Terbengkalai Sarana di Suaka Badak 

Penulis : Kennial Laia

Konservasi

Rabu, 31 Mei 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Plang berwarna putih itu bertuliskan ‘Lokasi Bumi Perkemahan Tanjung Lame’. Beberapa bangunan di komplek ini tampak terbengkalai. Genteng asbes berlumut dan mulai copot, lantai retak ditumbuhi rumput liar, dan daun jendela atau pintu rusak. 

Tak jauh dari sini terdapat gedung serbaguna. Kondisinya lebih mengenaskan. Bagian plafon sisi luarnya bolong-bolong dan lapuk. Dindingnya berlumut, dan lantainya dipenuhi puing genteng berwarna merah. Di bagian dalam, hampir seluruh plafonnya hilang, sehingga memperlihatkan rangka atap dari baja ringan. Lantainya pun kotor dan penuh sampah. 

Kedua area bangunan ini merupakan bagian dari fasilitas Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Keduanya berada tak jauh dari kampung Legon Pakis, Desa Ujungjaya, Sumur, Pandeglang. Sebagai catatan kampung ini masuk dalam wilayah taman nasional. 

Meskipun terlihat angker, gedung serbaguna masih seumur jagung. Dibangun pada 2019 dan diresmikan pada 26 Februari 2020 oleh bupati Pandeglang Hj. Irna Narulita. Menurut laman resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), gedung ini merupakan bagian dari Pusat Pendidikan Konservasi Berbasis Masyarakat, yang sumber dananya berasal Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). 

Foto udara lanskap Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, yang terfragmentasi akibat pembangunan jalan berpagar. Dok Auriga Nusantara

Dalam pernyataan resminya, KLHK mengatakan sarana dan prasarana ini dikelola masyarakat Ujungjaya “dalam rangka menunjang ekowisata Taman Nasional Ujung Kulon dan sebagai salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat.” 

Fasilitas ekowisata lainnya adalah gazebo yang terdapat di sisi pantai sepanjang jalan konblok (conblock), tak jauh dari kampung wisata Legon Pakis. Namun, banyak yang tidak terawat. Rangka atapnya, yang terbuat dari baja ringan, berkarat. Beberapa diantaranya dikelilingi rumput liar yang tinggi, dengan atap bolong. Padahal, menurut informasi yang dikumpulkan Betahita di lapangan, gazebo ini termasuk fasilitas yang cukup baru dibangun, bersama dengan jalan konblok.

Gedung serbaguna di area Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA), Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Dok Istimewa

Sisi luar gedung serbaguna di area JRSCA, Taman Nasional Ujung Kulon, tampak rusak dan terbengkalai. Dok Istimewa 

Riset Betahita menemukan, fasilitas di area JRSCA mencakup lima komplek bangunan utama. Ini termasuk dua perkantoran, stasiun riset, gedung serbaguna , maupun bumi perkemahan. Fasilitas diantaranya parkir sepeda, dermaga, paddock, pos jaga, dan gazebo. 

Area ekowisata dalam JRSCA ini cukup terisolasi. Walau hanya berjarak 67 kilometer dari Labuhan, Pandeglang, perjalanan dengan mobil menempuh waktu tiga jam. Ini karena jalan dari Kecamatan Sumur hingga Desa Ujungjaya rusak parah. 

Peresmian gedung serbaguna JRSCA pada 26 Februari 2020. Dok KLHK

*

Proyek JRSCA utamanya bukan untuk ekowisata, melainkan untuk pusat penelitian dan pengembangan in situ badak jawa (Rhinoceros sondaicus). Dalam daftar merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), status mamalia pemalu ini “critically endangered” atau “kritis”, yang artinya sangat berisiko terancam punah di alam liar.  

Habitat alami badak jawa hanya di Taman Nasional Ujung Kulon. Menurut data yang dirilis pemerintah, populasi saat ini sekitar 75 individu. Namun laporan Auriga Nusantara April lalu menyebut jumlah badak yang terdeteksi kamera jauh lebih sedikit, yakni 34 individu per Agustus 2022.  

Meski tujuannya tampak mulia, kehadiran JRSCA ditolak oleh aktivis dan konservasionis. Menurut sumber Betahita, proyek seluas 5.100 hektare ini pertama kali membuka hutan untuk jalan pada 2011, tepat di bagian tengah atau sisi “leher” taman nasional. Jalan sepanjang 4 kilometer ini dipagari dengan sling baja, yang “membelah” Semenanjung Ujung Kulon dan Gunung Honje. Taman nasional yang tadinya satu kini menjadi dua lanskap. 

Tugu SBSN berjarak sekitar 100 meter dari pintu gerbang JRSCA. Nama tugu tersebut merujuk pada sukuk negara, yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, dan menjadi sumber dana pembangunan fasilitas JRSCA. Dok Istimewa 

Peneliti konservasi dari Auriga Nusantara, Riszki Is Hardianto, mempertanyakan fungsi JRSCA. Pasalnya, fasilitas yang sudah dibangun ini telah menimbulkan dampak ekologis di taman nasional.  

Riszki menilai pembangunan JRSCA kurang cermat. Dia mencontohkan Suaka Rhino Sumatra (SRS) di Taman Nasional Way Kambas. Sebelum fasilitas dibangun, telah ada arahan terkait konservasi badak sumatra tersebut. Mulai dari penangkapan dan pemilihan individu, jumlah yang hendak ditangkap, hingga rasio jenis kelamin (sex ratio) jantan dan betina untuk breeding. Hal ini tidak terjadi dengan JRSCA. 

“Hingga saat ini arahan strategis terkait konservasi badak jawa belum keluar, lalu mengapa harus dibangun saat ini juga?” kata Riszki. 

“Kita merasa kebutuhan untuk suaka atau JRSCA itu ada, tapi bukan di Ujung Kulon. Harusnya di lokasi second habitat yang nantinya ditunjuk. Secara historis, koridor badak jawa itu se-Jawa, dan hingga saat ini baru satu (Cikepuh) yang ditemukan sejak pencarian second habitat diinisiasi pada 1989,” kata Riszki. 

“Pemerintah harus lebih jeli lagi, lebih giat lagi mencari second habitat jika memang serius ingin menyelamatkan badak jawa dari kepunahan. Ini lebih mendesak,” ujar Riszki.

Riszki menyayangkan pembangunan JRSCA. Pasalnya banyak sarana yang terbengkalai. Selain fungsi yang tidak jelas, dia menilai hingga saat ini belum ada sistem dan pengelolaan yang saklek untuk fasilitas tersebut.  “Ujungnya banyak sarana terbengkalai. Padahal anggaran yang digunakan sangat besar,” ujar Riszki. 

Pagar sling baja rusak, bersisian dengan jalan konblok di area JRSCA, Taman Nasional Ujung Kulon. Dok Istimewa 

Investigasi lapangan Auriga Nusantara menyebut bahwa sebagian pagar sling baja ini telah rusak. Ada yang putus, berkarat, ataupun lepas dari pilar kayu penyambung kawat ini. 

Keberadaan pagar ini juga sempat menimbulkan konflik dengan masyarakat desa. Herdin Haerudin, warga dan anggota kelompok konservasi Kompilasi, mengatakan pagar ini awalnya dialiri listrik. 

“Lalu ada kerbau milik warga yang kesetrum pagar. Masyarakat marah dan menuntut agar aliran listriknya dicabut,” tutur pria yang kerap disapa Pak RT Dadin ini saat ditemui di rumahnya di Desa Ujungjaya pertengahan April lalu. Alhasil, aliran listrik itu pun dibatalkan. 

Warga lainnya, Rahmat Hidayat atau Capcus, juga merasa proyek JRSCA aneh. Capcus terlibat kegiatan konservasi dan pengalaman monitoring badak jawa selama delapan tahun bersama sebuah lembaga satwa internasional. Dia mempertanyakan kegunaan pagar hingga kandang-kandang (paddock) yang nantinya akan menampung badak jawa yang ditangkap dari alam liar.  

“Saya cukup lama terlibat dalam monitoring badak, dan tidak selalu melihat badak jawa. Pernah bertemu, badaknya langsung kabur. Pernah juga hampir nabrak saya,” tutur Capcus. 

“Badak itu punya penciuman tajam. Saya pernah mendampingi mahasiswi yang sedang mengerjakan disertasinya. Kami harus menunggu di atas pohon, sampai buang air kecil juga harus di kantong plastik supaya tidak terdeteksi badak,” kata Capcus. 

Badak jawa (Rhinoceros sondaicus), mamalia paling langka di dunia. Dok KLHK

Badak memang sensitif. Jika merasa terancam, insting satwa ini akan langsung menyerang ataupun melarikan diri. Saat ini pun lokasi badak jawa terkonsentrasi di area semenanjung, atau ujung paling barat Pulau Jawa, jauh dari keramaian dan aktivitas manusia. 

Guru Besar IPB Prof Harini Muntasib, yang merupakan Ketua Tim Penyempurnaan Manajemen dan Rencana Tapak JRSCA, mengatakan proyek ini telah selesai dibangun dan siap digunakan. Namun, tantangan utamanya adalah bagaimana memindahkan badak dari semenanjung ke paddock–kandang ataupun kubangan–di JRSCA, yang berada di dekat Gunung Honje, Pandeglang.  

"Untuk pembangunan JRSCA justru sudah siap, yang utama adalah segera mengaktifkan penggunaan JRSCA yang tentu saja memerlukan pendanaan yang besar dan konsisten supaya tujuan dapat tercapai," kata Prof Harini.

Dalam laporan ‘Badak Jawa di Ujung Tanduk: Langkah Mundur Konservasi di Ujung Kulon’, Auriga menyebut proyek JRSCA tidak relevan dengan pengembangan populasi badak. Riset investigatif organisasi ini juga menemukan adanya indikasi penurunan sebaran kantong badak, yang hilang di bagian selatan-timur taman nasional. 

Lokasi Bumi Perkemahan Tanjung Lame, salah satu sarana yang turut diresmikan pada tahun 2020, kini tak terurus. Dok Istimewa

Menurut laporan tersebut, kantong habitat yang hilang di bagian selatan-timur ini justru di dekat area JRSCA. Di area itu pulalah ditemukan kematian badak jantan Samson pada 23 April 2018 dan badak jantan Febri pada 5 Februari 2020.

“Padahal, lokasi ini justru kantong habitat yang paling dekat dengan proyek JRSCA yang menghabiskan dana lebih dari Rp 100 miliar,” tulis Auriga. 

Kucuran APBN untuk proyek JRSCA 

Sekitar 500 meter dari gerbang masuk JRSCA, terlihat sejumlah tukang sedang memperbaiki jalan di sebuah pertigaan. Menurut keterangan dari salah satu tukang, jalan conblock itu sempat rusak setelah dilalui alat berat untuk pembangunan menara pengawas dan kandang satwa, termasuk badak.    

Betahita mendapatkan hasil pengamatan ini dari tim investigasi lapangan Auriga Nusantara pada awal April 2023. Jika berbelok ke kiri (sisi timur), terdapat dua komplek baru, salah satunya merupakan stasiun riset. Saat didatangi, area ini sepi, tanpa aktivitas manusia. Di sisi timur ini juga terdapat menara pengawas maupun paddock–untuk pengembangan dan penelitian badak. 

Pembangunan JRSCA sempat terhenti pada awal pandemi, lalu kembali digarap pada 2021. Pada Juni 2022, aktivis muda Pandeglang mendemo proyek ini. Mereka menuding bahwa JRSCA tidak ramah lingkungan dan mengganggu hewan di dalam hutan. Organisasi tersebut juga menuduh pemenangan tender dan proyek sarat konflik kepentingan. 

Salah satu gazebo yang rusak di area ekowisata JRSCA, tak jauh dari kampung Legon Pakis, Ujungjaya, Sumur, Pandeglang. Dok Istimewa

Menurut analisis Auriga Nusantara, anggaran Balai Taman Nasional Ujung Kulon pada 2019-2022 mencapai Rp 256,7 miliar. Hampir separuh  dialokasikan untuk pembangunan JRSCA, pembangunan atau pemeliharaan infrastruktur lainnya, pengadaan/pemeliharaan kendaraan, dan penggajian staf. 

Padahal anggaran jumbo ini berasal dari kocek negara. Pada laman Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) milik pemerintah, diakses Selasa, 23 Mei 2023 pukul 11.51 WIB, terdapat 27 paket yang dianggarkan dengan kata kunci “JRSCA” pada 2021-2022, dengan total Rp 110,38 miliar. 

Sebagai rincian, terdapat delapan paket yang dianggarkan pada 2021, sebesar Rp 33,22 miliar. Biaya paling besar adalah pembangunan jalan penghubung dalam rangka pembangunan JRSCA sebesar Rp 11,5 miliar; pembangunan jembatan Rancapinang dalam rangka pembangunan JRSCA sebesar Rp 4,73 miliar; dan pembangunan pos jaga dan pagar batas airmokla sebesar Rp 4,26 miliar. Adapun jasa konsultansi perencanaan teknis pembangunan sebesar Rp 2,5 miliar dan pengadaan sarana dan prasarana pendukung JRSCA sebesar Rp 2,84 miliar. 

Komplek kantor stasiun riset, salah satu fasilitas di JRSCA Taman Nasional Ujung Kulon, Banteng. Dok Istimewa

Pada 2022, sebanyak Rp 77,16 miliar digelontorkan dari APBN untuk JRSCA. Dengan total 19 paket, biaya paling besar dialokasikan untuk pembangunan komplek kantor pengelola JRSCA Rp 17,22 miliar, serta pembangunan paddock penelitian Rp 14,13 miliar dan paddock pengembangan Rp 9,944 miliar. 

Kemudian, pembangunan komplek stasiun lapangan/field station sebesar Rp 4,42 miliar dan pembangunan pagar batas dan pintu Karang Ranjang sebesar Rp 4,66 miliar. 

Syahdan, rincian paket proyek untuk JRSCA didominasi oleh konstruksi infrastruktur dan pemeliharaan. Dalam laporannya, Auriga Nusantara juga menyebut anggaran lebih dari Rp 100 miliar tidak untuk teknis konservasi badak jawa, yang semestinya menjadi prioritas. Ketika sejumlah sarana dan prasarananya menjadi terbengkalai, menjadi sebuah pertanyaan jika pemerintah telah membuang waktu dan uang, dan lebih parah lagi, terus menghambat upaya konservasi satwa yang terancam punah itu. 

Pintu gerbang Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) Taman Nasional Ujung Kulon, Desa Ujungjaya, Sumur, Pandeglang. Dok Istimewa