Bank Tanah Dikhawatirkan Jadi Mesin Konsolidasi Tanah Pengusaha
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Agraria
Rabu, 31 Januari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menganggap Bank Tanah adalah mesin konsolidasi tanah bagi para pengusaha, konglomerat, dan badan usaha skala besar. Organisasi masyarakat sipil itu menyebut menggunakan Bank Tanah sebagai jalan penyelesaian konflik agraria telah menandakan ada sesat agraria sejak dalam pikiran.
"Sejak dalam pikiran dan statement-statement para promotornya, Bank Tanah dibentuk karena alasan kesulitan para investor mendapatkan tanah untuk berbisnis di Indonesia," ujar Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA, dalam pandangan KPA terhadap jalannya Debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) Pemilu 2024, yang digelar Minggu (21/1/2024) pekan lalu.
Menurut KPA, lanjut Dewi, Bank Tanah hanyalah alat akumulasi kapital gaya baru di bidang agraria yang dilahirkan oleh UU Cipta Kerja. Dengan demikian, arah kebijakan, tujuan dan cara kerja badan baru ini sangat berbeda bahkan bertentangan dengan Reforma Agraria, yang bertujuan untuk memenuhi aspirasi keadilan sosial rakyat atas tanah, menyelesaikan konflik, sekaligus merombak ketimpangan penguasaan tanah.
Celakanya, imbuh Dewi, pemerintah saat ini memasukkan agenda Reforma Agraria ke dalam Bank Tanah dengan memasukkan objek Reforma Agraria seperti tanah terlantar dan bekas Hak Guna Usaha (HGU) sebagai target pengadaan tanah oleh Bank Tanah. Operasi Negara melalui Bank Tanah justru telah menambah konflik agraria dan menghambat pelaksanaan Reforma Agraria.
Menurut Dewi, salah satu konflik yang disebabkan operasi Bank Tanah terjadi di Desa Batu Lawang, Cianjur. Desa yang berkonflik dengan eks-HGU PT MPM tersebut telah masuk dalam salah satu Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA), tiba-tiba secara sepihak tanpa persetujuan dan sosialisasi dengan petani, dipatok begitu saja oleh Badan Bank Tanah, hasil kerjasama dengan PT MPM dan Kantor Pertahanan Cianjur.
"Presiden Jokowi telah berhasil mengajarkan kepada kita bahwa janji politik (yang sempurna) saja tidaklah cukup. Krisis agraria yang terjadi selama sembilan tahun terakhir menjadi bukti bahwa pemerintah sebenarnya tidak pernah mempunyai visi yang genuine tentang Reforma Agraria," katanya.
Dewi melanjutkan, KPA berpendapat agar pemerintah terpilih ke depan harus memiliki visi yang murni, komitmen politik yang kuat dan konsekuen, serta keberanian penuh untuk menuntaskan persoalan-persoalan agraria yang terjadi dan semakin terakumulasi selama puluhan tahun ini. Sebab itu, kata Dewi, KPA kembali menekankan tentang hal-hal pokok dan urgensi untuk dilakukan pemerintah terpilih ke depan, agar Reforma Agraria yang sejati berhasil dijalankan.
Yang pertama, meluruskan paradigma, konsep, kebijakan dan praktik menyimpan Reforma Agraria yang selama ini diklaim sudah dijalankan, dari konsepsi ekonomi liberal “asset reform atau/plus akses reform” menjadi land reform yang disempurnakan, yang berarti proses pemenuhan, pemulihan dan pengakuan hak atas tanah bagi rakyat secara penuh dilakukan bersamaan dan terintegrasi dengan proses penguatan basis ekonomi, produksi, distribusi dan konsumsi rakyat sebagai satu kesatuan operasi Reforma Agraria yang sejati.
"Capaian akhir dari Reforma Agraria adalah transformasi sosial di pedesaan dan perkotaan yang berkeadilan sosial-ekologis dan mensejahterakan," kata Dewi.
Yang kedua, pelaksanaan reforma agraria harus dipimpin langsung oleh Presiden melalui badan otoritatif yang disebut Badan Otorita Reforma Agraria (BORA). Kemandegan pelaksanaan reforma agraria selama satu dekade terakhir dikarenakan pelaksanaan Reforma Agraria dipimpin oleh setingkat Kemenko sehingga tidak mampu mengatasi ego-sektoral antara kementerian dan lembaga yang bertugas melaksanakan Reforma Agraria.
Selanjutnya yang ketiga, mendorong dan mengesahkan UU Reforma Agraria sebagai usaha sistemik dan nasional untuk meluruskan Reforma Agraria yang dijalankan secara menyimpang oleh pemerintahan saat ini. Proses Reforma Agraria dalam RUU ini mencakup serangkaian kegiatan utama.
- Registrasi tanah, untuk memperoleh informasi struktur penguasaan dan ketimpangan tanah.
- Penyelesaian konflik, diperlukan utamanya bagi wilayah-wilayah atau desa-desa yang memiliki konflik agraria.
- Redistribusi tanah, untuk penataan ulang penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan, serta pemilikan tanah dan sumber agraria lainnya.
- Penguatan hak, yaitu pemberian jaminan hukum dan legalitas hak atas tanah, baik yang berupa hak individu, bersama (kolektif) maupun kombinasi antara keduanya sesuai konsensus di tingkatan masyarakat yang menjadi subyek Reforma Agraria.
- Penyediaan program penunjang melalui pemberian permodalan, jaminan pasar, teknologi, infrastruktur dan pengetahuan penerima redistribusi tanah.
Yang keempat, melakukan reformasi sistem administrasi tanah dan SDA untuk mempercepat dan mengembangkan pengakuan negara atas keragaman bentuk penguasaan kekayaan agraria-sumber daya alam, baik di darat, pesisir dan pulau-pulau kecil. Salah satunya menghapus dualisme pertanahan (hutan dan non-hutan), membangun sistem keterbukaan informasi penguasaan tanah (Hak Milik, Hak Pakai, HGU, HGB, HTI, IUP dan HPL).
Yang terakhir, kelima, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM bagi petani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan yang sedang memperjuangkan hak atas tanah dan wilayah hidupnya di berbagai landscape agraria (daratan, tanah, wilayah adat, perairan/laut, pesisir pulau kecil). Salah satunya dengan mengkoreksi dan mencabut pasal-pasal karet yang selama ini digunakan pemerintah dan badan usaha skala besar untuk mengkriminalisasi petani, masyarakat adat, nelayan dan masyarakat marjinal lainnya.
"Seperti UU Konservasi, UU P3H, UU Perkebunan, UU Minerba, UU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, UU ITE dan UU KUHP," ucap Dewi.