Ini Empat Kelemahan SIPUHH Menurut Pemantau Independen

Penulis : Redaksi Betahita

Hutan

Jumat, 01 Februari 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Muhamad Kosar, Kordinator Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) mengatakan ada 4 kelemahan dalam Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH).

Baca juga: Ditjen Gakkum Gunakan Undang-Undang TPPU dalam Kasus Kayu Ilegal Papua

Dalam diskusi publik, Kosar menanggapi soal hasil Investigasi dari liputan Tempo dan penangkapan kapal membawa kayu ilegal dari Papua di Surabaya dan Makassar, oleh Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan (Gakkum) 6 Desember 2018 dan 9 Januari 2019 lalu.

“Ini merupakan bukti, fungsi pemantau independen berjalan dan penegakan hukum dari Gakkum yang kita tunggu,” katanya dalam Diskusi bertema “Mesin Cuci Kayu Ilegal” di Hotel Morrisey kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Senin (28/1/19).

Salah satu pengrajin kayu di daerah Yogyakarta, pengrajin ini berusaha bertahan dari berbagai gangguan baik dari bahan baku sampai administrasi/Betahita.id/foto:GIlang Helindro

Menurut Kosar, empat kelemahan dalam sistem SIPUHH tersebut. Pertama, hanya kayu bulat dari hutan alam yang terekam SIPUHH. Kedua, belum terintegrasi secara menyeluruh dengan SIRPBBI (Sistem Informasi Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri ). Ketiga, pengawasan tidak efektif karena hanya pihak tertentu yang memiliki akses terhadap data dan informasi SIPUHH

SIPUHH adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan menyebarkan informasi penatausahaan hasil hutan kayu.

Dalam hal ini, Kosar menyarankan untuk meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum, penindakan lebih lanjut terhadap kasus yang terjadi, termasuk penelusuran lebih dalam tentang keterlibatan pihak-pihak tertentu, penegakan harus berefek jera agar kasus yang sama tidak terulang termasuk penegakan sanksi yang berkaitan dengan Standard Verifikasi Legal Kayu (SVLK).

Diperlukan juga peningkatan transparansi, memastikan pelaksanaan Permen LHK No 18 Tahun 2018 pelayanan informasi dengan proses yang cepat, tepat dan efektif.

“Keterbukaan informasi juga harus diimplementasikan oleh kementerian atau lembaga lain, di luar KLHK, proses penanganan laporan ketidaksesuaian dan penindakannya harus dapat diakses publik, serta diketahui perkembangan penanganannya,” ungkap Kosar.

Diperlukan peningkatkan koordinasi termasuk pemerintah daerah harus bersinergi dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum. Tidak hanya itu, peningkatan dan penguatan SVLK sebagai sebuah sistem, pemerintah bersama lembaga sertifikasi harus melakukan recheck rantai pasok pemegang izin untuk memastikan tidak adanya peredaran kayu dari sumber yang tidak jelas.

Terakhir, review perizinan pemerintah harus mengkaji ulang aturan pelaksanaan penggunaan Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP), serta izin Tempat Penampungan Terdaftar Kayu Bulat (TPT-KB) dan Tempat Penampungan Terdaftar Kayu Olahan (TPT-KO), serta segera mengkaji dan memperbaiki kebijakan atau peraturan terkait pembenahan tata kelola, sehingga persoalan konflik, serta korupsi perizinan dapat segera diselesaikan.