Haris dan Fatia Hadapi Sidang Perdana Pencemaran Nama Baik Luhut

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Rabu, 05 April 2023

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID -  Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti dan Pengacara HAM, Haris Azhar, menjalani sidang perdana kasus dugaan pencemaran nama baik Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai LSM menganggap persidangan ini merupakan bagian dari kriminalisasi. 

Berkas perkara keduanya menyebutkan dakwaan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU 11/2008 tentang ITE atau Pasal 14 ayat (2) subsidair Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Pasal 310 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Jaksa penuntut umum atas nama Yanuar Adi Nugroho.

Koalisi Masyarakat Sipil beranggapan persidangan ini merupakan kelanjutan dari upaya kriminalisasi terhadap kedua aktivis tersebut. HAris dan Fatia dilaporkan oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, setelah memaparkan penelitian tentang bisnis militer di Blok Wabu berjudul "Ekonomi-Politik Penempatan Militer, Studi Kasus Intan Jaya di Papua" yang dilakukan oleh 9 lembaga yakni YLBHI, WALHI, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace, Trend Asia, dan #BersihkanIndonesia. 

Tim kuasa hukum Fatia dan Haris menunjukkan sikap anti kritik. Penggunaan pasal UU ITE terhadap Fatia dan Haris menunjukan lemahnya komitmen pemerintah dalam mengimplementasi SKB Pedoman Implementasi UU ITE. Dalam dokumen tersebut disebutkan pada poin 3 huruf c bahwa Pasal 27 ayat (3) tidak dapat dikenakan pada bentuk penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan. Sayangnya, pendapat yang berbasis pada sebuah kajian/riset terhadap suatu kebijakan penting di Papua dengan melibatkan skandal konflik kepentingan pejabat publik justru dipidanakan. 

Poster kampanye hentikan kriminalisasi masyarakat sipil Indonesia. Foto: LBH Pers

"Aktivitas yang dilakukan oleh Fatia dan Haris merupakan bagian dari upaya masyarakat sipil dalam mengontrol kerja pemerintah dan pejabat publik agar tak terjadi absolutisme kekuasaan. Dalam beberapa kasus pun, kerja-kerja semacam ini memang seringkali mendapatkan serangan berupa ancaman, intimidasi, teror dan kriminalisasi seperti halnya dalam kasus ini. Kasus kriminalisasi Fatia dan Haris ini begitu kental dengan muatan politik, apalagi saksi pelapor merupakan Luhut Binsar Pandjaitan yang notabene merupakan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi. Luhut pun terkenal memiliki pengaruh yang sangat besar di pemerintahan, sehingga Ia diduga mudah untuk mengontrol proses penegakan hukum terhadap Fatia dan Haris,” ujar Muhammad Isnur, tim hukum Fatia dan Haris. 

Ia menyebutkan proses pemidanaan terhadap Fatia dan Haris tak berdasar dan dipaksakan. Tim hukum menemukan sejumlah kejanggalan. Misalnya saja, secara formil Jaksa Penuntut Umum melakukan pemisahan berkas perkara pidana (splitsing) terhadap Fatia dan Haris. Padahal aktivitas keduanya dilakukan dalam satu video dan platform yang sama. 

Menurutnya merujuk pada Pasal 142 KUHAP pun, beberapa persyaratan jelas tidak terpenuhi seperti halnya berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka. Sementara dugaan tindak pidana yang disangkakan Jaksa Penuntut Umum sama, ditegaskan dengan persangkaan pasal perbarengan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP. Penggabungan perkara juga seharusnya dilakukan karena sesuai dengan asas peradilan yakni cepat, sederhana dan biaya ringan. 

Tim kuasa hukum telah mengajukan surat permohonan penggabungan perkara kepada Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan Jaksa Penuntut Umum. Hal tersebut sejalan dengan asas non self-incrimination sebagaimana diatur oleh Pasal 14 angka (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang juga Indonesia telah ratifikasi lewat UU No, 12 Tahun 2005. 

Sayangnya, Majelis Hakim tidak mempertimbangkan permohonan tersebut dan menyatakan akan menyidangkan kasus ini sesuai dengan dakwaan penuntut umum. Hakim Ketua pun beralasan bahwa akan melanjutkan proses hanya karena berkas yang sudah diterima dari Kejaksaan dipisahkan menjadi dua perkara. 

"Jaksa tidak mengerti pembahasan dan pokok permasalahan pada masalah ini, khususnya yang disampaikan Fatia dan Luhut pada podcast. Dakwaan yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum kami lihat juga hanya berfokus dan terbatas pada ucapan Fatia dan Haris. Padahal jauh dari pada itu, video podcast yang diunggah merupakan bahasan yang mendalam berkaitan dengan riset koalisi masyarakat sipil,” tambah Isnur. 

Sementara itu, di luar ruang persidangan, tepatnya di depan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan selasar ruang sidang utama PN Jakarta Timur, masyarakat sipil menggelar aksi solidaritas terhadap Fatia dan Haris. Koordinator aksi, Dimas Arya dari KontraS mengatakan aksi ini digelar untuk menunjukkan kepada publik dan menyampaikan kepada pengadilan bahwa pemidanaan terhadap Fatia dan Haris oleh seorang pejabat publik merupakan gejala sebuah negara yang otoriter.