Retorika Komitmen Solusi Krisis Iklim

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Iklim

Kamis, 25 Mei 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Pemerintah Indonesia dinilai harus menunjukkan komitmennya dalam isu perubahan iklim, ketimbang hanya sekedar beretorika. Sebab, di mata pengamat kebijakan iklim dan energi, berbagai kebijakan sektor energi di Indonesia belum mengarah pada solusi perubahan iklim. Hal tersebut sebagai respon atas pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Sesi Kerja Mitra G7 di Hirosima, Jepang, Sabtu (20/5/2023) kemarin.

Senior Campaign Strategist Greenpeace International, Tata Mustasya, mengatakan Presiden Jokowi harus menunjukkan komitmen dan kepemimpinannya untuk mengatasi krisis iklim. Karena sejauh ini, Tata berpendapat, komitmen Presiden Jokowi terhadap krisis iklim ini tidak terlihat secara nyata.

Tata menjelaskan, di masa Pemerintahan Presiden Jokowi, antara 2017-2020, kapasitas produksi listrik dari PLTU batu bara justru malah naik sebesar 44 persen. Indonesia, katanya, kini menjadi salah satu dari empat negara G20 yang masih meningkatkan kapasitas PLTU batu baranya, dan naik paling tinggi.

"Produksi batu bara Indonesia juga terus naik dan tiap tahun terus mencatat rekor baru," ungkap Tata, Selasa (23/5/2023) kemarin.

Anak muda menggelar aksi iklim saat Hari Bumi 2022 Mei lalu di Jakarta. Dok 350 Indonesia

Tata juga menyoroti beberapa kebijakan yang dibuat Pemerintah Indonesia terkait sektor energi. Soal co-firing biomassa pada PLTU batu bara misalnya, Tata menyebut pembakaran biomassa bersama batu bara sebagai bahan bakar PLTU, adalah solusi palsu.

"Sementara carbon trading merupakan greenwashing. Ini tidak berhasil mencapai transisi energi tepat waktu," kata Tata.

Yang harus dilakukan sekarang, lanjut Tata, Indonesia harus segera mempercepat transisi energi energinya dengan melakukan pensiun dini PLTU, tidak membangun PLTU baru, dan beralih ke energi bersih dan terbarukan, seperti matahari dan angin.

"Dipilih (energi) yang paling bersih dan tidak menimbulkan dampak sosial dan lingkungan. Geothermal dan big hydro dalam konteks Indonesia banyak menimbulkan dampak sosial dan lingkungan. Biomassa ada risiko deforestasi yang besar," terang Tata.

Tata mengakui, negara-negara maju sering kali menyampaikan komitmennya terhadap isu perubahan iklim tanpa aksi konkret. Contohnya soal dana adaptasi iklim, yang menurut Tata, realisasinya masih jauh dari komitmen, apalagi kebutuhan.

Tata berpendapat, secara global negara-negara maju harus memenuhi komitmen iklim untuk pendanaan adaptasi serta loss and damage. Selain membantu mitigasi krisis iklim, terutama percepatan transisi energi, baik melalui teknologi maupun pendanaan.

"Loss and damage fund yang dijanjikan di COP (Conference of the Parties) 27 oleh negara-negara maju untuk negara-negara berkembang juga harus kita tagih di COP 28," kata Tata.

Tata meragukan Just Energy Transition Partnership (JETP) atau Kemitraan Transisi Energi Adil antara Uni Eropa beserta mitra internasional dengan Indonesia, yang tercipta dalam KTT G20 di Bali pada 15-16 November 2022 lalu. Karena, katanya, ada kemungkinan 95 persen pendanaan JETP ini akan berupa utang, yang berarti tidak menunjukkan polluters pay principle.

"JETP-nya sampai saat ini juga bermasalah. Karena apalagi khusus pensiun dini PLTU batu bara, pendanaannya harusnya dalam bentuk hibah, sebagai bentuk tanggung jawab negara-negara maju sebagai polluters," kata Tata.

"Pada saat bersamaan saat ini negara-negara maju dan international oil companies sedang melakukan ekspansi minyak dan gas besar-besaran. Negara-negara maju ini terlihat sangat hipokrit kalau bicara soal aksi iklim saat ini," imbuh Tata.

Sebelumnya, dalam pidatonya pada Sesi Kerja Mitra G7 membahas soal iklim, energi, dan lingkungan di Grand Prince Hotel Hiroshima, Jepang, Sabtu lalu, Presiden Jokowi mendorong semua negara turut berkontribusi sesuai kapasitas masing-masing dalam menghadapi ancaman perubahan iklim.

“Pendekatan lama harus ditinggalkan, burden shifting, propaganda. Bumi ini butuh aksi nyata, bukan talk the talk yang tidak berujung konkret,” ujar Presiden, dikutip dari Setkab.

Menurut Presiden, Indonesia telah meningkatkan target penurunan emisi sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,2 persen dengan dukungan internasional.

“Sebuah komitmen yang harus diikuti dengan kemitraan yang memberdayakan,” imbuhnya.

Selain itu, Presiden menegaskan bahwa dukungan pendanaan iklim bagi negara berkembang harus konstruktif dan jauh dari kebijakan diskriminatif yang mengatasnamakan lingkungan. Dukungan pendanaan dalam bentuk seperti utang, menurutnya hanya akan menjadi beban.

“Saya harus sampaikan, jujur negara berkembang ragu terhadap komitmen pendanaan negara maju yang hingga kini komitmen USD100 miliar/tahun masih belum terpenuhi,” lanjutnya.