Suku Balik Terjajah Lagi

Penulis : Salsabila

Masyarakat Adat

Senin, 03 April 2023

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID - Senin (6/3/2023) siang, lalu lintas di jalan poros Kecamatan Sepaku di Kabupaten Penajam Pasar Utara, Kalimantan Timur (Kaltim), ramai seperti biasanya. Tak terhitung berapa kali kendaraan berdimensi besar, seperti truck mixing atau truk "molen" dan truk angkutan material lainnya, mondar mandir melintas di jalan, sibuk keluar masuk beberapa batching plant dan gudang logistik yang ada di sepanjang jalan poros.

Batching plant sendiri adalah tempat pengolahan beton ready mix dalam jumlah besar yang dibangun khusus untuk menyuplai kebutuhan beton curah ke sejumlah proyek di wilayah ibu kota negara (IKN).

Tiap kali truk "molen" dan kendaraan besar lainnya melintas di jalan yang mengular dari Desa Bumi Harapan hingga Kelurahan Pemaluan itu, gumpalan debu tebal mengepul di belakangnya. Lantaran jalan tersebut belum seluruhnya beraspal. Guguran tanah yang cukup banyak menutupi jalan terkadang juga menyebabkan jalan itu menjadi licin saat hujan turun.

"Saat hujan turun jalanan jadi licin. Rawan untuk dilalui oleh warga," keluh Medan (65), tokoh masyarakat Suku Balik yang tinggal di Desa Bumi Harapan, saat ditemui di rumahnya. Medan baru saja mengadukan persoalan debu dan lumpur di jalan poros itu kepada pemerintah desa setempat.

Becce, perempuan Suku Balik, berdiri di depan spanduk yang berisi larangan memasuki lokasi proyek Intake Sungai Sepaku. Becce adalah salah satu warga Suku Balik yang menolak proyek intake Sungai Sepaku. Foto: Salsabila

Namun, debu dan lumpur di jalan poros ini hanya satu di antara banyak situasi buruk yang tengah dirasakan Medan dan beberapa warga lainnya, atas keberadaan proyek IKN. Situasi paling meresahkan Medan saat ini adalah rencana pemerintah untuk merelokasi atau memindahkan--bila tak ingin disebut mengusir--ia dan keluarganya dari tempat tinggalnya sekarang.

Medan bilang, wajar apabila kawasan yang akan dibangun IKN adalah tanah kosong. Tapi faktanya ada kehidupan warga yang mendiami di tempat tersebut sejak lama.

“Keinginan kami jangan sampai dipindahkan. Masalahnya kalau kami dipindahkan kami ini kemana? Kalau orang Paser bisa ke Grogot, kalau kami warga asli di sini harus kemana?” tanya Medan.

Megaproyek IKN yang bakal mengundang keramaian juga membuat warga Suku Balik merasa resah. Sebab keramaian bukanlah sesuatu yang Suku Balik harapkan. Warga Balik terbiasa dengan kehidupan yang sepi dan tenang.

Kehidupan kota masuk ke desa, situasi ini tidak pernah terlintas sama sekali bagi Becce (54). Perempuan Suku Balik yang tinggal di Kelurahan Sepaku ini menganggap, hadirnya kota dikhawatirkan mengundang kejahatan, seperti perampokan dan penculikan di kampungnya.

“Selama ada kegiatan IKN, tidur itu tiap malam bisa dihitung hanya berapa jam. Sebentar-bentar bangun, aku lihat, apa lagi kalau motor anakku diparkir di pinggir jalan,” tutur Becce.

Becce tidak melebih-lebihkan, apa yang ia ceritakan dialami warga di desa tetangga. Peristiwa hilangnya motor dan anak yang diculik baru saja terjadi.

“Makanya ku bilang, kita sekarang ini rusuh resah. Tidak tenang tidur, tidak tenang makan, perasaan kita terganggu semua,” ujar Becce meluapkan keresahannya.

Megaproyek "Batavia Baru" mengejutkan semua pihak tak terkecuali warga Suku Balik. Gagasan awal disampaikan kepada publik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Rapat Terbatas Pemerintah pada 29 April 2019, atau 12 hari pascapencoblosan Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 lalu.

Kala itu Jokowi begitu saja memutuskan untuk memindahkan IKN ke luar Pulau Jawa. Pernyataan itu muncul jelang sidang Mahkamah Konstitusi, terkait sengketa Pilpres.

Beberapa bulan setelahnya, tepatnya pada 26 Agustus 2019, Presiden mengumumkan IKN pindah ke Kaltim, di depan anggota DPR RI. Lebih rinci orang nomor satu di Indonesia ini menyebut lokasi pemindahan IKN berada di wilayah administratif Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Keputusan tersebut disahkan menjadi undang-undang pada 18 Januari 2022 oleh DPR RI, disetujui 8 dari 9 fraksi.

Bila diperhatikan, pemindahan IKN sebenarnya tidakah berjalan dengan baik. Masih banyak pihak, terutama warga Suku Balik, yang menilai kebijakan ini dirasa terburu-buru.

Kepala Adat Kelurahan Pemaluan, Jubaen (58), mengatakan, sebelum mengambil keputusan, pemerintah semestinya lebih dulu memikirkan bagaimana nasib masyarakat bila proyek pemindahan IKN dilakukan.

“Karena yang datang tidak sedikit ke sini. Sanggup tidak kami menghadapi. Seperti kemarin, belum disahkan saja sudah dijalankan. Itu sama saja membunuh orang yang tinggal di situ,” umbar Jubaen (58), Kepala Adat Kelurahan Pemaluan.

Tampak dari kejauhan aktivitas proyek Intake Sungai Sepaku di Kelurahan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara. Foto: Salsabila

Sungai Sepaku dan Kepentingan Proyek Intake

Tak hanya mengakibatkan warga terusir, proyek normalisasi Sungai Sepaku melalui intake yang sedang dikerjakan pemerintah juga akan merenggut lahan-lahan warga Balik di pinggiran Sungai Sepaku. Proyek pengambil air memanfaatkan Sungai Sepaku ini ditujukan untuk menyuplai kebutuhan air baku IKN. Proyek ini menelan dana lebih kurang Rp344 miliar, memiliki kapasitas 3.000 liter/ detik.

Intake Sungai Sepaku dibangun dengan konsep bendung gerak dan memiliki lebar bendung 117,2 meter dan tinggi bendung 2,3 meter. Proyek ini dikerjakan sejak Oktober 2021 sampai dengan April 2023.

Pihak Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan IV mengungkapkan, panjang normalisasi Sungai Sepaku kurang lebih 4,5 kilometer dengan kebutuhan lahan sekitar 200 hektare.

Berbeda dengan data yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Kaltim, lewat Keputusan Nomor: 590/100 /SEK-TP2T.Kaltim tertanggal 2 November 2022, Gubernur Kaltim mengeluarkan pengumuman perubahan SK Nomor: 590/K.289/2021 tentang Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Intake Sungai Sepaku, terjadi perubahan luasan, yang semula kurang lebih 13,22 hektare menjadi 12,91 hekare.

Proyek ini berdampak pada lahan warga di tiga tempat, yakni Kelurahan Sepaku, Desa Sukaraja dan Desa Bukit Raya. Di wilayah Kelurahan Sepaku sebanyak 22 kepala keluarga akan terdampak dalam rencana program intake Sepaku.

Tetapi tidak semua warga sepakat terhadap rencana proyek tersebut, Becce salah satunya. Becce mengaku secara tegas menyampaikan penolakan normalisasi Sungai Sepaku, saat Pemerintah Kelurahan Sepaku menanyakan persetujuan warga terhadap proyek tersebut, dalam sebuah rapat di Kecamatan Sepaku.

"Saya menolak, saya mendingan rumah tenggelam daripada hancur. Kalau rumah tenggelam surut air timbul lagi, kalau rumah saya hancur enggak ada lagi, enggak timbul lagi. Kalau bisa kami jangan dikemana-manakan dari tempat kami sendiri,” kata Becce.

Dalam rapat itu, Becce sempat bersitengang dengan pihak pemerintah kelurahan. Dalam rapat tersebut warga yang hadir dimintai tanda tangan, termasuk dirinya. Sepemahaman Becce, tanda tangan dimaksud adalah tanda tangan kehadiran saja. Tetapi tanda tangan kehadiran dimaksud malah dianggap sebagai bentuk persetujuan proyek normalisasi.

“Tapi kalau aku bilang pasrah enggak mau dipindah, enggak mau digusur. Kami tetap disini ini kampung kita. Ganti rugi enggak mencukupi sampai anak cucu kita,” katanya.

Becce sebelumnya sepakat melepaskan sebagian tanahnya yang bersisian langsung dengan badan sungai. Namun belakangan Becce merasa dibohongi oleh pihak pelaksana proyek, sebab lokasi yang dipatok ternyata tidak sesuai dengan yang ia inginkan.

Merasa kesal, Becce selanjutnya mencabut patok yang sudah dipasang di tanahnya itu. Walau kemudian pencabutan patok tersebut dipertanyakan oleh pihak pelaksana proyek dan pihak pemerintah kelurahan.

“Kenapa bu kok dicabut? Karena aku enggak mau kasih selebar itu, jadi ku cabut. Jadi siapa yang bantu ibu? Tidak ada siapa-siapa, aku sendirian. Ku goyang nyata goyang, ya ku cabutlah. Kenapa ibu enggak setuju? Aku enggak mau aja, aku enggak mau memang tanamanku dirusakin,” ujar Becce menirukan percakapannya dengan pihak kelurahan dan pelaksana proyek intake.

Kekesalan Becce itu beralasan. Dia bilang, pihak pelaksana proyek tidak menyampaikan pemberitahuan apalagi mengajak serta dirinya, saat melakukan pengukuran lahan dan pemasangan patok.

Selain itu, ganti untung tanah yang dijanjikan pihak pelaksana proyek, kata Becce, juga tidak sesuai kesepakatan. Pihak pelaksana proyek hanya menjanjikan ganti untung tanah per meter persegi senilai Rp100 ribu saja.

Padahal berdasarkan Surat Keterangan Lurah Nomor: 593/105/Ta.Pem/XII/2022 yang dikeluarkan Pemerintah Kelurahan Sepaku, harga pasaran tanah per meter persegi di Jalan Datu Nondol RT. 009 Kelurahan Sepaku paling rendah Rp150 dan paling tinggi Rp250 ribu.

“Kalau kita tahu begini dari awal kita enggak mau. Kalau aku dari pertama memang enggak mau, kalau kita kompak enggak mungkin kayak gini. Kampung kita dirampok kayak orang Jepang. Janji ini, janji itu kenyataannya enggak ada.”

Alasan lain mengapa Becce enggan tanahnya digunakan untuk proyek intake adalah karena di tanahnya terdapat pohon durian yang telah puluhan tahun memberikan hasil bagi Becce dan keluarga. Tiap musim durian tiba, Becce biasa membagikan hasil panennya kepada para tetangga dan keluarga.

Tampak dari kejauhan aktivitas pembangunan istana presiden di titik nol IKN baru di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim. Foto Salsabila.

Terjajah sejak Sumur Mathilda hingga Megaproyek Ibu Kota Negara Baru

Bukan kali ini saja warga Suku Balik terjajah. Sejarah mencatat penjajahan terhadap Suku Balik sudah terjadi sejak zaman kolonial Belanda.

Penemuan sumur minyak bumi oleh Pemerintahan Hindia Belanda serta aktivitas industri migas di Balikpapan oleh Chevron dan Pertamina merupakan awal mula peradaban Suku Balik mengalami kehancuran di wilayah Teluk Balikpapan dan sekitarnya.

Perlu diketahui, Suku Balik awalnya berasal dari Balikpapan. Suku Balik terpaksa bermigrasi ke tempat terpencil, hingga ke hulu Sungai Sepaku, lantaran menghindari keramaian dan determinasi sosial yang terjadi di Balikpapan.

“Kami Suku Balik adalah suku yang tinggalnya berjauhan. Tidak suka ramai-ramai. Jika ada yang datang mendekat, kami akan menyingkir,” tutur Sibukdin (59), Kepala Adat Kelurahan Sepaku.

Menurut sejarahnya, pengeboran minyak untuk pertama kalinya di Balikpapan dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 10 Februari 1897. Sumur minyak pertama itu kemudian diberi nama Mathilda. Eksplorasi ini dilakukan oleh Mathilda Corporation, kerja sama antara J.H Menten dan Adams dari Samuel & Co.

Perang dunia ke-II berkecamuk, Jepang menginvasi Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada 1942 jepang telah menginjakkan kakinya di Kaltim mengambil alih fasilitas kilang dan sumur minyak Belanda.

Jepang yang sedang memperluas wilayah pendudukan membutuhkan banyak minyak guna mendukung armada perangnya di medan tempur.
Pendudukan Jepang di Balikpapan berakhir pada 1945, ketika tentara sekutu yang dipimpin Australia menyerbu masuk dari Selat Makassar mengepung garis pantai Balikpapan.

Kehidupan Suku Balik pun kembali damai, namun hanya sesaat. Perginya Belanda dan Jepang tidak lantas membuat kondisi warga Balik membaik. Kekacauan baru kali ini bukan dari pihak asing, adalah Gerakan Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia (TII) di bawah pimpinan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan yang kali ini mengancam.

Pada 1953 pemberontakan DI/TII Ibnu Hajar meluas hingga ke Balikpapan bagian seberang--kini wilayah tersebut disebut Sepaku. Ancaman pembunuhan tersebar hingga penjuru kampung, hal tersebut yang memicu warga balik meninggalkan kampung tidak hanya berbulan-bulan bahkan hingga tahunan.

Setion (65), kakak Sibukdin, menyebut dirinya dan sang adik sempat terpisah gara-gara pemberontakan DI/TII yang terjadi di Balikpapan. “Waktu zaman gerombolan semua orang terpencar. Yang bikin sepi Sepaku atau Pemaluan itu gara-gara gerombolan itu. Gerombolan itu masuk dari hutan dari darat, jadi terkepung masyarakat,” katanya.

“Saudara bapak kami saja mati enggak tahu di mana arahnya. Disandera di dalam hutan, sudah enggak tahu. Kalau bibi saya dulu dia sempat lolos ketemu di Muara Toyub (Paser),” imbuh Sibukdin.

Setion bilang, berhari-hari di hutan membuat ia dan sang ibu menjadi tidak tahu arah jalan. “Kalau saya di Kutai sana, di Kedang Ipil sama ibu saja itu, enggak ada yang lain,” kenang Setion.

Babak baru setelah Presiden Soekarno tidak lagi berkuasa, modal asing masuk. Pada 1973, Presiden Soeharto memberikan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) kepada PT Internasional Timber Corporation Indonesia (ITCI) Kartika Utama seluas kurang lebih 250 ribu hektare, untuk produksi log atau kayu gelondongan.

PT ITCI Kartika Utama (IKU) merupakan salah satu perusahaan milik TNI Angkatan Darat di bawah payung Yayasan Kartika Eka Paksi. Kejayaan PT ITCI Kartika Utama runtuh bersamaan dengan jatuhnya kekuasaan Orde Baru Soeharto.

Dalam kondisi sekarat, pengusaha Hasyim Djojohadikusumo--adik Menteri Pertahanan Prabowo Subianto--kemudian mengambil alih kepemilikan perusahaan.
Pada 2006, PT ITCI Hutani Manunggal (IHM), salah satu perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto mengambil sebagian saham PT ITCI Kartika Utama. Perusahaan perkebunan kayu atau Hutan Tanaman Industri (HTI) ini menguasai lahan seluas kurang lebih 161.127 hektare membentang dari Kecamatan Sepaku (Penajam Paser Utara) hingga Muara Muntai, Kota Bangun, Loa Kulu dan Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara.

Konsesi PT ITCI Hutani Manunggal diketahui tumpang tindih dengan ladang-ladang dan hutan yang menjadi tumpuan hidup warga Balik. Jubaen mengingat bagaimana warga dulunya direpotkan dengan urusan perusahaan yang warganya dianggap menggarap tanah perusahaan.

”Sampai sekarang enggak ada realisasi dari perusahaan mengembalikan lahan warga,” katanya mengingat konflik tanah yang dialami warganya dengan PT ITCI Hutani Manunggal.

Bagi Sibukdin, sejak pemerintah mendatangkan perusahaan ke kampungnya, warga merasa dijajah secara perlahan. Kayu-kayu hasil dari alam diambil dan dibawa keluar tanpa ada kontribusi buat warga Balik.

“Dirampas hak-hak kami di dalamnya, kemudian tanah kami juga banyak yang diambil oleh mereka,” ujarnya, mengisahkan kelakuan perusahaan kayu di masa itu.

Bersamaan era kayu, kebijakan Presiden Soeharto juga membuat program transmigrasi, yang lahannya merupakan wilayah lahan garapan Suku Balik. Masuknya transmigrasi dimulai pada 1975, tepatnya pada 26 Agustus 1975, di Desa Bukit Raya. Selanjutnya setiap tahunnya transmigran baru terus didatangkan, berakhirnya pada 1984 di Desa Sukomulyo.

“Dari lima belas desa dan kelurahan yang ada di Kecamatan Sepaku, sebelas di antaranya adalah desa transmigrasi, empat kelurahan bukan transmigrasi,” ungkap Hendro Susilo, Sekretaris Kecamatan Sepaku.

Sibukdin menilai, program transmigrasi merupakan sebuah kebijakan yang tidak adil bagi warga Suku Balik. Sebab para transmigran diberikan lahan berstatus area penggunaan lain (APL) bahkan diberi sertifikat tanah gratis, sedangkan warga Balik setempat tidak mendapat perlakuan demikian.

"Kalau kami tidak ada, bahkan kami ini dianggap tidak ada.”

Bisa dibilang Suku Balik sejak ratusan tahun lalu sudah kenyang menelan rasa terjajah, mulai dari masa Hindia Belanda, Pertamina dan Chevron, hingga saat ini.

“Tanpa adanya IKN penjarahan yang berlangsung sejak lama terhadap keberadaan Suku Balik ini terjadi. Bahkan sampai saat ini dalam rezim Jokowi turut meneruskan kerusakan terdahulu dan lebih rusak,” tutur Roedy Haryo Widjono, budayawan Kaltim.

Makam Suku Balik yang masih tersisa di Kelurahan Sepaku. Foto: Salsabila.

Suku Balik Mempertahankan Keberadaannya

Hingga kini tidak ada kepastian hukum atas ruang hidup Suku Balik. Termasuk keberadaan mereka sebagai masyarakat adat yang secara turun temurun menghuni wilayah yang kini dijadikan IKN baru.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, Saiduani Nyuk, meramalkan, persoalan ini akan menimbulkan konflik yang sangat besar. Apalagi masyarakat adat setempat tetap bersikukuh tidak bersedia digusur atau dipindahkan dari tempat mereka dalam situasi apapun.

Saiduani, yang kerap disapa Duan, berpendapat, pemerintah tampaknya tidak menganggap penting keberadaan Suku Balik, terkait fungsinya dalam kebudayaan dan adat, termasuk dalam memutuskan segala sesuatu terkait penentuan wilayah IKN.

“Kalau ada janji mereka dalam mengakomodir pendidikan dan pekerjaan, itu adalah janji bohong yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.

Pekerjaan yang ditawarkan terhadap masyarakat adat atau lokal, lanjut Saiduani, juga hanya sekedar sebagai buruh bangunan saja. Itu menurutnya tak ada bedanya dengan penjajahan zaman Belanda, saat VOC menerapkan kerja paksa kepada masyarakat untuk pembangunan.

Saiduani mengatakan, AMAN Kaltim sejak awal secara tegas menolak IKN di wilayah Kaltim. Terlebih penentuan lokasi dan perencanaan IKN baru ini tidak melibatkan dan tidak mempertimbangkan hak Suku Balik.

“IKN tidak memiliki perencanaan yang kuat tidak ada analisis dampak lingkungan, tidak ada menetapkan wilayah adat sebelum adanya IKN”.

AMAN Kaltim, masih kata Saiduani, telah menjalankan mekanisme yang dibuat oleh Negara melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, serta melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kaltim No. 1 Tahun 2015 tentang Prosuder Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kaltim.

“Kami sudah mengadukan, tapi pemerintah tidak menjalankan kebijakan yang dibuat sendiri. Sehingga masyarakat adat tidak ada peluang mengajukan perlakuan perlindungan terhadap masyarakat adat,” terang Saiduani.

Terkait pemetaan wilayah adat di Kaltim, Saiduani menyebut, sudah ada 4 wilayah yang telah dipetakan, yakni wilayah adat Maridan, Mentawir, Sepaku lama dan Pemaluan.

Peta Wilayah Adat Sepaku di Kalimantan Timur. Peta: AMAN Kaltim

Pada 13 Februari 2023, lebih dari delapan puluh warga Suku Balik dari Kampung Sepaku Lama dan Pemaluan melakukan musyawarah adat. Rapat tersebut digelar di kediaman Sibukdin, di Kampung Sepaku Lama.

Rapat bersama tersebut dilakukan dalam rangka membahas kondisi masyarakat adat pascapenetapan Kecamatan Sepaku sebagai wilayah IKN, serta rencana Pembangunan Bendungan Intake Sungai Sepaku dengan cara melakukan normalisasi sungai. Dalam sosialisasinya, pemerintah berencana akan melakukan penggusuran, baik perkebunan serta rumah-rumah, yang masuk dalam areal rencana proyek tersebut.

Rapat tersebut melahirkan delapan poin tuntutan masyarakat adat Suku Balik, yaitu:

  1. Masyarakat adat di lokasi IKN menolak rencana penggusuran kampung.
  2. Masyarakat adat sepakat tidak mau direlokasi atau dipindahkan ke daerah lain oleh pemerintah.
  3. Masyarakat adat menolak penggusuran situs-situs sejarah leluhur, kuburan atau tempat-tempat tertentu, yang diyakini masyarakat adat sebagai situs adat Suku Balik secara turun-temurun.
  4. Masyarakat adat menolak dengan keras dipindahkan (relokasi) atau dipisahkan dari tanah leluhur.
  5. Masyarakat adat di Kecamatan Sepaku menolak perubahan nama kampung dan nama-nama sungai yang selama ini dikuasai.
  6. Masyarakat adat meminta kepada pihak pemerintah segera membuat kebijakan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat Suku Balik di Kecamatan Sepaku.
  7. Meminta pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap Suku Balik yang terdampak aktivitas pembangunan IKN, baik dampak lingkungan serta dampak sosial, yang dirasakan Masyarakat Adat Suku Balik di Kecamatan Sepaku.
  8. Masyarakat adat menolak serta tidak bertanggungjawab apabila ada tokoh atau kelompok yang mengatasnamakan mewakili atas nama Suku Balik melakukan kesepakatan terkait kebijakan di IKN tanpa melibatkan secara langsung komunitas adat.

Sebagai upaya untuk menyampaikan ke masyarakat luas serta pemerintah, pada 13 Maret 2023 Masyarakat Adat Suku Balik melakukan aksi pemasangan spanduk dan baliho, sebagai protes penolakan penggusuran kampung dan Sungai Sepaku oleh proyek rencana penanganan banjir IKN baru. Spanduk dan baliho tersebut tampak dipasang di sejumlah titik.

Sebelumnya, upaya lain telah coba dilakukan oleh Masyarakat Adat Suku Balik, melalui permohonan pelepasan status lahan dari kawasan Hutan Produksi (HP) seluas 2.230 hektare. Semua kawasan hutan tersebut masuk di dalam konsesi PT ITCI Hutani Manunggal. Permohonan tertanggal 20 Februari 2023 tersebut ditujukan ke berbagai pihak, mulai dari Bupati Penajam Paser Utara, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gubernur Kaltim, dan instansi terkait lainnya.

Luasan yang dimohonkan warga, di dalamnya termasuk pemukiman, pekarangan, pertanian tanaman pangan, sawah dan lahan perkebunan yang dikelola masyarakat. Tidak hanya surat permohonan, warga juga turut menyertakan peta partisipatif, titik koordinat serta dokumen pendukung lainnya. Permohonan ini ditandatangani oleh seluruh pihak, termasuk Lurah Sepaku, 9 ketua RT serta ratusan KK di Kelurahan Sepaku.

Liputan ini merupakan hasil kegiatan “Environmental Citizen Journalism Program 2023” yang diselenggarakan oleh Forest Watch Indonesia (FWI) dan Mongabay Indonesia.