Pemerintah Harus Prioritaskan Keberlanjutan Perikanan Skala Kecil

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Kelautan

Selasa, 18 April 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) meminta Pemerintah Indonesia memprioritaskan perlindungan dan pemenuhan keberlanjutan perikanan skala kecil. Sebab pedoman perikanan skala kecil yang disahkan sejak 9 tahun lalu belum memberi dampak signifikan bagi perikanan skala kecil.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan Kiara dan PPNI diuraikan, pada 2014 silam, sidang Dewan FAO ke-149 telah mengesahkan petunjuk sukarela tentang perlindungan perikanan skala kecil dengan judul Voluntary Guidelines for Securing Sustainable Small-scale Fisheries in the Context of Food Security and Poverty Eradication (SSF Guidelines/pedoman perikanan skala kecil).

Pedoman tersebut bertujuan untuk menjamin keberlanjutan, ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan perikanan skala kecil. Dengan lahirnya pedoman tersebut, secara jelas terlihat bahwa perikanan skala kecil memegang peran penting dalam rantai produksi perikanan dunia.

Di level nasional, pada 2016 Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 dengan semangat yang sejalan dengan pedoman perikanan skala kecil untuk melindungi dan memberdayakan perikanan skala kecil.

Nelayan mengumpulkan ikan tanjan hasil tangkapan di Desa Lombang, Juntinyuat, Indramayu, Jawa Barat, Senin (13/3/2023). Foto: Antara Foto/Dedhez Anggara/foc

Ironinya, setelah 9 tahun sejak disahkan, pedoman perikanan skala kecil belum berdampak signifikan terhadap perlindungan akan keberlanjutan dan kesejahteraan perikanan skala kecil sesuai dengan harapan pengesahan pedoman tersebut. Hal yang sama juga terlihat stagnasi progres perlindungan dan pemberdayaan perikanan skala kecil di Indonesia.

Kiara dan PPNI sama-sama berpandangan, perikanan skala kecil seharusnya memiliki peran yang sangat penting dalam rantai produksi perikanan tangkap di Indonesia, terutama dalam menyumbang kebutuhan protein bangsa dari sektor pangan laut.

"Menjelang 9 tahun pengesahan pedoman perikanan skala kecil, Kiara dan PPNI melihat terjadinya stagnasi perlindungan akan keberlanjutan dan kesejahteraan nelayan skala kecil, bahkan mengalami penurunan kuantitas nelayan," kata Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Kiara, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (14/4/2023).

Sejak 2009 hingga 2019, lanjut Susan, total penurunan sebanyak 151.108 jiwa nelayan. Hal tersebut, menurutnya, menunjukkan di negara kepulauan, pemerintah masih gagap dan tidak serius dalam melindungi keberlanjutan dan kesejahteraan nelayan.

Kiara dan PPNI mencatat, hingga 2023, terdapat 3 klasifikasi utama permasalahan serius yang dihadapi oleh perikanan skala kecil, yaitu pertama, permasalahan sosial ekonomi politik. Lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja yang kemudian hari ini menjadi Perppu Cipta Kerja atau Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 menandai bahwa permasalahan perikanan skala kecil saat ini masih sama bahkan cenderung lebih berat, hal tersebut karena pemerintah menghapus definisi skala ukuran kapal (tonase kapal) dalam kategori nelayan kecil.

Susan bilang, Kiara melihat bahwa secara sistematis dan legal formil, pemerintah mendegradasi definisi nelayan kecil yang akan berdampak terhadap semakin rentannya posisi nelayan kecil/tradisional dalam rantai produksi perikanan.

Hal inilah yang menjadi salah satu alasan KIARA menolak undangan dari KKP dalam membahas isu SSF Guidelines, karena posisi KKP hari ini yang bertolak belakang dengan pedoman perikanan skala kecil dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya dan Petambak Garam itu sendiri.

"Bahkan hingga saat ini belum ada pengakuan negara atas peran perempuan nelayan sebagai aktor penting dalam rantai produksi perikanan,” ujar Susan.

Kedua, permasalahan yang bersumber dari alam. Hal ini dapat dilihat dari meningkatkan bencana alam yang meningkatkan tingginya kerentanan perikanan skala kecil, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Krisis iklim yang tengah terjadi saat ini dapat dilihat dari intensitas banjir rob yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau kecil.

"Permasalahannya adalah pemerintah saat ini melakukan praktik solusi palsu untuk menjawab isu krisis iklim seperti blue economy, konservasi/MPA yang mengusir masyarakat lokal dari ruangnya, pembangunan hard infrastructure seperti giant sea wall untuk mengatasi banjir rob, setelah dicermati lebih jauh ternyata hal tersebut adalah kedok untuk melancarkan investasi," terang Masnuah, Sekjen PPNI.

Ketiga, permasalahan kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia (secara langsung maupun tidak langsung). Permasalahan ini disebabkan oleh buruknya tata kelola sumber daya kelautan dan perikanan yang justru meminggirkan nelayan kecil/tradisional sebagai pemegang hak utama dari ruang hidupnya. Kiara dan PPNI memotret praktik kerusakan alam dan perampasan ruang terjadi dari Indonesia barat hingga timur dalam 10 tahun terakhir.

Kerusakan alam dan perampasan ruang dimaksud seperti alih fungsi hutan mangrove menjadi pertambakan di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, penimbunan pantai di Aceh, di Kepulauan Seribu, di Teluk Jakarta dan Pesisir Minanga. Kemudian pertambangan di perairan pertambangan di perairan Pulau Rupat, Bangka, Pulau Wawonii, Pulau Sangihe, Pulau Obi, pariwisata di Pulau Sangiang dan Pulau Pari oleh korporasi wisata. Hingga perusakan ruang kelola tradisional nelayan oleh nelayan cantrang di Sumatera Utara dan Kepulauan Masalembu.

Kiara dan PPNI melihat, implementasi Panduan Perikanan Skala Kecil masih belum ada perkembangan yang berarti, hal itu juga telah disampaikan dalam agenda “Launch of the Regional Assessment Report on the SSF Guidelines’ Assessment in Asia and the Pacific” yang telah diselenggarakan pada 6 April 2023 di Sri Lanka.

Rekomendasi yang dirumuskan dalam pertemuan tersebut sejalan dengan desakan Kiara dan PPNI kepada pemerintah Indonesia yaitu pertama, negara harus memberikan pengakuan customary right nelayan tradisional dan perempuan nelayan. Kedua, memberikan pengakuan identitas perempuan nelayan dalam rantai produksi perikanan.

Ketiga, negara merupakan aktor utama yang dapat memberikan perlindungan dan pemberdayaan serta menjamin ruang produksi nelayan tradisional dan perempuan nelayan tradisional dipenuhi melalui akses kepada BBM bersubsidi serta asuransi perlindungan nelayan, dan keempat, negara harus memastikan hak konstitusi nelayan tradisional dan perempuan nelayan.