Darurat Status Monyet Ekor Panjang dan Beruk
Penulis : Kennial Laia
Satwa
Kamis, 01 Februari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Monyet ekor panjang dan beruk terus menghadapi ancaman eksploitasi, penyiksaan, dan perdagangan ilegal. Menurut Koalisi Primates Fight Back, gabungan organisasi penggiat satwa, perlindungan hukum dari pemerintah Indonesia penting untuk menjaga populasi dan habitatnya.
Salah satu caranya adalah dengan menetapkan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina) sebagai satwa liar dilindungi. Hal ini kembali digaungkan bertepatan pada Hari Primata Indonesia, yang jatuh pada 30 Januari 2024.
Angelina Pane, juru bicara Koalisi Primates Fight Back dan pendiri Animal Friends Jogja (AFJ), mengatakan kondisi monyet ekor panjang dan beruk saat ini semakin memprihatinkan. Kondisi ini juga mendorong International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan kedua spesies ini ke dalam golongan terancam punah pada Maret 2022.
“Meski sudah dua tahun sejak kedua status spesies satwa ini dinaikkan oleh IUCN dari rentan menjadi terancam punah, namun pemerintah sepertinya menutup mata pada sejumlah tindakan eksploitatif yang terjadi bertubi-tubi terhadap kedua spesies primata yang memiliki peran penting untuk keberlanjutan lingkungan,” kata Angelina, Selasa, 30 Januari 20244.
Angelina mengatakan saat ini monyet ekor panjang terus diperdagangkan secara bebas. Menurut data monitoring Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) di platform grup Facebook sepanjang 2020-2022, terdapat 1.650 monyet ekor panjang dan 77 beruk yang diperjualbelikan di 26 e-commerce di 11 provinsi di Indonesia. Jawa menjadi wilayah terbesar dalam perdagangan monyet, diikuti Sumatra dan Kalimantan.
Secara keseluruhan, Jawa Barat, Jawa Timur, dan DKI Jakarta menjadi pusat perdagangan monyet di Indonesia. Bayi monyet ekor panjang (85%) dan beruk (89%) mendominasi pasar karena banyaknya permintaan pembelian/pemeliharaan.
Berdasarkan pemantauan Garda Animalia pada 2021, terdapat 120 kios permanen dan 80 lapak yang beroperasi di Pasar Burung Jatinegara, Jakarta. Pasar ini merupakan sentral tempat perdagangan satwa liar baik dilindungi maupun tidak.
Koordinator Garda Animalia, Satria, yang tergabung dalam koalisi mengatakan paradigma terhadap monyet ekor panjang hanya berfokus pada pemanfaatan.
“Selama ini perdagangan maupun eksploitasi monyet sering disepelekan, padahal aktivitas ini merupakan kejahatan luar biasa dan upaya pemulihannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” kata Satria.
Selain itu masyarakat juga masih melihat monyet ekor panjang sebagai hama di lahan pertanian di sekitar habitat. Di Gunung Kidul, Yogyakarta, terdapat 'konflik' menahun antara petani dan monyet ekor panjang. Menurut Satria, hal ini disebabkan oleh menyusutnya habitat monyet akibat pembangunan untuk pariwisata, perkebunan, pertanian, dan perumahan. Monyet ekor panjang pun harus masuk ke ladang warga untuk mencari makanan karena sumber makanan di habitat yang semakin sempit.
Namun, pemerintah daerah malah mengizinkan penangkapan dengan klaim overpopulasi tanpa adanya survei populasi yang valid dan saintifik. Proses penangkapan sering dilakukan dengan cara yang brutal, kata Satria.
“Tentu pemerintah harus memikirkan alternatif mitigasi lainnya, timbulnya ‘konflik’ harus dinilai secara keseluruhan termasuk fragmentasi habitat,” kata Satria. Dia mendorong agar pemerintah menempuh upaya terbaik dan berkelanjutan dengan memperbaiki daya dukung habitat monyet.
Monyet ekor panjang. Dok Jean-Christophe Vie melalui IUCN
Aksi damai
Pada Hari Primata Indonesia tahun ini, Koalisi Primates Fight Back menggelar aksi damai di depan gedung Manggala Wanabakti, Jakarta. Dalam aksi tersebut, perwakilan aktivis turut menemui Biro Humas dan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK untuk menyampaikan tuntutannya secara langsung.
Fiolita Berandhini, anggota Koalisi mengatakan, dalam pertemuan tersebut pihaknya mendengar pandangan staf Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati yang tidak disebutkan namanya. Berdasarkan catatan Koalisi, KLHK menyadari sulitnya penanganan kawanan monyet yang merambah ladang untuk mencari makan di sekitar habitat. Langkah pemanfaatan (penangkapan monyet untuk dimanfaatkan) dianggap sebagai upaya persuasif berimbang yang perlu ditempuh pemerintah.
Mengenai maraknya perdagangan ilegal dan eksploitasi monyet, staf Direktorat KKH KLHK mengharapkan peran aktif Koalisi untuk upaya penyelamatan dan rehabilitasi. Pihaknya pun meminta Koalisi ini dapat mengembangkan pusat rehabilitasi monyet ekor panjang untuk membantu pemerintah.
Fiolita menyatakan tanpa perlindungan hukum, upaya penyelamatan dan rehabilitasi monyet ekor panjang dan beruk tidak akan maksimal. “Ini percuma jika nantinya tetap ada perburuan untuk diperdagangkan dan dieksploitasi karena tidak adanya perlindungan hukum,” katanya.
Salah satu sumber masalah peningkatan perburuan kedua satwa ini adalah maraknya komunitas pemelihara. Akibatnya, jumlah perdagangan pada forum daring pun naik.
Dari sejumlah laporan, dampak dari masifnya praktik jual beli kedua spesies ini melahirkan sejumlah perlakuan penyiksaan terhadap monyet maupun beruk yang dipelihara.
Laporan dari Social Media Animal Cruelty Coalition (SMACC) menyatakan pada 2021, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan pengunggah video penyiksaan hewan terbanyak di dunia, yakni 1.626 konten—banyak di antaranya adalah video yang melibatkan penyiksaan terhadap monyet dan beruk.
Monyet ekor panjang seringkali ditangkap dengan cara kasar. Dok Action for Primates
Sementara itu Animals Don’t Speak Human, organisasi yang mengadvokasi perlindungan hukum bagi satwa di Indonesia, mencatat berdasarkan pengaduan masyarakat, 43% dari 192 laporan masyarakat mengadukan keberadaan monyet yang dijadikan peliharaan manusia.
Kondisi monyet yang dilaporkan beragam, 132 laporan menyebutkan kondisi monyet/beruk yang dirantai dan 67 lainnya dikurung dalam kerangkeng. Di sisi lain, penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan dan eksploitasi monyet ekor panjang dalam kurun waktu 2014 hingga 2022 sangat sedikit. Merujuk pada Sistem Informasi Perkara Pengadilan (SIPP) Mahkamah Agung tercatat hanya ada 5 kasus yang divonis majelis hakim.
Fiolita mengatakan, pelaku kejahatan terhadap monyet ekor panjang dan beruk sering kali lolos karena kekosongan perlindungan hukum. Pasalnya, peraturan yang ada saat ini hanya dapat memproses kasus kejahatan satwa bila satwa masuk ke dalam kategori satwa liar dilindungi. “Maka sudah seyogyanya monyet ekor panjang dan beruk ditetapkan menjadi satwa liar dilindungi,” ujar Fiolita.
Fiolita mengatakan, pemeliharaan monyet ekor panjang dan beruk tidak hanya mengancam satwa, tetapi juga manusia. “Ancaman zoonosis merupakan hal yang perlu menjadi perhatian penting karena perdagangan monyet untuk pemeliharaan berpotensi besar menularkan sejumlah penyakit yang membahayakan kesehatan manusia,” katanya.
Tuntutan perlindungan monyet ekor panjang dan beruk
Dalam aksi damainya, Koalisi Primates Fight Back mendesak KLHK untuk segera:
- Menindaklanjuti temuan lapangan oleh berbagai LSM baik nasional maupun internasional terkait perdagangan monyet di Indonesia dengan paradigma kebijakan berpihak pada asas perlindungan;
- Menetapkan monyet ekor panjang serta beruk menjadi satwa liar dilindungi;
- Meningkatkan kerjasama lintas sektoral kementerian maupun badan lembaga lain untuk mengawasi serta menindak segala bentuk pemeliharaan, perburuan, perdagangan monyet ekor panjang dan beruk;
- Memberikan peringatan tegas kepada perusahaan penyelenggara e-commerce dan/atau social-commerce untuk menghentikan perdagangan monyet ekor panjang, beruk dan produk turunannya.