Penebangan Ilegal Kayu Papua Dilakukan Secara Teroganisir

Penulis : Gilang Helindro

Hutan

Kamis, 14 Mei 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Penebangan ilegal kayu di Papua Barat dilakukan sangat terorganisasi oleh kelompok yang mampu memanipulasi izin penebangan di lokasi yang dilarang. "Sesungguhnya penebangan kayu itu bermasalah atau manipulatif, namun semua izin penebangan liar di Papua berkedok izin sah," kata Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Keadilan dan Perdamaian (PBHKP) Sorong Lory da Costa dalam diskusi Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam di Papua, Rabu, 13 Mei 2020.

Baca juga: Dua Kasus Illegal Logging di Kaltim dan Manado Akan Disidangkan 

Dalam manipulasi izin itu, kata Lory, pelaku bahkan bisa menyertakan nama bupati di salah satu daerah. Biasanya manipulasi izin dilakukan untuk menguasai hasil hutan kayu masyarakat yang tak boleh dikomersialkan. Beberapa penebang liar di Sorong, Papua Barat, bahkan menggunakan alat berat untuk mempercepat pekerjaan. Perizinan alat berat itu pun bermasalah. "Selain itu juga mereka menggunakan tenaga kerja lokal dalam bentuk kelompok, atau tenaga kerja luar," tutur Lory.

Salah satu kasus yang dikawal PBHKP adalah kelanjutan proses hukum Hanoch Budi Setiawan alias Ming Ho atas pengembangan kasus penggeledahan dan penyitaan kayu illegal milik CV. Alko Timber Irian dan CV. Sorong Timber Irian dengan barang bukti 46 kontainer di Depo SPIL Teluk Bayur dengan jenis kayu olahan dan Depo Jatva 35 konteiner jenis kayu merbau oleh Tim Gakkum Kementrian LHK pada 2019.

Lory mengatakan bahwa proses penetapan Hanoch Budi Setiawan alias Ming Ho sebagai tersangka oleh Penyidik Gakkum Kementrian LHK Republik Indonesia bersama beberapa mitranya diharapkan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku bisnis sektor kehutanan secara illegal di wilayah Papua dan Papua Barat.

Regulasi Kehutanan ini seakan-akan hadir untuk pengusaha bukan untuk rakyat, Padahal negara ini hadir untuk rakyat ini yang harus dipahami oleh penegak hukum./Foto: Betahita.id

Lory menuturkan bahwa saat ini proses hukum terhadap tersangka Hanoch Budi Setiawan alias Ming Ho sedang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Sorong. Tersangka Hanock Budi Setiawan alias Ming Ho dijerat dengan pasal 87 Ayat 1 huruf a dan pasal 95 Ayat 1 huruf a serta pasal 86 ayat 1 Huruf a Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).

Sejak proses persidangan yang berjalan di Pengadilan Negeri Sorong dengan Nomor Perkara 134/PID.SUS/LH/2019/PN.Son pada tanggal 16 Mei 2019 dan diputus bersalah pada tanggal 23 Oktober 2019 dengan amar putusan melanggar pasal 87 ayat 1 huruf a undang-undang nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dengan hukuman penjara selama 5 Tahun, denda Rp 2,5 miliar subsider 3 bulan kurungan dan memerintahkan terdakwa tetap ditahan.

Senada dengan Lory, Refki Saputra, salah satu peneliti Direktorat Hukum Auriga Nusantara mengatakan pada intinya, kasus Ming Ho harus menjadi pembelajaran ke depan untuk kasus-kasus berikutnya. Aktor-aktor seperti Ming Ho harusnya dijerat dengan dakwaan mengorganisasikan pembalakan liar, bukan sekedar penerima kayu ilegal. "Selain itu, korporasi Ming Ho, Perusahaan Pelayaran serta perusahaan pembeli kayu ilegal juga harus diperiksa," ungkapnya.

Menurut dia, KLHK bisa mengambil langkah gugatan perdata kerusakan lingkungan untuk kasus ilegal logging seperti yang suudah dilakukan terhadap kasus PT Merbabu Pelalawan Lestari (PT. MPL). Pada 2007, PT MPL adalah satu dari 14 korporas dijadikan tersangka illegal logging oleh Polda Riau yang dipimpin Brigjen Sutjiptadi.

Korporasi tersebut: PT Mitra Kembang Selaras, PT Riau Andalan Pulp & Paper, PT Arara Abadi, PT Suntara Gajah Pati, PT Wana Rokan Bonai Perkasa, PT Anugerah Bumi Sentosa, PT Madukoro, PT Citra Sumber Sejahtera, PT. Bukit Betabuh Sei Indah, PT. Binda Duta Laksana, PT Rimba Mandau Lestari, PT Inhil Hutan Pratama, dan PT Nusa Prima Manunggal. Total nilai kerugian negara akibat illegal logging 14 korporasi mencapai lebih Rp 2 Ribu triliun.

Sepanjang 2007-2014 para tersangka divonis hakim hingga incraht. Dalam perkara korupsi PT MPL telah merugikan keuangan negara dari keuntungan menebang hutan alam senilai Rp 77 milyar. Total kerugian negara akibat tindakan kepala daerah dan kepala dinas yang menerbitkan IUPHHKHT/RTK untuk 20 korporasi berdasarkan putusan pengadilan mencapai lebih dari Rp 3 triliun. “Namun, korporasi hingga detik ini belum juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, padahal bukti sudah terang benderang,” kata Made Ali, kordinator Jikalahari dalam keterangan resminya 20 Desember 2019.

Refki menegaskan, penegak hukum sedapat mungkin memaksimalkan pasal-pasal yang memiliki hukuman tambahan seperti pidana pengganti dan sanksi administrasi pada Pasal 18 UU P3H, yang berbunyi Selain dikenai sanksi pidana, pelanggaran terhadap ketentuan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf e, dan Pasal 17 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi dikenai sanksi administratif berupa: paksaan pemerintah; uang paksa; dan pencabutan izin.

"Kemudian ketentuan mengenai mekanisme dan tata cara penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah," kata Refki. Sehingga penebangan kayu secara ilegal di Papua menurun.