Dorong Tindak Lanjut Keputusan Pencabutan Izin di Kawasan Hutan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat Adat

Selasa, 16 Mei 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Hendrikus Woro dan Gregorius Yame, dua perwakilan masyarakat adat suku Awyu, beberapa kali mengulang harapan mereka agar pemerintah mencabut izin-izin perusahaan sawit yang masuk ke tanah dan hutan adat mereka di Kampung Yare, Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan. Keberadaan perusahaan-perusahaan sawit yang kini mengantongi izin di Boven Digoel itu, menurut mereka, akan mengancam lingkungan dan kelangsungan ruang hidup masyarakat adat.

“Kami tidak ingin ada perusahaan-perusahaan mana pun yang masuk dan merusak hutan kami. Hutan itu sangat penting bagi kami masyarakat adat. Kami mau makan, mau minum, mau ambil kayu, semua tergantung kepada alam,” kata Gregorius Yame, perwakilan masyarakat adat suku Awyu dalam media briefing dan diskusi publik “Litigasi Iklim dan Evaluasi Perizinan, Dua Ikhtiar demi Hutan Adat Papua”, Kamis (11/5/2023) kemarin.

Perjuangan masyarakat adat Awyu ini mendapat dukungan dari banyak pihak, termasuk dari narasumber yang hadir dalam diskusi. Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia periode 2012-2017 dan 2017-2022, Sandra Moniaga, mengatakan, upaya yang dilakukan Hendrikus dan Gregorius tak hanya menyangkut kepentingan mereka sebagai individu.

“Tapi untuk semua orang Papua dan orang lain di Bumi. Ini sangat pantas dan wajib kita dukung bagaimana pun caranya,” ujar Sandra.

Perwakilan masyarakat adat Papua dari suku Awyu yang mengenakan cat tubuh tradisional dan hiasan kepala burung cendrawasih bergabung bersama para aktivis, melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Kepresidenan Jakarta, 11 Mei 2023 kemarin. Foto: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace

Media briefing dan diskusi ini digelar setelah perwakilan masyarakat adat suku Awyu mendatangi sejumlah lembaga negara selama dua hari berturut-turut. Pada Selasa, 9 Mei, mereka mengajukan permohonan gugatan intervensi ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, serta mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Sehari setelahnya, mereka mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Serangkaian upaya tersebut dilakukan demi mempertahankan wilayah adat mereka dari dua perusahaan sawit di Boven Digoel, PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama. Kedua korporasi ini tengah menggugat dua surat keputusan Menteri LHK tentang penertiban dan penataan pemegang izin pelepasan kawasan hutan.

Dua surat yang digugat itu merupakan tindak lanjut dari Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi di Kawasan Hutan, yang isinya mencabut 234 izin pelepasan kawasan hutan, serta mengevaluasi 106 perizinan.

Kepala Divisi Hutan dan Lahan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Adrianus Eryan, mengatakan keputusan itu sebenarnya langkah awal yang baik. Tapi, tindak lanjut dari keputusan itu belum sepenuhnya rampung.

Menurut Adrianus, KLHK perlu berkoordinasi dengan sejumlah instansi lain yang terlibat dalam penerbitan izin-izin lainnya seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Pertanian, hingga pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten.

“Instansi lain harus ikut bergerak mengevaluasi izin yang ada di bawah kewenangannya masing-masing. Setelah evaluasi dilaksanakan dan izin-izin yang tersisa tuntas dicabut, maka penataan kembali pihak-pihak yang berhak terhadap wilayah tersebut dapat dilaksanakan, misalnya pemberian legalitas bagi masyarakat adat yang telah hidup turun temurun di wilayah tersebut,” kata Adrianus.

Dosen hukum administrasi negara dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Franky Butar Butar, mengatakan perlunya evaluasi perizinan pelepasan kawasan hutan secara menyeluruh. Ia menyoroti proses perizinan, semisal dalam pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), yang kerap kali tak melibatkan partisipasi bermakna masyarakat.

“Masyarakat adat harus dilibatkan dalam semua keputusan penting yang menyangkut wilayah dan hak-hak mereka,” kata Franky.

Anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua, Sekar Banjaran Aji mengatakan, ada dua pesan dalam langkah litigasi yang ditempuh masyarakat adat suku Awyu. Pertama, mereka ingin mengingatkan pemerintah bahwa ada yang salah dalam proses pemberian perizinan sebelumnya.

“Di sisi lain, masyarakat adat Awyu juga ingin menceritakan bahwa ketika hutan Papua terancam, dampaknya bisa menimpa kita semua karena hari ini kita tidak dalam kondisi baik-baik saja. Potensi emisi karbon yang terlepas akan sangat besar jika hutan suku Awyu dialihfungsikan dan ini akan semakin memperparah krisis iklim,” kata Sekar.

Sandra Moniaga menambahkan, hak-hak masyarakat adat jelas diakui dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Masyarakat Adat (UNDRIP), yang juga sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.

“Konstitusi kita pun secara khusus mengakui hak atas wilayah adat dan hak budaya. Budaya orang Papua dan suku Awyu tidak mungkin terlepas dari lingkungan dan alamnya,” kata Sandra.

Pada hari Kamis, 11 Mei ini, perwakilan masyarakat adat suku Awyu juga menggelar aksi di depan Istana Negara. Mengenakan pakaian adat, mereka melakukan ritual dan membentangkan spanduk bertuliskan “Save Indigenous Papuans Forest”. Perwakilan masyarakat suku Awyu juga bergabung dengan Aksi Kamisan, yang pada pekan ini mengangkat kembali isu pelanggaran HAM berat Tragedi Trisakti dan Peristiwa 13-15 Mei 1998.