OGW 2023: Kepastian perlindungan hukum pembela lingkungan hidup

Penulis : Gilang Helindro

Hukum

Jumat, 12 Mei 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Auriga Nusantara melalui kegiatan Open Government Week (OGWeek) 2023, menyelenggarakan seminar dengan tema Kepastian Perlindungan Hukum Bagi Pembela Lingkungan Hidup. Rabu 10 Mei 2023 di Grand Hyatt Hotel Jakarta.

Juru Kampanye Auriga Nusantara, Hilman Afif, mengatakan belum adanya kepastian terhadap perlindungan hukum bagi pembela lingkungan secara komprehensif, mengharuskan para pemangku kebijakan, terutama penegak hukum dan organisasi masyarakat sipil untuk merumuskan solusi agar mereka yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak mengalami intimidasi.

Dengan diadakannya seminar ini, berharap bisa mengetahui berbagai perspektif tentang perlindungan hukum bagi para pembela lingkungan. Memahami permasalahan-permasalahan yang terjadi mengenai perlindungan bagi para pembela lingkungan. “Dan, merumuskan sejumlah gagasan dan langkah-langkah untuk memastikan perlindungan hukum kepada pembela lingkungan,” katanya Rabu, 10 Mei 2023.

Saat ini, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan menyebabkan kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup. Jika lingkungan sudah tercemar dan rusak, maka akan berdampak bagi generasi yang akan datang. “Inilah salah satu pendorong bagi masyarakat untuk memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat,” katanya.

Open Government Week 2023, Kepastian Perlindungan Hukum Terhadap Pembela Lingkungan Hidup. Foto Yudi/AurigaNusantara

Auriga Nusantara, sejak 2018 berusaha mendokumentasikan tindakan penggunaan hukum yang sewenang-wenang dan kekerasan terhadap para pembela lingkungan dalam rentang waktu 2014 sampai 2022. Setidaknya terdapat 102 kasus yang dialami oleh pembela lingkungan hidup. Kasus tersebut terjadi di 26 Provinsi di Indonesia, dengan perincian 29 kasus terjadi di Kepulauan Jawa, 23 kasus terjadi di Kepulauan Andalas, 18 kasus di Kepulauan Celebes, 16 kasus di kepulauan Borneo, 12 kasus di Kepulauan Bali dan Nusa Tenggara, 2 kasus di Kepulauan Maluku, dan 2 kasus di Tanah Papua.

Jika dilihat lebih lanjut, provinsi dengan kekayaan sumber daya alam adalah tempat di mana angka ancaman terhadap pembela lingkungan dan sengketa sumber daya alam cenderung tinggi.  Data yang dihimpun ini tentu memberikan gambaran betapa rentannya masyarakat mengalami pengebirian atas hak-hak universal yang melekat  di diri mereka sebagai manusia.

Perlindungan hukum terhadap pembela lingkungan hidup ini masih berada pada tataran dasar melalui Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pasal tersebut memiliki kelemahan sebab pada penjelasannya, pasal ini hanya berfokus pada upaya untuk melindungi korban dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dan dimaksudkan sebagai upaya untuk mencegah adanya tindakan pembalasan dari pihak terlapor berupa pemidanaan atau gugatan perdata.

Artinya, pembela lingkungan yang menempuh cara/upaya non-hukum, seperti upaya ekstra legal, mengkritisi kebijakan, demonstrasi, dan bentuk lainnya tidak menjadi subjek hukum perlindungan pembela lingkungan (Anti-SLAPP).

Turut hadir sebagai narasumber, Herlambang Perdana Wiratraman, akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan materi Peluang dan Tantangan Perlindungan Hukum Bagi Pembela Lingkungan di Indonesia.

Materi Penanganan Kasus Anti SLAPP di Indonesia disampaikan Eko Susanda, Kepala Unit III Subdit 5 Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim POLRI. Kemudian, Analisis Kasus SLAPP di Indonesia dan Perbandingan dengan Negara Lain disampaikan Raynaldo G Sembiring selaku Direktur Eksekutif ICEL.

Dan terakhir, penyampaian paparan mengenai Perlindungan Hukum Bagi Pembela Lingkungan Hidup, disampaikan Atnike Nova Sigiro selaku Ketua Komnas HAM RI.