Ancaman Badak Jawa dari Kawin Sedarah sampai Perburuan

Penulis : Gilang Helindro

Badak

Selasa, 30 Mei 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Riszki, Peneliti Spesies Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, turunnya populasi badak jawa, juga ditambah dengan tren kematian dari 2012 sampai 2021. "Setidaknya ada 11 individu badak jawa yang ditemukan mati, dan banyak kematian betina dan anakan," kata Riszki.

"Itu juga semestinya menjadi sinyal bahaya bagi populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, karena tentunya betina dan anakan itu adalah yang menjadi andalan untuk memperbanyak individu-individu baru yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon."

Sebagian dari kematian badak jawa sepanjang 2012—2021 tidak dilaporkan secara publik, Riszki menjelaskan. Dia mendapati, empat kematian badak di tahun 2015, 2020, dan 2021, ternyata informasinya tidak ada sama sekali, baik secara publik, maupun oleh publikasi KLHK.

Ancaman Kawin Sedarah

Badak jawa bernama Samson ditemukan mati di pantai Ujung Kulon./Foto: Balai TNUK

Dalam hasil penelitian Jurnal Cell yang dipublikasikan pada 24 Agustus 2021. Para ilmuwan telah menganalisis DNA kuno dari badak yang telah punah dan membandingkannya dengan DNA badak modern yang hidup di zaman sekarang. 

Temuan tersebut mengungkapkan evolusi keluarga badak dengan tingkat keragaman genetik yang rendah dan tingkat kawin sedarah yang tinggi. Pada penelitian tersebut, ilmuwan mengurutkan genom dari dua spesies badak yang masih hidup dan tiga spesies badak yang telah punah. Kemudian mereka membandingkannya dengan data yang ada dari tiga spesies badak yang masih hidup dan berbagai kelompok luar.

“Memahami hubungan di antara spesies badak dan kapan mereka menyimpang telah menjadi pertanyaan yang diajukan oleh ahli biologi evolusioner sejak awal bidang ini,” kata Dr. Love Dalen, seorang peneliti di Centre for Palaeogenetics and the Swedish Museum of Natural History, and colleagues, seperti dilansir sciencedaily.

Pada penelitian ini, para peneli menganalisis genom lima spesies badak hidup, yaitu badak India (Rhinoceros unicornis), badak putih (Ceratotherium simum simum), badak hitam (Diceros bicornis), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), dan badak Jawa (Rhinoceros sondaicus).

Mereka juga menganalisis genom dari tiga spesies yang punah, yaitu unicorn Siberia (Elasmotherium sibiricum), badak Merck (Stephanorhinus kirchbergensis), dan badak berbulu (Coelodonta antiquitatis).

Pada 2018 lalu, Kepala Balai Taman Nasional (TN) Ujung Kulon Mamat Rahmat saat itu mengatakan bahwa Badak Jawa di tempat yang dikelolanya sudah menunjukkan ciri-ciri perkawinan sedarah, hewan yang memiliki nama latin Rhinoceros Sandaicus.

Menurut Rahmat, hal tersebut karena populasi badak hidup hanya di satu habitat dengan luas 45 ribu hektare sehingga antar saudara saling berkumpul. Padahal dengan perkawinan sedarah, gen spesies akan menurun kualitasnya.

"Kalau ada genetik degration akan turun kualitas kesehatannya. Postur tubuhnya akan mengecil, peluang hidupnya akan berkurang. Ini ciri-ciri satwa yang sudah mengalami in breeding. Akan riskan terjadi in breeding dan riskan terhadap kepunahan," katanya dalam keterangan resminya di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta pada Kamis 26 April 2018 lalu.

Infografik dalam hasil penelitian Jurnal Cell yang dipublikasikan pada 24 Agustus 2021. 

Ancaman langkap

Badak jawa yang saat ini terkonsentrasi di Ujung Kulon, nyatanya juga menghadapi masalah ketersedian pakan. Berdasarkan penelitian Yayasan Mitra Rhino – WWF (2002) mengenai persaingan ekologi badak dan banteng, hasil analisis tumbuhan pakan di Semenanjung Ujung Kulon menunjukkan ada 109 jenis. Sekitar 97 jenis tumbuhan merupakan pakan badak jawa, 74 jenis tumbuhan pakan banteng, dan 62 jenis merupakan pakan bersama.

Jenis tumbuhan yang disenangi badak jawa sebagaimana dituliskan Hoogerwerf (1970) adalah salam (Eugenia polyantha), rukem (Glachidon macrocarpus), dan segel (Dillenia excelsa). Sedangkan langkap (Arenga obtusifolia) yang daun mudanya dimakan, diduga juga sebagai tumbuhan yang dapat mengancam ketersediaan tumbuhan sumber pakan. Ini disebabkan, tajuknya yang rapat membuat sinar matahari sulit menembus lantai hutan.

Haryanto, dalam penelitian yang dilakukannya (1997) mengungkapkan, invasi langkap merupakan penyebab utama terjadinya degradasi habitat badak jawa secara alami. Dalam jangka panjang diduga akan menyebabkan menurunnya populasi satwa ini dan berkurangnya keanekaragaman hayati di Taman Nasional Ujung Kulon.

“Kecenderungan invasi langkap yang sangat tinggi ini diduga merupakan bagian dari proses suksesi vegetasi setelah letusan Gunung Krakatau pada 1883. Peranannya dalam ekosistem hutan yang belum diketahui membuat tindakan manajemen belum bisa dilakukan.”

Ancaman Pemburu

Badak jawa merupakan spesies paling terancam. Menteri Siti terakhir menyampaikan pertumbuhan angka badak jawa (Rhinoceros sondaicus) September lalu, sebanyak 77 individu. Data ini diperoleh dari kamera-deteksi, yang dikelola oleh Balai Taman Nasional Ujung Kulon sejak 2011. Namun laporan investigatif terbaru Yayasan Auriga Nusantara, organisasi lingkungan dan sumber daya alam, mengungkap indikasi terjadinya penurunan populasi serta kabar kematian yang tidak terpublikasi.  

Laporan yang dirilis Selasa, 11 April 2023 itu mengungkap, sebanyak 17 individu badak tidak terekam kamera-deteksi sejak 2020, dan pada 2021 jumlah yang tidak terdeteksi menjadi 18 individu, terdiri atas sembilan betina dan sembilan jantan. Namun Auriga menemukan bahwa individu yang “hilang” ini tetap dihitung dalam data populasi terkini oleh KLHK. “Menjadi pertanyaan penting bagaimana angka-angka yang diumumkan tersebut dihasilkan,” tulis laporan tersebut.

Dalam laporan tersebut, menulis ancaman pertama dengan adanya Indikasi perburuan satwa di Taman Nasional Ujung Kulon meningkat. Kematian badak jantan Samson pada 2018 mengindikasikan keberadaan perburuan satwa di Ujung Kulon, karena adanya lubang di tengkorak kepalanya. Meski diyakini bukan penyebab kematiannya, lubang tersebut diduga diakibatkan oleh tembusan peluru. Padahal, setidaknya hingga tiga dekade sebelumnya, tidak satu pun kematian badak jawa yang terhubung ke perburuan.

Indikasi adanya perburuan badak ini juga terlihat dari temuan jerat yang tingginya sekitar leher badak jawa, atau setidaknya terhadap mamalia besar lainnya. Bahkan, ada klip gambar yang menunjukkan adanya lubang di bagian tubuh atas belakang badak jawa. Banyak pihak yang kami wawancara menduga lubang ini sebagai bekas peluru. Tapi, petugas Taman Nasional Ujung Kulon yang kami temui berkilah bahwa lubang itu bisa saja disebabkan tertusuk bambu atau sejenisnya.

Analisis terhadap gambar-gambar yang kami terima menunjukkan keberadaan orang- orang bersenjata api di dalam Taman Nasional Ujung Kulon pada rentang 2021-2022. Secara geografis, mereka memasuki hampir seluruh kantong habitat badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon.

Meningkatnya perburuan ini ditengarai karena kendurnya pengamanan Taman Nasional Ujung Kulon, terutama karena makin banyaknya pos lapangan yang tidak berisi petugas atau bahkan tidak lagi beroperasi sama sekali. Titik masuk belantara Ujung Kulon yang relatif leluasa dimasuki disebut dari arah selatan melalui laut.

Berkurang atau bahkan punahnya badak sumatera di belantara Lampung, patut menjadi perhatian serius karena para pemburu badak profesional sangat mungkin mengarahkan sasarannya ke Ujung Kulon yang letaknya tidak jauh dari Lampung. Dugaan adanya pemburu profesional ini terlihat dari makin banyaknya kamera deteksi yang hilang di lapangan, seperti 20 buah pada tahun 2022, kehilangan terbanyak dalam sejarah penggunaan kamera-deteksi di Taman Nasional Ujung Kulon.

Badak jawa yang awalnya hidup tidak jauh dari lingkungan manusia, perlahan menghindar dan menjadi “penyendiri” akibat dikejar untuk dibunuh. Jumlahnya yang terus berkurang membuatnya dijadikan sebagai satwa dilindungi melalui peraturan Staatsblaad No. 497 Tahun 1909. Akan tetapi, perburuan tetap saja terjadi yang tercatat 11 individu mati akibat perburuan ilegal, empat tahun setelah aturan tersebut dicanangkan.

Tahun 1931, penegasan perlindungan badak kembali dikeluarkan melalui Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierensbeschermingsordonantie 1931 Staadsblad 1931 Nummer 134). Namun begitu, perburuan masih saja terjadi sepanjang 1935 – 1936, yang menewaskan 15 individu. Hingga kini, perburuan badak masih marak, dipacu tingginya harga cula (sekitar $30.000 di pasar gelap), tanpa diimbangi sanksi hukum yang berat untuk pelaku.

Nasib badak jawa di luar Indonesia juga tak kalah tragis. Di Myanmar, badak jawa terakhir yang ada ditembak mati pada 1920 untuk koleksi British Museum. Di semenanjung Malaysia, juga ditembak di Perak pada 1932 untuk koleksi museum. Di Vietnam, secara resmi diumumkan badak jawa telah punah, setelah individu terakhir ini ditemukan mati dengan luka tembak dan cula menghilang di Taman Nasional Cat Tien. Berdasasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature), saat ini badak jawa berstatus Kritis (Critically Endangered/CR) atau satu langkah menuju kepunahan.

Indikasi adanya perburuan badak ini juga terlihat dari temuan jerat yang tingginya sekitar leher badak. dok:Auriga Nusantara