Intimidasi dan Kriminalisasi Warga NTT Jelang ASEAN Summit 2023

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Jumat, 12 Mei 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Upaya kriminalisasi terhadap warga dan dugaan intimidasi terhadap jurnalis terjadi jelang ASEAN Summit atau KTT ASEAN di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) 9-11 Mei 2023. Kelompok masyarakat sipil melihat ada upaya pemerintah dan aparat keamanan berusaha memoles citra baik di hadapan para delegasi ASEAN Summit, namun dengan cara menekan suara-suara warga.

Pada 6 dan 7 Mei 2023, empat warga di Labuan Bajo, tiba-tiba mendapat surat dari Polres Manggarai Barat untuk diperiksa dengan tuduhan tindak pidana penghasutan. Surat polisi dimaksud muncul setelah pada 5 Mei 2023 sebelumnya warga memberikan surat pemberitahuan aksi unjuk rasa pada 9 Mei 2023, demi menuntut ganti rugi atas tanah dan rumah mereka yang digusur dalam proyek jalan dari Labuan Bajo menuju Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Golo Mori--salah satu titik pertemuan ASEAN Summit.

"Sejumlah warga dan aktivis yang menuntut ganti rugi itu mengalami tekanan. Secara khusus ada dua warga yang berasal dari Kampung Cumbi namanya Viktor dan Dominikus. Juga dua orang aktivis namanya Doni dan Ladis," kata Anno Susabun, dari Sunspirit-Labuan Bajo, dalam konferensi pers, Selasa (9/5/2023).

Tak hanya warga, jurnalis dan media massa Floresa.co juga mendapat serangan digital usai merilis laporan yang mengangkat isu pengabaian hak warga beberapa kampung yang dilalui jalan Labuan Bajo-Golo Mori untuk mendapat ganti rugi atas tanah dan rumah warga yang digusur. Laporan hasil kolaborasi dengan Project Multatuli yang terbit pada 5 Mei 2023 itu juga menyinggung soal upaya tekanan aparat keamanan terhadap aktivis yang menyuarakan permasalahan lahan ini.

Viktor Frumentius dan Dominikus Safio Bion, warga Kampung Cumbi, Desa Warloka yang dituding Polres Manggarai Barat melakukan penghasutan karena berencana menggelar demonstrasi menuntut ganti rugi lahan saat ASEAN Summit. Foto: Dokumen Floresa

Pemimpin Redaksi Floresa.co, Rosis Adir menerangkan, pada 6 Mei 2023, salah satu jurnalis Floresa.co yang terlibat dalam pengerjaan laporan itu mendapati akun Telegram dan WhatsApp miliknya diretas. Rosis juga menyebut jurnalisnya juga sempat mendapat telpon dari seorang intel TNI yang sebelumnya pernah menelpon dan menyoalkan berita tentang proyek jalan Labuan Bajo-Golo Mori, namun tidak sempat diangkat.

Rosis melanjutkan, serangan siber juga dialami website Floresa.co. Itu terjadi pada 7 Mei 2023. Saat dilakukan pengecekan, dinyatakan bahwa ‘site hacked’ dan pihak pengelola diminta untuk segera melakukan langkah penanganan.

Kejadian serangan (siber) ini adalah kejadian yang ketiga kalinya dialami oleh Floresa. Yang pertama terjadi tahun lalu setelah media massa siber tersebut mempublikasikan laporan kolaborasi dengan Project Multatuli tentang komodo yang terdampak bisnis pariwisata. Gangguan kedua datang setelah Floresa.co membuat tulisan tentang pembangunan jalan Labuan Bajo-Golo Mori yang mengakibatkan warga di sejumlah kampung tergusur.

"Kami berharap para pihak harus menghargai kerja-kerja jurnalistik dan jika berkeberatan dengan produk-produk yang kami publikasikan, silakan menempuh cara-cara yang wajar dan demokratis," kata Rosis.

Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional Muhammad Jamil berpendapat, aparat penegak hukum dalam kasus ini tampak sedang kehilangan akal sehatnya. Alasannya, bagaimana mungkin suatu tindak pidana yang belum terjadi namun telah dilaporkan sebagai tindak pidana atau perbuatan melawan hukum. Jamil menganggap tindakan pihak kepolisian ini hanyalah sebuah imajinasi penegak hukum.

"Karena memang dari sisi manapun, dari legal formil, tidak boleh proses hukum dilakukan saat tidak adanya perbuatan. Ini juga menghilangkan hak warga untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Sementarai itu dijamin konstitusi undang-undang serta berbagai aturan turunannya," kata Jamil.

Jamil mengatakan, hak menyampaikan pendapat di muka umum adalah bagian dari hak asasi manusia. Dalam hal ini Negara seharusnya hadir dalam proses menghormati, melindungi dan memajukan hak asasi manusia. Bukan justru menghalang-halangi ketika warga ingin menyampaikan pendapat di muka umum.

NW Satrio Kusma Manggara dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengatakan, ada kesan Negara ingin menjauhkan diri dari suara-suara rakyat tiap kali ada menggelar pertemuan-pertemuan internasional. Kejadian serupa juga terjadi pada pertemuan KTT G20 di Bali tahun lalu.

"Jangan-jangan persoalannya bukan di level teknis soal hukumnya semata. Karena levelnya sudah di paradigma. Kita bisa melihat bagaimana teman-teman dimintai klarifikasi atas dugaan tindak pidana penghasutan. Itu berarti pasal 160 di KUHP. Yang mana itu sebetulnya tindak pidana materiil," kata Satrio.

Yang artinya, lanjut Satrio, tindak pidana materiil itu harus ada akibatnya dahulu baru bisa diproses. Akibat dimaksud dari penghasutan adalah timbulnya kekacauan. Hal ini sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi sejak 2009. Satrio menyayangkan bila penegak hukum tidak memahami kontekstual pasal dimaksud.

"Atau jangan-jangan memang dia paham tapi paradigmanya adalah secara umum pemerintahan dan alat represinya memahami bahwa segala bentuk penyampaian pendapat dianggap bertentangan atau menodai proses kebangsaan ini untuk tampil di dunia internasional. Saya kira itu paradigma yang cenderung jongkok atau jauh dari imajinasi bangsa kita," ujarnya.

Edy Kurniawan Wahid dari YLBHI mengatakan, intimidasi dan upaya kriminalisasi yang dialami warga Labuan Bajo ini menimbulkan keraguan tentang urgensi kegiatan ASEAN Summit. Menurut Edy, ASEAN Summit ini seolah terpisah dari kepentingan rakyat, dan terkesan digelar hanya untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.

Edy juga mengimbau agar para penegak hukum berhati-hati mengeluarkan pernyataan berisi pelarangan kebebasan berpendapat. Karena menurutnya kebebasan menyampaikan pendapat adalah hak konstitusional, dan itu dapat memicu pelanggaran hukum dan hak asasi manusia.

"Kapolda NTT tidak paham hukum dan tidak mengerti hak asasi manusia. Kapolda harus belajar ulang, harus kuliah ulang tentang hukum dan hak asasi manusia. Mengapa, karena hak menyampaikan pendapat itukan adalah manifestasi dari kemerdekaan pikiran dari warga indonesia dan itu dijamin oleh konstitusi," kata Edy.

Sasmito Madrim, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, mengecam cara-cara pembungkaman yang dilakukan aparat kepada jurnalis di NTT, apalagi kejadian ini mengulang kejadian serupa pada KTT G20 di Bali. Sasmito menegaskan, aparat TNI maupun kepolisian tidak ada kewenangan mengurusi pemberitaan.

Ia menerangkan, kewenangan permasalahan mengenai penerbitan berita berada di dewan pers. Apabila pemerintah atau lembaga negara merasa keberatan dengan surat pemberitaan, ia menyarankan agar melapor ke dewan pers.

Ada mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Pers, yakni meminta hak jawab atau koreksi. Bukan kemudian melakukan intimidasi dan teror kepada jurnalis dan narasumber.

"Jurnalis dan narasumber itu dilindungi Undang-Undang Pers. Jadi tidak bisa kemudian seorang narasumber yang memberikan keterangan, diancam dengan pasal-pasal atau dikriminalisasi. Ini cara-cara yang tidak demokratis," Sasmito Madrim.

Dalam pernyataan resminya, kelompok masyarakat sipil menyatakan, upaya menjerat keempat warga itu dengan tudingan penghasutan berkaitan dengan ucapan yang disampaikan oleh Kapolda NTT, agar warga tidak jadi menggelar aksi unjuk rasa. Dua di antara warga itu dijadwalkan diperiksa pada 9 Mei, hari di mana warga berencana menggelar aksi unjuk rasa.

"Kami mengutuk pernyataan itu sebagai upaya memberangus hak kebebasan berkumpul dan berpendapat yang seharusnya dihormati dan dilindungi sesuai UUD 1945, DUHAM, UU HAM, UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik," tulis kelompok masyarakat sipil.

Sesuai Pasal 13 ayat (2) dan (3) UU 9/1998, Kepolisian hanya memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengamanan terhadap peserta yang penyampaian pendapat di muka umum, bukan justru menghalang-halangi. Pernyataan Kapolda NTT juga dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip ASEAN yakni menghormati kebebasan yang mendasar, pemajuan dan perlindungan hak masyarakat sipil.

Kemudian, tuduhan penghasutan terhadap keempat warga sangat mengada-ada, dipaksakan dan merupakan bentuk kriminalisasi. Ini merupakan upaya menghalangi kebebasan berkumpul dan berpendapat serta bentuk kekerasan yang menggunakan hukum dengan pasal-pasal yang diterapkan secara paksa.

Dugaan tindak pidana penghasutan menurut Pasal 160 KUHP Jo. Putusan MK Nomor 7/PUU-VII/2009 adalah delik materiil dan oleh karenanya “baru bisa dipidana bila timbulnya akibat yang dilarang”. Selain delik materiil, penghasutan harus memiliki hubungan kausalitas dengan “akibat yang dilarang.” Kebebasan berkumpul dan berpendapat bukanlah bukan sesuatu yang dilarang.

Karena itu, pemanggilan terhadap warga tersebut jelas merupakan bagian dari upaya untuk menghalang-halangi dan menakut-nakuti, bagian integral dari pembungkaman kebebasan berkumpul dan berpendapat. Permintaan untuk melakukan klarifikasi dalam surat polisi juga jelas bertentangan dengan KUHAP dan PERKAPOLRI No 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana yang tidak mengenal istilah “klarifikasi”.

Selanjutnya, serangan terhadap Floresa.co merupakan ancaman serius terhadap kebebasan pers. Serangan itu tidak hanya merugikan pers, tetapi juga publik yang berhak untuk mendapatkan informasi yang valid di tengah upaya pemerintah menutup-nutupi fakta demi memoles citra baik di hadapan delegasi ASEAN Summit.

"Kami mengecam tindakan itu karena seharusnya ada jaminan keamanan dan perlindungan bagi para jurnalis dan siapapun pihak yang keberatan dengan produk jurnalistik mesti mengambil langkah yang sesuai dengan mekanisme Undang-Undang Pers."

Dalam pernyataannya, kelompok masyarakat sipil mendesak Pemerintah Indonesia memastikan KTT ASEAN di Labuan Bajo, NTT berlangsung dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip ASEAN dengan menghormati kebebasan yang mendasar, pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya untuk menghormati dan melindungi kebebasan berkumpul dan berpendapat warga negara.

Mendesak Kapolri memerintahkan dan harus memastikan Polda NTT dan jajaran di bawahnya untuk menghormati dan melindungi kebebasan berkumpul dan berpendapat masyarakat NTT, termasuk kemerdekaan dan kebebasan pers serta menjalankan kewajiban memberikan perlindungan dan menyelenggarakan pengamanan terhadap peserta penyampaian pendapat di muka umum, dan meminta Kapolri memerintahkan Kapolda NTT untuk menghentikan proses hukum pemolisian politik terhadap masyarakat NTT yang ingin dan akan melakukan aksi unjuk rasa selama ASEAN Summit.

"Kapolri memerintahkan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri dan Badan Reserse Kriminal untuk memeriksa dugaan tindak pidana menghalang-halangi warga negara menyampaikan pendapat di muka umum yang dilakukan oleh Kapolda NTT," tulis kelompok masyarakat sipil.