Kebijakan Transisi Energi Dipandang Ambigu dan Inkonsisten

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Senin, 24 April 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Baru-baru ini, dalam pidato Opening Ceremony Hannover Messe yang berlangsung Senin, 17 April 2023, Jokowi seolah memberi angin segar dengan mengatakan menutup semua PLTU 2025. Tak lama kemudian pihak Istana meralat pernyataan itu dan menyebut seluruh pembangkit batu bara baru akan ditutup pada 2050 dan menyebut bahwa pada 2025, 23 persen energi berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT).

Bagi pemerintah Indonesia, 2023 adalah tahun krusial bagi karena harus merilis Rencana Investasi untuk implementasi JETP (Just Energy Transition Partnership). JETP memberi Indonesia mandat untuk mengurangi emisi karbon dari sektor energi hingga kurang dari 290 juta ton per 2030, lebih ketat dari target sebelumnya 357 juta ton.

Selain itu, target bauran EBT (Energi Baru Terbarukan) per 2030 ditingkatkan menjadi 34 persen dari sebelumnya 23,4 persen. Target ambisius ini membutuhkan upaya besar, namun kajian yang diluncurkan Trend Asia dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) bertajuk “Ambiguitas vs Ambisi: Tinjauan Kebijakan Transisi Energi Indonesia” menilai bahwa kebijakan pemerintah selama ini masih jauh belum memadai dan memiliki sejumlah catatan.

Saat ini, mayoritas jaringan listrik Indonesia berada dalam kondisi kelebihan pasokan (oversupply). Jaringan Jawa-Bali oversupply sejumlah 30 persen, bahkan jaringan Sulawesi mengalami kelebihan kapasitas terpasang hingga 69 persen.

Penampakan PLTU Suralaya di Cilegon, Banten dari udara. Sektor energi, seperti industri kelistrikan yang menggunakan batu bara serta pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan (FOLU) merupakan sektor penyumbang emisi terbesar Indonesia. Dok Kasan Kurdi/Greenpeace

Kondisi tersebut membebani keuangan PLN yang tetap harus membeli kelebihan listrik. Kondisi ini buruk bagi iklim dan emisi karbon mengingat setengah dari bauran listrik ini berasal dari batu bara.

“Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah Indonesia seharusnya lebih progresif dalam membentuk kebijakan energi demi memenuhi target 1,5 C, salah satunya dengan melakukan mempercepat pemensiunan dini PLTU batu bara,” kata Andri Prasetiyo dari Trend Asia.

Alih-alih menuntaskan, pemerintah malah merencanakan peningkatan porsi batu bara dan energi fosil lain dalam bauran listrik Indonesia pada RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik). Pemerintah merencanakan 40,6 GW listrik fosil untuk komersialisasi antara tahun 2021 dan 2030, dari jumlah tersebut,34 persen di antaranya yaitu 13,8 GW berasal dari batu bara dan 14 persen 5,8 GW dari gas dan diesel.

Rencana transisi energi Indonesia juga masih dipenuhi dengan ambiguitas. Dalam RUPTL yang diterbitkan pada tahun 2021 dan disebut sebagai “RUPTL hijau”, dari usulan 40,6 GW yang teridentifikasi untuk memenuhi permintaan listrik di masa mendatang, 50 persen di antaranya masih menggunakan bahan bakar fosil.

Meski Presiden Jokowi bilang akan melarang dan membatalkan PLTU baru, kecuali telah mendapatkan persetujuan keuangan atau sedang dalam tahap konstruksi, beberapa pembangkit listrik dengan status PPA (Power Purchase Agreement) dan tanggal operasi komersial (COD) pada tahun 2024 atau lebih tidak dibatalkan dalam RUPTL 2021-2030.

Yang dilakukan PLN justru mempercepat proyek Fast Track Program (FTP) 1, FTP 2, dan megaproyek 35 GW. Dari megaproyek 35 GW itu, 70 persen di antaranya merupakan usulan pembangkit batu bara, termasuk PLTU yang belum mendapat persetujuan finansial.

Jobit Parapat dari CREA mengatakan, berdasarkan temuan, komitmen dari Pemerintah Indonesia masih lemah, meskipun menggunakan teknologi ‘baru’ tapi berpotensi menjadi solusi palsu dan tak menyelesaikan masalah transisi energi di Indonesia.

"Solusi palsu ini mencakup co-firing biomassa yang berpotensi mendorong deforestasi dan sedang ditentang statusnya sebagai energi netral karbon di panggung internasional, co-firing ammonia dan CCUS (Carbon Capture, Utilization, and Storage) yang belum terbukti dan berpotensi mahal, atau Clean Coal yang tetap kotor dan merusak lingkungan,” kata Jobit.

Solusi-solusi tersebut berpotensi mengalihkan fokus dan pendanaan dari energi bersih seperti surya dan angin. Proyek co-firing ammonia, biomassa, CCUS, dan Clean Coal juga berpotensi dijadikan alasan untuk menunda penghapusan listrik batu bara.

“Peralihan dari batu bara ke gas berpotensi menaikkan harga listrik negara menjadi lebih rentan terhadap fluktuasi harga bahan bakar. Tidak seperti batu bara, peningkatan pembangkitan gas fosil akan memerlukan impor atau membangun infrastruktur hulu dan tengah, sehingga akan menjadi pilihan yang mahal karena produksi baru akan membutuhkan biaya wellhead yang lebih tinggi,” terang Andri.

Strategi lain yang digunakan PLN dalam RUPTL 2021-2030 adalah co-firing biomassa, tapi strategi ini tak akan memenuhi angka penurunan emisi gas rumah kaca karena porsi biomassa untuk bahan bakar hanya 1-5 persen dan 95 persen sisanya masih menggunakan batu bara. Selain itu, permintaan biomassa ini menyebabkan penebangan pohon berlebihan yang justru memicu emisi tambahan dari deforestasi atau pembukaan lahan baru.

Sama halnya dengan co-firing. Strategi Clean Coal Technology (CCT) yang didorong oleh pemerintah Indonesia tidak menjamin berkurangnya emisi. PLTU dengan CCT masih memancarkan CO2 dan polutan beracun seperti sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan particular matter (PM).

Asosiasi batu bara Dunia (World Coal Association) memperkirakan perlu USD31 miliar untuk meningkatkan PLTU 400 GW dengan teknologi terbaik, tapi ini hanyalah sebagian kecil dari dampak kesehatan dan ekonomi yang dihasilkan oleh polusi pembangkit sepanjang masa investasi energi bersih sebesar USD2,4 triliun.

“Pemerintah berani memasang target yang ambisius, tetapi ragu-ragu dalam implementasi dan lemah dalam berkomitmen. Pertama, pemerintah perlu menyesuaikan rencana kebijakan. Semua PLTU baru harus dibatalkan, termasuk yang statusnya masih mengambang dalam moratorium. PLTU tua juga harus segera dipensiunkan, dan rencana pensiunnya harus transparan bagi publik,” ujar Andri.

“Di saat yang sama, solusi palsu dan energi fosil yang lain juga harus dihindari dalam rencana pemerintah. Daripada itu, pemerintah harus lebih berfokus penerapan teknologi energi surya dan angin. Selama pemerintah belum berani tegas, ambisi transisi ini akan jauh panggang daripada api,” jelas Jobit.