Sampah Plastik Memperburuk Banjir, Orang Termiskin Lebih Berisiko

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Senin, 29 Mei 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Sebanyak 218 juta jiwa diperkirakan mengalami risiko banjir lebih parah dan sering akibat sampah plastik. Menurut studi terbaru, kelompok ini berasal dari penduduk termiskin di dunia. Salah satu negara terdampak adalah Indonesia. 

Jumlah tersebut setara dengan gabungan jumlah penduduk Inggris, Prancis, dan Jerman. Sekitar 41 juta di antaranya adalah anak-anak, orang tua, dan penyandang disabilitas, menurut laporan tersebut. Tiga perempat dari mereka yang paling berisiko tinggal di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik.

Para peneliti dari Resource Futures, sebuah konsultan lingkungan, dan Tearfund, sebuah badan amal Kristen internasional, menemukan bahwa masyarakat di Kamerun, Nigeria, Republik Demokratik Kongo (DRC), Ghana, Bangladesh, dan Indonesia mengalami banjir yang lebih parah beberapa tahun terakhir. Ini disebabkan oleh sampah plastik yang memblokir sistem drainase. Menurut para peneliti, sampah plastik adalah "pengganda risiko" untuk banjir bagi komunitas ini. 

Untuk mengidentifikasi mereka yang paling berisiko, peneliti menggunakan studi tentang risiko banjir dan kemiskinan yang diterbitkan pada 2022 oleh Jun Rentschler dan lainnya yang mengidentifikasi 1,8 miliar orang berisiko tinggi terkena banjir di 188 negara. Mereka mempersempit analisis mereka hanya ke negara berpenghasilan rendah dan menengah dengan drainase perkotaan, pengelolaan limbah padat, dan sanitasi yang tidak memadai. 

Aktivis Ecological Observation and Wetland Conservation (Ecoton) mengumpulkan berbagai sampah plastik di Sungai Ciwulan dalam rangkaian Ekspedisi Sungai Nusantara di Kampung Leuwi Bilik, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Sabtu (2/4/2022)./Foto: Antara/Adeng Bustomi/Tom.

Agar fokus pada populasi yang paling berisiko dari plastik yang memperburuk risiko banjir, peneliti juga mengecualikan negara-negara dengan limbah yang salah kelola kurang dari 1 kg untuk setiap orang per tahun, dan berfokus pada daerah kumuh perkotaan.

“Polusi plastik telah memperburuk banjir di seluruh dunia, dari Brasil hingga DRC, serta dari Malawi hingga Bangladesh. Tanpa tindakan tegas, masalah ini hanya akan bertambah buruk,” kata Rich Gower, ahli ekonomi dan kebijakan di Tearfund.

Polusi sampah plastik meningkat dua kali lipat dalam dekade terakhir, dan diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat pada 2060. Hanya 9% yang didaur ulang secara global.

“Tujuan dari laporan ini adalah untuk memberikan urutan besarnya jumlah orang yang berisiko. Kami ingin menunjukkan bahwa polusi plastik paling memengaruhi komunitas termiskin dan paling terpinggirkan. Kami telah melihatnya dengan pembakaran plastik, dan sekarang kami melihatnya dengan risiko banjir. Komunitas ini menanggung beban polusi plastik,” tereang Gower. 

Namun para penulis menekankan keterbatasan estimasi, yang didasarkan pada data yang tersedia.  Mereka mengakui bahwa “data rinci tentang dampak banjir yang diperburuk oleh plastik tidak tersedia”. 

Selain itu, tidak ada pemodelan yang memadai tentang hubungan antara polusi plastik, banjir, dan kesehatan. Tetapi peneliti menerapkan "beberapa asumsi konservatif dan pemeriksaan akal", dan menganggap perkiraan itu "realistis dan konservatif".

Gower mendesak pemerintah dunia, yang akan berkumpul di Paris minggu depan untuk memulai negosiasi perjanjian plastik yang mengikat secara hukum, untuk mempertimbangkan komunitas yang terkena dampak paling parah ini. 

“Melalui perjanjian plastik, para pemimpin dunia memiliki kesempatan sekali seumur hidup untuk mengakhiri krisis ini dengan menurunkan produksi plastik dan memastikan sisanya dikumpulkan dan didaur ulang dengan aman,” kata Gower.

Brendan Cooper, seorang konsultan di Resource Futures, mengatakan mereka menggunakan studi risiko banjir Rentschler sebagai titik awal. “Kami kemudian membaginya menjadi yang lebih sesuai dengan banjir terkait plastik,” kata Cooper. “Kami menemukan daerah perkotaan memiliki tingkat sampah yang salah kelola yang tinggi.”

Menurut Cooper, angka sebanyak 218 juta jiwa tersebut masih konservatif. 

Daerah kumuh berpenduduk padat di Asia Selatan, Asia Timur, dan Pasifik, serta Afrika sub-Sahara kemungkinan besar akan mengalami dampak terburuk dari banjir akibat plastik. Hal ini disumbang oleh pembangunan yang cepat dan tidak direncanakan dengan baik, dengan infrastruktur mitigasi banjir yang terbatas, menurut laporan tersebut.

Ini menunjukkan bahwa polusi plastik di daerah kumuh di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah membuat banjir semakin parah. Ini karena keberadaan sampah yang menutup sistem drainase, yang mengakibatkan masalah kesehatan, termasuk penyakit gastrointestinal seperti kolera dan penyakit diare.

Para peneliti mengecualikan komunitas pesisir dan negara berkembang pulau kecil dari penelitian, karena banjir pesisir tidak mungkin diperparah oleh sampah plastik.

Lebih dari 1 miliar orang tinggal di daerah kumuh secara global, dan diperkirakan akan mencapai 3 miliar pada 2050. Benda plastik yang paling sering diamati memblokir sistem drainase, menurut laporan tersebut, adalah botol, benang nilon dari industri perikanan, kantong plastik, dan sachet.

Studi tersebut mengatakan akumulasi polusi plastik dapat menyebabkan permukaan air naik satu meter dalam satu jam pertama banjir.

Contoh kasus pernah terjadi di India. Pada 2005, banjir parah menewaskan 1,000 orang di kota Mumbai. Penyebabnya adalah kantong plastik yang memblokir saluran air, yang menghambat air banjir monsun mengalir keluar kota.