Mencari Akal Meminimalisir Pemidanaan Pejuang Lingkungan

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Jumat, 19 Mei 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Auriga mencatat kriminalisasi pembela lingkungan mencapai 67 dari 110 kasus ancaman pejuang lingkungan atau (environmental defender/ ED). Pemidanaan oleh polisi pun menjadi momok bagi para pejuang lingkungan.

Data Yayasan Auriga Nusantara menyebutkan kasus ancaman terhadap pembela lingkungan di Indonesia mencapai 110 kasus sejak 2014. Sebanyak 67 kasus merupakan pemidanaan yang dilakukan oleh polisi. Pasal kriminal masih menjadi senjata ampuh untuk membungkam pembela lingkungan. 

Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menyebutkan lembaganya menerima banyak laporan ancaman kriminalisasi dalam konflik agraria antara warga dan korporasi. Banyak pelapor komnas HAM menyebutkan mereka menjadi korban kriminalisasi karena mempertahankan tanah atau lingkungan. 

“Dalam sebulan ini saja saya menerima bom wa (pesan whatsapp) dari masyarakat di tingkat lokal, khususnya kriminalisasi. Saya diminta perlindungan hukum untuk pembela lingkungan,” ucapnya dalam seminar ‘Kepastian Terhadap Perlindungan Hukum Pembela Lingkungan Hidup’ yang digelar oleh Auriga bersama Bappenas dalam rangka ‘Open Government Week’ di Grand Hyatt Hotel, Jakarta pada Rabu lalu (10/5/2023).

Poster kampanye hentikan kriminalisasi masyarakat sipil Indonesia. Foto: LBH Pers

Selama ini terdapat beberapa peraturan yang menjadi dasar perlindungan bagi pejuang lingkungan melalui Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti-SLAPP). Peraturan mendasar untuk melindungi pejuang lingkungan adalah Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ((UUPPLH). 

Pasal tersebut menyebutkan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. 

Sedangkan peraturan lain diantaranya adalah Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SKMA) No 036 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perkara Lingkungan Hidup, Standar Norma dan Pengaturan Komnas HAM No 6 Tahun 2021 Tentang Pembela HAM, serta Pedoman Kejaksaan No 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Namun pada praktik, Atnike mengaku, banyak warga ataupun aktivis yang melakukan pendampingan hukum atas konflik dengan korporasi justru menjadis sasaran pemidanaan. 

“Banyak laporan yang ditujukan terkait dengan polisi soal ini. Kalau di laporan Komnas HAM selama dua kali berturut-turut, tahun 2021 dan 2021, ini di urutan kedua terbanyak,” jelasnya. 

Menurutnya aparat, terutama polisi, perlu memahami latar belakang konflik terkait lingkungan hidup. Pemahaman ini kemudian ditindaklanjuti dengan meminimalkan pemidanaan.

Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P. Wiratraman, menyebutkan perlindungan pejuang lingkungan sebenarnya harus dimaknai lebih luas. Aktivitas pejuang lingkungan dilindungi oleh Pasal 28 H UUD 45.

Pasal tersebut menyebutkan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. 

Sikap pejuang lingkungan menolak korporasi, baik tambang, perkebunan atau usaha lainnya yang merisikokan lingkungan dilakukan atas dasar sikap ini. 

Selain itu Pasal 28F Konstitusi menjamin hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi terkait gerakan. Selama ini informasi perizinan acapkali tak melibatkan warga dan pembela lingkungan, sehingga mereka melakukan protes hingga aksi. 

Namun Pasal 66 UUPLH justru dimaknai sempit oleh penegak hukum, yakni yang disebut sebagai pejuang lingkungan adalah orang atau kelompok yang melakukan upaya hukum, yakni gugatan ataupun pelaporan ke polisi. Padahal upaya hukum juga ditempuh ketika warga ataupun pejuang lingkungan hidup melakukan konsultasi ke kepala daerah, DPR/DPRD, maupun instansi pemerintah. 

Ia curiga maraknya praktik kriminalisasi selama ini menunjukkan keberpihakan aparat terhadap korporasi dalam penanganan perkara lingkungan hidup. Beberapa kasus menunjukkan kejanggalan proses penanganan perkara. Misalnya saja kasus Heri Budiawan alias Budi Pego yang menolak aktivitas tambang di Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi.

Budi Pego dipidana melakukan penyebaran dan mengembangkan ajaran komunisme, marxisme-leninisme di muka umum dengan media tulisan (spanduk). Lantaran ketika melakukan aksi pada 2017, polisi mendapati logo mirip palu arit. 

“Ini benar-benar tidak masuk akal, karena di sidang sendiri Budi Pego setelah mendapat penjelasan apa itu marxisme-komunisme, dia tidak tahu sama sekali. Ini benar-benar lelucon,” tegasnya. 

Banyak kasus serupa dengan Budi Pego. Berbagai kasus di daerah, kehadiran aparat justru mengancam warga dan pejuang lingkungan. Apalagi dengan adanya Pasal 162 UU Pertambangan mengancam hukuman pidana terhadap penolak tambang. 

Direktur Eksekutif Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Raynaldo G Sembiring mengungkapkan di Indonesia, kasus SLAPP berkembang dengan signifikan dengan tren kriminalisasi. Tujuannya adalah untuk menghambat hak masyarakat untuk dapat berperan serta.

“Kepastian hukum bagi pejuang lingkungan perlu dilakukan untuk memastikan Anti SLAPP akan bermakna sejak di proses awal,” jelasnya.

Sementara Kepala Unit III Subdit 5 Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Mabes Polri, Kompol Eko Susanda, mengaku banyak kasus di daerah yang tidak ia dalami namun ia memastikan polisi bertindak proporsional dan profesional. 

Menurutnya salah satu jalan untuk menerapkan Anti SLAPP, polisi membutuhkan peraturan khusus atau panduan untuk menerjemahkan perlindungan terhadap pejuang lingkungan.  

“Karena polisi bisa serba salah, jika tidak dilakukan maka ia bisa kena tegur atau dianggap tidak profesional. Dan pendekatan polisi terhadap perkara adalah case-per case. Ini penting untuk membuat pedoman,” jelasnya.