Pakar LIPI: COVID-19 Bisa Berdampak Buruk pada Terumbu Karang

Penulis : Betahita.id

Konservasi

Jumat, 19 Juni 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Wabah COVID-19 yang melanda dunia memberikan kontribusi kerusakan terumbu karang berupa sampah plastik yang dibuang ke laut. “Data menunjukkan adanya kenaikan sampah plastik seiring dengan meningkatnya belanja online di masa pandemi,” ujar Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Haryono, 10 Juni 2020.

Menurut dia, sampah-sampah plastik tersebut tidak diolah dengan baik dan bermuara ke laut. “Hal ini tentunya dapat mencemari ekosistem laut,” katanya.

Pernyataan Agus sejalan dengan temuan di Prancis, yaitu banyaknya masker sekali pakai mengambang di permukaan laut serta sarung tangan lateks di dasar laut. Opération Mer Propre, sebuah organisasi nirlaba asal Prancis, menyuarakan isu ini sejak akhir bulan lalu. Organisasi ini secara teratur mengumpulkan di sampah di sepanjang Cote d'Azur, yang merupakan bagian dari pantai Mediterania Prancis, tempat mereka menemukan sampah medis tersebut.

Agus mengatakan, selain sampah plastik potensi pengrusakan terumbu karang di Indonesia juga ditimbulkan tekanan antropogenik dari  pembangunan di wilayah pesisir karena adanya tekanan kebutuhan lahan yang terbatas, reklamasi, penambangan pasir dan batu karang, dan pencemaran turut menambah resiko kerusakan biota laut.

Dok.The Ocean Agency

“Tantangan perubahan iklim juga mengancam keragaman hayati kita. Seperti pemanasan laut, pengasaman laut, dan kenaikan muka air laut, dimana ini  berdampak pada perekonomian masyarakat di pesisir,” tutur Agus seperti dikutip dari laman LIPI.

Wilayah laut Indonesia masuk dalam area Segitiga Karang Dunia, yaitu area dengan keanekaragaman biota laut, terutama karang, yang paling tinggi di dunia. Saat ini, terdapat 569 spesies dan 83 genus karang keras di Indonesia. Ini berarti, sekitar 69% spesies dan 76% genus karang dunia ada di Indonesia. 

“Sebaran karang paling tinggi berada di daerah timur seperti Maluku, Sulawesi dan Papua. Kemudian berkurang di daerah Jawa dan Sumatra,” ujar Agus.

Kekayaan hayati di Indonesia dipengaruhi adanya pertemua arus laut yang melewati pulau-pulau di Indonesia. Agus menyatakan, saat ini ancaman bagi biodiversitas laut kita adalah adanya praktek perikanan yang berlebihan (over-exploitation) dan penangkapan yang merusak (destrictive fishing). “Ada pula masalah penangkapan menggunakan bahan atau alat tangkap berbahaya seperti bom ikan, dan racun ikan sianida yang dapat merusak biota laut,” ujar Agus.

Untuk menjaganya, LIPI mengajak semua masyarakat, akademisi dan LSM untuk bersama sama melakukan edukasi  dan monitoring terhadap terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan ikan.

“COREMAP-CTI LIPI diharapkan dapat mengajak masyarakat untuk bergabung dengan LIPI dan berlatih bersama dalam monitoring hayati laut di seluruh Indonesia, sehingga kita dapat menjaga secara bersama-sama laut Indonesia,” katanya.