Penangkaran Mandul, Ekspor Andalkan Satwa dan Tumbuhan dari Alam

Penulis : Sulih Primara - Peneliti Direktorat Hutan Yayasan Auriga Nusantara

Opini

Minggu, 05 Maret 2023

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID - Hasil analisis ekspor tumbuhan dan satwa liar (TSL) periode 2018-2022 menunjukkan persentase keuntungan pemanfaatan TSL untuk ekspor dari habitat alami mengalami peningkatan rata-rata 49,87 persen per tahun. Triliunan rupiah keuntungan ekspor TSL berasal alam itu membuat publik bertanya-tanya, apakah pemerintah telah membiarkan tumbuhan dan satwa liar dari populasi di alam dieksploitasi secara massif?

Penyebab meningkatnya penghasilan ekspor TSL dari alam ini diduga adalah karena tidak produktifnya 1.348 unit penangkaran, assessment jumlah populasi tumbuhan dan satwa liar di alam yang tidak jelas dan tidak terbuka ke publik, dan kurangnya pertimbangan keseimbangan populasi di alam.

Selain itu ekspor negara dari TSL mengalami penurunan sejak 2018. Penurunan pendapatan dari hasil ekspor TSL ini mungkin dampak dari pandemi COVID 19 dan tidak maksimalnya usaha penangkaran TSL.

Laporan riset International Socioeconomic Inequality Drives Trade Patterns in the Global Wildlife market menyebutkan, sekitar 421.000.000 satwa liar terancam punah (daftar Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora - CITES) diperdagangkan ke 226 negara pada 2008-2018.

Sejumlah kera ekor panjang yang ditangkap yang kemudian dimasukkan ke dalam peti bambu./Foto: Action for Primates

Jian Huan Liew dkk, tim peneliti asal Hong Kong dan Singapura penyusun laporan riset tersebut menemukan jaringan perdagangan satwa liar global terhubung dan dikendalikan oleh negara maju, karena importir (negara maju) mengambil keuntungan ekonomi yang lebih banyak dari negara eksportir (negara berkembang dan miskin). Dalam laporan riset itu Indonesia disebut sebagai eksportir satwa liar peringkat satu dan telah mengekspor 71 juta satwa liar pada 2008-2018.

Riset peneliti asing tersebut senada dengan rilis pemerintah, melalui laporan kinerja Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik (KKHSG) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) periode 2018-2022, yang menargetkan keuntungan ekonomi sebesar Rp2,05 triliun per tahun untuk ekspor TSL hasil penangkaran. Hingga akhir 2022, pemerintah telah menerbitkan izin penangkaran sebanyak 1.348 unit, tetapi hanya mencapai pendapatan sebesar Rp1,7 triliun dari ekspor TSL yang berasal dari penangkaran pada 2022.

Pada 2018 pemerintah hanya mengambil keuntungan TSL dari habitat alam sebesar Rp2,4 triliun, dan mendapat respon positif dari publik, karena pemerintah memaksimalkan pemanfaatan TSL dari hasil penangkaran dan mengurangi pengambilan dari habitat alami untuk kebutuhan ekspor. Namun pada 2022 pemerintah malah mengambil keuntungan ekspor TSL dari habitat alami sebesar Rp9,1 triliun.

Penulis menilai tindakan pemerintah pada 2022 ini sangat disayangkan. Karena penyebab utama hilangnya spesies dan penularan penyakit zoonosis adalah pengambilan spesies dari alam untuk diekspor ke luar negeri.

Bukti pemerintah masih bergantung pada pasokan dari habitat alami adalah beredarnya berita penangkapan monyet ekor panjang (Macaca fasicularis) di Yogyakarta untuk CV Primaco atas izin BKSDA Yogyakarta pada akhir 2022. Parahnya penangkapan monyet ekor panjang tersebut dilakukan dengan kekerasan fisik hingga memisahkan induk dan anak, selain itu penangkapannya diduga tidak berdasarkan kuota tangkap dan ekspor TSL pada tahun 2022. Tindakan yang tidak ramah terhadap satwa dan menyalahi prosedur itu banyak menuai kecaman public, terutama bagi pecinta satwa liar.

Jurnal biologi yang diterbitkan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut Kamboja dan Indonesia menjadi negara eksportir tertinggi kedua dan ketiga dalam perdagangan monyet ekor panjang. Perusahaan eksportir monyet ekor panjang asal Indonesia, Kamboja, Laos dan Vietnam tidak memiliki kemampuan yang dapat diandalkan untuk menghasilkan keturunan generasi kedua. Keempat negara tersebut tetap bertahan dengan melakukan pengisian ulang dari populasi alam untuk penangkaran lokal, untuk kebutuhan ekspor ke China, Amerika Serikat, Denmark, Jepang, Inggris dan negara maju lainnya.

China sebagai negara eksportir global terbesar monyet ekor Panjang, sebagian besar pasokannya berasal dari Asia Tenggara, salah satunya Indonesia. Perusahaan dan eksportir monyet ekor panjang  asal China telah berhasil memproduksi monyet ekor panjang keturunan kedua, dengan tingkatan yang disebut sentinel.

Monyet ekor panjang dengan level sentinel biasanya digunakan sebagai hewan percobaan untuk menguji makanan manusia, obat bayi dan kebutuhan percobaan lainnya. Monyet ekor panjang hasil penangkaran China diekspor ke Amerika Serikat sebanyak 246.066 individu sejak 2000 hingga 2019.

Belajar dari China, penulis berpendapat sebaiknya Indonesia lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas penangkaran monyet ekor panjang dalam negeri minimal menghasilkan generasi kedua monyet ekor panjang. Ketergantungan penangkapan monyet ekor panjang dari alam untuk kebutuhan ekspor menyebabkan penyusutan populasi ditingkat lokal.

Jika populasi monyet ekor panjang menurun dan berstatus terancam punah, hal ini pastinya akan menguntungkan pengusaha monyet ekor panjang asal China untuk memaksa Pemerintah Indonesia membuka keran impor monyet ekor panjang, guna kebutuhan alat percobaan medis di masa depan.

Berbagai jenis satwa liar asli Indonesia memiliki harga tinggi di pasar internasional. Satwa liar dilindungi hasil penangkaran yang diperdagangkan secara legal memicu perburuan dan perdagangan ilegal untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal dan luar negeri, karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

Menurut penulis, mungkin sebaiknya pemerintah menghilangkan saja sebutan “satwa dilindungi”, dan menjadikan seluruh satwa liar yang berada di Indonesia menjadi dilindungi. Kejelasan dilindunginya seluruh satwa liar tentunya memberikan kejelasan hukum.

Selain itu dapat mendorong pemerintah agar transparan dalam mengelola penangkaran, seperti terbukanya informasi populasi jenis satwa liar di alam dan kapasitas penangkaran hingga rantai pasoknya kepada publik, sehingga satwa liar dapat dimanfaatkan dengan bijak dan tidak lagi mengambil dari populasi alami untuk kebutuhan ekspor.

Satwa liar yang diperdagangkan secara ilegal maupun legal biasanya berasal dari daerah sekitar hutan dan tertinggal secara ekonomi. Keterbukaan rantai pasok mengenai perdagangan satwa liar dapat digunakan pemerintah sebagai dasar untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat sekitar hutan yang merupakan asal satwa liar yang diperdagangkan.

Pemberian kompensasi atau insentif kepada masyarakat diharapkan dapat menekan perburuan satwa liar, meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kelestarian satwa liar, dan memberi modal masyarakat sekitar hutan untuk membuka bisnis yang ramah lingkungan.