75 Persen Mobil Listrik di Indonesia Tidak Pakai Baterai Nikel

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Kamis, 13 April 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Baru-baru ini Pemerintah Indonesia mulai menerapkan program insentif kendaraan listrik atau electric vehicle (EV), untuk kendaraan roda dua sebanyak 250.000 unit dan roda empat 35.900 unit pada 2023. Salah satu tujuan program ini adalah untuk meningkatkan penggunaan kendaraan listrik, terutama mendongkrak industri berbasis nikel. Padahal, sekitar 75 persen mobil listrik yang terjual di Indonesia tahun lalu ternyata tidak menggunakan baterai nikel.

Analis energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna dalam keterangan resminya mengungkapkan, sejauh ini terdapat dua produsen mobil listrik yang sudah masuk ke Indonesia, yakni Hyundai dan Wuling. Namun, khususnya untuk Wuling Air EV, yang merepresentasikan 75 persen dari penjualan mobil listrik di Indonesia tahun lalu, ternyata menggunakan baterai berbasis besi yang dikenal sebagai lithium iron phospate (LFP) yang harganya lebih terjangkau dan tidak mengandung nikel.

"75 persen dari mobil listrik yang terjual di Indonesia tahun lalu tidaklah menggunakan baterai nikel, namun menggunakan baterai berbasis besi dengan harga lebih terjangkau. Tren yang sama mungkin akan berkembang di segmen roda dua. Apakah kendaraan listrik Indonesia akan menggunakan nikelnya masih menjadi pertanyaan," kata Putra, 30 Maret 2023 lalu.

Lebih lanjut Putra menguraikan, penggunaan baterai berbasis nikel akan terus tumbuh di dunia, kemungkinan lebih banyak untuk pemakaian yang membutuhkan performa tinggi seperti kendaraan dengan jarak tempuh yang jauh. Ironisnya, belum jelas apakah kekayaan nikel Indonesia akan mendominasi perkembangan EV di pasar domestik.

Wuling Air EV, mobil listrik ini disebut tidak menggunakan baterai nikel. Foto: ANTARA/Ho/Wuling Motors

Mengingat sebagian besar populasi Indonesia memiliki kendaraan roda dua dan mobil segmen bawah sampai menengah, pertimbangan biaya sangat mungkin akan mencondongkan pasar EV Indonesia ke arah baterai LFP yang lebih terjangkau. Inisiatif yang ada tampak lebih terfokus pada pembangunan industri yang terkait penambangan nikel dan peningkatan industri baterai.

Dengan bertumpu kepada dua inisiatif tersebutlah tampak usaha untuk bisa memproduksi EV berharga terjangkau, baik dengan maupun tanpa baterai berbasis nikel. Sementara itu, ada juga rencana untuk membangun pabrik baterai LFP di Indonesia.

"Pada akhirnya, apakah nikel Indonesia akan cukup kompetitif untuk mendorong tumbuhnya pasar EV domestik dengan baterai berbasis nikel masih menjadi pertanyaan."

Putra menuturkan, program insentif pemerintah untuk mendorong penggunaan EV patut diapresiasi, namun adopsi EV pada skala besar tetap memerlukan penguatan kebijakan lain termasuk untuk infrastruktur charging dan pembatasan kendaraan konvensional. Komitmen multi-year dibutuhkan untuk mendukung ekspansi pasar EV yang berkelanjutan.

Program subsidi EV di India didesain sebagai program tiga-tahunan. Perlu diakui bahwa penyusunan kebijakan tersebut tidak mudah mengingat sudah dekatnya tahun pemilu, namun hal ini semakin menekankan pentingnya pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk mengawasi efektivitas berjalannya insentif tersebut.

"Dalam hal mendorong penggunaan EV, Indonesia sebenarnya sudah berada di arah yang tepat mengingat alternatif lainnya adalah terus menambah impor dan subsidi BBM. Namun tetap dibutuhkan sebuah komitmen regulasi yang optimal untuk membentuk pasar EV domestik yang signifikan."

Putra menyarankan pemerintah untuk mengantisipasi lonjakan penjualan EV yang tidak diikuti dengan perkembangan pasar EV yang berkelanjutan, termasuk risiko turunnya penjualan setelah pemberian insentif berakhir. Pencapaian yang jelas dan tren penurunan harga perlu menjadi perhatian.

Pelajaran dari negara lainnya, lanjut Putra, harus dipertimbangkan dalam mengawasi dan mengoptimalkan program insentif EV ini, termasuk dalam mengantisipasi risiko penyelewengan insentif. Kemudian, insentif dapat dibentuk secara progresif untuk mendorong teknologi tertentu yang memudahkan pengguna kendaraan seperti kendaraan dengan jarak tempuh yang lebih jauh, tingkat keselamatan yang lebih baik atau kemampuan penukaran baterai.

"Pembangunan infrastruktur terkait EV harus didorong secara bersamaan dengan program insentif."

Putra memandang, program insentif yang ada saat ini tampak seperti sebuah perlombaan dengan negara ASEAN lainnya, dalam mendorong investasi EV. Terlepas dari narasi kendaraan listrik yang terlihat berpijak pada sumber daya nikel domestik, pertarungan yang ada terfokus pada usaha pembangunan pabrikan baterai dan EV.

"Tanpa turut andil dalam produksi kendaraan listrik, Indonesia hanya akan terbebani imbas lingkungan dari eksploitasi nikel sementara tidak meraih keuntungan berarti dari adopsi EV yang lebih efisien," ujar Putra.