan unit 6 PLTP Ulumbu, yakni Mesir, Ncamar, Leda dan Lelak.

Sedangkan 10 gendang lainnya, menolak. Penghadangan kegiatan tim survei dan perusahaan geothermal di lokasi itu salah satu wujud penolakan dimaksud.
---

Di hari berikutnya, tim survei dari PLN, Dinas PUPR dan pihak PLTP Ulumbu kembali datang, namun dengan pengawalan TNI dan kepolisian. Sama seperti hari sebelumnya, warga kembali melakukan penghadangan. Jumlah warga yang terlibat bertambah.

"Penghadangan ketiga dan keempat jumlah warga makin banyak. Jumlah aparat keamanan juga sudah meningkat. Bahkan ada (aparat) yang berani untuk berdebat dengan warga dan memberi pikiran dari pihak pendukung pembangunan geothermal."

Servasius mengatakan, pada penghadangan kelima hampir seluruh perwakilan 10 gendang penolak proyek geothermal terlibat. Seolah tak mau kalah, aparat TNI dan kepolisian yang datang juga banyak, jumlahnya mencapai belasan.

Penghadangan kelima yang terjadi pada 17 Februari 2023 itu dianggap sebagai penghadangan terakhir. Karena pihak perusahaan sepakat untuk menghentikan kegiatan di lapangan untuk sementara waktu, sembari mencari kesempatan untuk melakukan diskusi dengan warga. Kesepakatan itu difasilitasi oleh pihak keamanan, dan pihak keamanan juga bersedia menjadi jaminannya.

"Tapi besoknya, mereka tetap datang lagi dan lagi, setiap hari sampai tanggal 21 kemarin. Pada tanggal 21, warga kembali melakukan penghadangan (ke-6). Warga kecewa karena pihak perusahaan yang dikawal aparat, tidak mengindahkan kesepakatan itu."

Servasius bilang, pada 22 Februari 2023 kemarin, pihak perusahaan kembali datang ke Poco Leok. Tapi tidak terjadi penghadangan yang dilakukan warga. Karena pihak perusahaan bersama tim survei hanya mendatangi gendang atau kampung adat yang pro atau mendukung proyek geothermal.

"Mereka ke Mesir saja. Karena Mesir yang getol pro. Hari ini katanya sudah enggak datang lagi."

Servasius mengaku tidak mengetahui seberapa luas lahan yang diperlukan untuk proyek pengembangan PLTP itu. Yang ia tahu, salah satu areal yang ditargetkan adalah lingko (kebun komunal) dan luasnya terhitung besar, karena mencakup banyak lahan di dalamnya.

"Soal jumlah titik-titik wellpad, ada sekitar 3 titik yang sering dikunjungi."

Servasius bilang, pihak perusahaan memang telah melakukan beberapa kali sosialisasi tentang rencana proyek pengembangan PLTP Ulumbu. Pada sosialisasi awal, banyak kalangan yang dilibatkan. Setelahnya, sosialisasi-sosialisasi lanjutan hanya melibatkan warga yang mendukung proyek, pemilik lahan dan juga warga Pocoleok diaspora, yang merupakan warga yang tidak terdampak.

Agustinus Sukarno, warga Gendang Lungar lainnya mengatakan, menurut surat yang disampaikan pihak PLN kepada pemerintah desa, pelaksanaan kegiatan survei itu dilaksanakan mulai 8 Februari 2023 hingga 23 Februari 2023. Dalam suratnya pihak PLN juga meminta satu perangkat desa untuk ikut mendampingi saat melakukan survei di lapangan.

"Tetapi karena ada penghadangan dari warga beberapa kali di lapangan, muncul informasi baru bahwa mereka survei itu sampai tanggal 3 Maret 2023."

Alasan Warga Menolak Tambang Geothermal

Agustinus menyebut ada alasan mengapa warga 10 gendang di Poco Leok berkeras menolak proyek pengembangan tambang geothermal PLTP Ulumbu. Penolakan itu sebagian besar berangkat dari berbagai kekhawatiran akan adanya dampak buruk dari proyek geothermal.

Misalnya, warga khawatir kehadiran proyek geothermal akan mengakibatkan hasil komoditas pertanian warga menjadi menurun, seperti yang sudah dialami warga desa tetangga.

Sebelumnya, hasil komoditi warga desa tetangga seperti kopi, cengkeh, kakao, kemiri dan lain-lain, bisa mencapai angka ton sekali panen. Tapi sejak PLTP Ulumbu beroperasi pada 2012 silam, komoditas pertanian desa tetangga menjadi menurun.

Konon bahkan hanya sekedar untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga, kopi misalnya, warga harus memenuhinya dengan membeli ke pusat kota. Kekhawatiran pengaruh geothermal terhadap produktivitas lahan pertanian ini beralasan, sebab jarak Ulumbu ke Poco Leok hanya 3-4 kilometer saja.

Lokasi PLTP Ulumbu yang berdekatan dengan Poco Leok./Sumber: Jatam

Kemudian alasan lainnya adalah kondisi topografi Poco Leok yang tidak cocok untuk aktivitas eksplorasi dan tambang geothermal. Sebab secara topografis Poco Leok berupa perbukitan, yang terjal dan curam. Selain itu tanahnya juga labil, hujan yang cenderung turun sepanjang tahun membuat perbukitan menjadi rawan longsor.

"Kondisi topografi yang tidak memungkinkan karena tanahnya labil, jangankan untuk bor, kalau hujannya deras pasti ada longsor," kata Agustinus.

Warga Poco Leok juga belajar dari dampak buruk geothermal Ulumbu dan kegagalan proyek geothermal di Mataloko. Proyek geothermal yang sudah berjalan di lain tempat itu telah mengakibatkan penurunan tanah dan abrasi atau pengikisan tanah. Warga tidak menghendaki dampak buruk itu.

Ancaman masalah kesehatan dampak dari H2S yang menyebabkan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) menjadi alasan penolakan selanjutnya. Belum lagi secara antropologis, wilayah yang akan dieksporasi itu memiliki kaitan erat dengan adat.

"Ancaman budaya dan ruang hidup bersama. Warga Pocoleok sangat menghargai budaya. Upacara-upacara adat juga erat kaitannya dengan alam lingkungan, seperti hutan, tanah, mata air," ujar Servasius.

Servasius menerangkan, tanah memiliki nilai sakral bagi warga. Tanah adalah kehidupan warga itu sendiri. Tanah juga dianggap sebagai ibu, yang melahirkan dan menjaga keutuhan hidup. Tanah juga adalah benteng pertahanan, artefak budaya.

Filosofi budaya Manggarai, terutama dalam go'et (ungkapan adat), tanah mbate dise ame, ledong dise empo. Yang artinya tanah adalah warisan para nenek moyang, peninggalan para leluhur.

"Kita yang hidup sekarang bukan pemilik sah atas tanah. Kita hanya menjaganya semasa kita hidup, untuk kemudian pada saatnya kita akan menyerahkannya pada generasi berikut," terang Servasius.

Ungkapan lain yang berlaku di Poco Leok adalah gendang one lingko peang. Gendang adalah rumah, simbol kenyamanan, tempat tinggal. Lingko adalah kebun komunal, ruang hidup bersama, tempat bekerja, mencari makan untuk bertahan hidup.

"Itu satu kesatuan yang tak terpisahkan, antara gendang dan lingko. Jika lingko sudah rusak atau dirampas, maka yang lain itu tidak ada maknanya lagi."

Warga Poco Leok, terutama yang tinggal di 10 kampung adat penolak proyek geothermal, berharap Bupat Manggarai segera mencabut kembali surat penetapan lokasi PLTP di Poco Leok. Pemerintah juga diharapkan merespon tindakan dan perjuangan warga yang berkali-kali telah melakukan aksi di kampung dan menyatakan penolakan.

"Pemerintah harus merangkul dan mempertimbangkan hak semua warga dalam setiap kebijakan dan rencana pembangunan," tandas Servasius.

Terpisah, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) April Parlindungan mengatakan, aparat TNI dan kepolisian tidak seharusnya dilibatkan dalam kegiatan survei yang dilakukan PLN dan pihak PLTP Ulumbu itu. Karena kehadiran aparat membawa kesan intimidatif, bagi warga Poco Leok yang sebagian besar menolak proyek geothermal.

"Dan suara -suara penolakan diabaikan oleh pemerintah, bahkan pemda terlibat dalam memfasilitasi investasi geothermal," kata April, Rabu (22/2/2023).

April berpendapat, kegiatan survei akses jalan untuk proyek pengembangan tambang geothermal PLTP Ulumbu unit 5 dan unit 6 sebaiknya dihentikan. Keputusan warga yang berkali-kali telah menyatakan penolakannya itu harus dihormati.

Dari perhitungan, proyek pengembangan PLTP ini bukanlah hal yang urgen. Hanya saja pemerintah dan PLN menganggap geothermal adalah sumber energi bersihm baru dan terbarukan.

"Sebagai menjadi modal pencitraan untuk mengejar target bauran energi sebanyak 23 persen pada tahun 2025 mendatang," ujar April.

Sekilas tentang PLTP Ulumbu

PLTP Ulumbu merupakan pembangkit listrik yang dikelola langsung oleh PT PLN.  Operasi lapangan dijalankan oleh dua anak perusahaannya, yakni PT Indonesia Power dan PT Cogindo. Sejak 1970 hingga akhir 1990-an, PT PLN bersama sejumlah peneliti sudah melakukan aktivitas penelitian dan eksplorasi di kawasan tersebut.

Meningkatnya intensitas penambangan geothermal di seluruh Indonesia, khususnya di wilayah Poco Leok, tak lepas dari keberpihakan pemerintah terhadap para investor geothermal. Pemerintah mengklaim geothermal sebagai energi bersih dan terbarukan, sehingga geothermal ditargetkan untuk memenuhi target bauran energi nasional sebesar 23 persen pada 2025 mendatang.

Sebaran proyek geothermal di NTT./Sumber: Jatam

Padahal, dalam praktiknya, geothermal sama buruknya dengan sumber energi lain seperti batu bara dan migas, mencemari bentang air dan udara yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga dan ekosistem, membongkar kawasan hutan, alih fungsi lahan, hingga menggusur pemukiman penduduk.

Bahkan, industri geothermal sendiri, dalam praktiknya juga menyebabkan gempa picuan, dan telah menyebabkan korban jiwa akibat gas beracun seperti H2S (hidrogen sulfida), sebagaimana terjadi di Mandailig Natal, Dieng, dan wilayah lainnya di Indonesia.

Ambisi pemerintah bersama pelaku bisnis yang hendak membongkar di lebih dari tiga ratus titik mata bor geothermal di Indonesia, di mana lebih dari 20 di antaranya berada di pulau Flores, jelas mempertaruhkan keselamatan rakyat. Ekstraksi panas bumi dalam skala besar ini, diproyeksikan untuk mensuplai kebutuhan energi listrik bagi industri itu sendiri.

Dengan demikian, rencana perluasan pengeboran geothermal Ulumbu ke wilayah Poco Leok, berikut upaya paksa melakukan survei akses jalan dan titik pemboran tanpa sepengetahuan warga, lebih tepat disebut sebagai pagelaran parade pelanggaran hukum oleh para penegak hukum. Mengingat seluruh tahapan yang mestinya harus dilakukan sebelum eksplorasi panas bumi tak satupun dilakukan.

Hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Cipta Kerja Pasal 41 yang mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Panas Bumi Jo. Perppu 2 Tahun 2022 pada Pasal 42 ayat (1) terkait penyelesaian penggunaan lahan.

Tak hanya itu, pendudukan tanah warga dan tanah adat di Poco Leok tanpa izin ini telah melanggar KUHP Pasal 385. Pelanggaran ini tak main-main dan dapat berakibat pada sanksi pidana dan pencabutan izin usaha panas bumi.