FWI: RUU KSDAHE Melupakan Kepulauan Kecil

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Selasa, 25 April 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Pembahasan RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (KSDAHE) tengah bergulir di DPR. Namun sepanjang pembahasan pembaruan UU No.5 Tahun 1990 ini, DPR dianggap bias karena belum mengatur secara spesifik tentang konservasi ekosistem hayati yang ada di pesisir dan pulau-pulau kecil. 

Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan pulau-pulau kecil merupakan wilayah yang memiliki kekayaan alam hayati yang khas dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Data FWI menyebutkan, Indonesia memiliki sejumlah 19.108 pulau-pulau kecil dengan total luasan wilayah sekitar 7,1 juta hektare. Hingga tahun 2022, seluas 3,48 juta hektare atau hampir setengah daratan pulau-pulau kecil masih ditutupi hutan alam.

Namun pendekatan pengelolaan pulau-pulau kecil sampai hari ini masih menerapkan kawasan hutan dan bukan kawasan hutan. Sekitar 62 persen wilayah pulau-pulau kecil masuk ke dalam kawasan hutan, sekitar 38 persen ditunjuk sebagai kawasan hutan produksi, 36 persen sebagai Area penggunaan lain (APL), 15 persen sebagai hutan lindung, dan hanya 11 persen sebagai kawasan konservasi. 

Status fungsi kawasan hutan tersebut kerap kali menjadi pintu masuk bagi eksploitasi sumber daya alam di pulau-pulau kecil.

Pulau Bawean di Jawa Timur. Perubahan iklim dianggap akan memberi ancaman nyata bagi pulau-pulau kecil, termasuk yang berada di Jawa Timur./Foto: Google Earth

Pulau-pulau kecil tidak terlepas dari ancaman eksploitasi sumber daya alam yang berbasis industri ekstraktif. Total luasan wilayah pulau-pulau kecil, sekitar 17 persen atau 1,2 juta ha telah dibebani izin konsesi industri ekstraktif, yakni sekitar 551,6 ribu ha konsesi pertambangan, 309,8 ribu ha konsesi PBPH-HA (Hak Pengusahaan Hutan), 94.9 ribu hektare berupa konsesi PBPH-HT (Hutan Tanaman), 192,1 ha izin konsesi perkebunan dan sisanya sekitar 37,8 ribu ha tumpang tindih antar perizinan. 

Selama ini eksploitasi sumber daya alam menjadi penyebab hilangnya hutan dan kerusakan lingkungan. FWI mencatat selama periode 2017-2021 ada sekitar 318,5 ribu ha hutan alam di pulau-pulau kecil yang rusak dan sekitar 18 persen terjadi di dalam konsesi perusahaan.

Penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati di pulau-pulau kecil seharusnya menggunakan pendekatan secara khusus. FWI memberikan beberapa catatan yang perlu ditindaklanjuti dalam pembahasan RUU KSDAHE kedepan, yaitu;

Pertama, RUU KSDAHE seharusnya mengoreksi dan mengatur ulang penunjukan serta penetapan kawasan kawasan hutan yang menjadi biang kerusakan hutan dan konflik di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Draft RUU yang ada saat ini, mengatur tentang penetapan wilayah Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan (PSPK). Namun pulau-pulau kecil tidak dilihat sebagai ekosistem yang khas dan membutuhkan pendekatan khusus

Penunjukan status fungsi kawasan hutan yang ada selama ini menempatkan pulau-pulau kecil dalam keterancaman bencana ekologis. Sebagai contoh di Kabupaten Kepulauan Aru Provinsi Maluku, foto citra seolah menunjukkan satu pulau besar namun wilayah ini terdiri atas sekitar 800 pulau-pulau kecil, hanya satu pulau yang masuk kategori pulau besar. 

Sekitar 96 persen pulau-pulau tersebut merupakan kawasan hutan dan 87 persen fungsi kawasannya berupa hutan produksi (HP dan HPK). Hal ini menjadi pintu masuk bagi ragam industri eksploitatif yang silih berganti dan terus berdatangan ke Kepulauan Aru, seperti perusahaan HPH yang menguasai 54 ribu ha, perkebunan tebu seluas 450 ribu ha dan peternakan sapi seluas 50.05 ribu ha. 

Contoh lain, Pulau Wawonii di Provinsi Sulawesi Tenggara, luas pulau 70.7 ribu ha dan 57.3 ribu ha a kawasan hutan yang 73 persen berupa hutan produksi. Setidaknya sejumlah perusahaan tambang menguasai daratan di Pulau Wawonii 47.3 ribu hektare dan 84 jumlah desa masuk kedalam konsesinya. 

Sedangkan Pulau Rupat di Provinsi Riau, memiliki luas daratan 150.2 ribu ha dan 90.4 ribu ha kawasan hutan, serta 99 persen berupa hutan produksi. Setidaknya perusahaan kehutanan menguasai 39 ribu ha dan mengokupasi 7 desa disana. 

Draft RUU KSDAHE yang ada saat ini tidak mengubah pendekatan apa-apa dan justru melegalkan praktik industri ekstraktif di pulau-pulau kecil. Fungsi perlindungan seharusnya melekat pada statusnya sebagai pulau-pulau kecil bukan statusnya kawasan hutan atau bukan. ” Ucap Aziz Juru Kampanye Forest Watch Indonesia.

Kedua, RUU KSDAHE dinilai tidak mampu mengurai permasalahan tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Penetapan dan pengukuhan wilayah Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan (PSPK) yang berasal  dari ekosistem penting di luar kawasan konservasi bersifat sentralistik. Pemerintah Daerah tidak bisa menentukan nasib ekosistem di pesisir dan pulau-pulau kecil meski status fungsi hutan lindung atau hutan produksi. 

Hal ini tidak sejalan dengan UU No 23 tahun 2014 tentang Pemda yang memberikan kewenangan dalam urusan pengelolaan kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung kepada Pemerintah Daerah Provinsi. Potensi konflik kepentingan dalam penetapan atau persetujuan wilayah yang penting untuk dikonservasi dan/atau untuk dieksploitasi malah justru kedepannya.

Selain itu luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 2.64 juta ha (KLHK, 2020), dan sekitar 2.44 juta ha berstatus kawasan hutan yang tersebar di 263 kabupaten/kota di 34 Provinsi di Indonesia. Kerusakan hutan mangrove selama periode 2017 sampai 2020 sudah mencapai 170.5 ribu ha, dan 55 persen terjadi di kawasan hutan. Hal ini berimbas terhadap sejumlah 34 Kepala Daerah yang akan kehilangan kewenangannya dan tidak bisa menyelamatkan ekosistem mangrove yang tersisa. 

Di sisi lain, Pusat memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin-izin pertambangan, HPH, HTI, Proyek Strategis Nasional, Proyek Energi, sampai Food Estate yang berasal dari kawasan hutan. Ditambah Pusat juga yang menentukan dan menetapkan kawasan konservasi dan ekosistem-ekosistem penting di luar kawasan konservasi sebagai Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan. RUU ini tidak bersifat korektif terhadap pelaksanaan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil sebelumnya, tidak menyelesaikan konflik kepentingan, dan tidak akan mampu mengkonservasi apa yang seharusnya dikonservasi”. ucap Manajer Kampanye Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga.