Greenpeace: Ekspansi Sawit Hancurkan Ruang Hidup di Papua

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Sawit

Kamis, 13 Agustus 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Ekspansi perkebunan sawit di Papua dan Papua Barat dianggap telah menimbulkan dampak negatif pada masyarakat. Hal tersebut terungkap dalam hasil Riset Aksi (Action Research) yang dilakukan Greenpeace Indonesia.

Sepanjang 2019, Greenpeace Indonesia telah melakukan penelitian di tiga lokasi yaitu Komunitas Suku Yeinan, Distrik Jagebob, Kabupaten Merauke, wilayah perizinan PT Central Cipta Murdaya Group. Kemudian di komunitas Suku Auyu, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel Papua, wilayah perizinan PT Megakarya Jaya Raya Pacific Interlink/Hayel Saed Anam (ex-Menara Group). Terakhir, di Komunitas Suku Mpur, di kampung Arumi, Distrik Kebar Timur, Kabupaten Tambrauw Papua Barat, wilayah perizinan Salim Group.

Peneliti Greenpeace, Eko Cahyono mengatakan, berdasarkan peneltian yang dilakukan tim peneliti Greenpeace Indonesia, melalui kombinasi metodologi riset akademik dan partisipatoris (academic cum participatory research). Tim menemukan bahwa ekspansi korporasi sawit di Papua dan Papua Barat berkelindan dengan setidaknya 4 modus koruptif.

Yang pertama, State capture corruption adalah modus korupsi dalam mekanisme pelayanan publik, pengadaan, pemberian izin yang dilakukan oleh oknum yang berkuasa di pemerintah. Caranya, korporasi sawit menggunakan kekuatan ekonomi politik mereka yang besar untuk mengarahkan dan mengintervensi kebijakan pemerintah tingkat pusat dan daerah untuk memuluskan perizinan dan mendapatkan privilese lainnya.

Tampak perkebunan sawit dan hutan yang dibelah oleh jalan./Foto: Greenpeace.

"Hasilnya, semua hal terkait operasi mereka tampak sah, tetapi hakikatnya tidak legitimate (pseudo legal)," kata Eko, Selasa (11/8/2020).

Modus kedua, manipulasi dan penipuan atas nama representasi kesepakatan suara masyarakat. Dalam upaya mengambil alih tanah adat, korporasi sawit sering kali hanya melibatkan elit adat yang ditunjuk secara sepihak, lalu memberikan label kepada elit adat sebagai representasi komunitas tersebut.

"Mereka mengabaikan dimensi etnografis dan keragaman kompleks di masing-masing komunitas adat."

Modus selanjutnya, tekanan yang kerap berujung pada tindak kekerasan (baik simbolik maupun fisik) menjadi modus berikutnya. Dalam beroperasi, korporasi sawit selalu melibatkan pihak keamanan (Polri/TNI). Tak hanya sebagai penjaga keamanan, aparat juga digunakan untuk mempermudah tujuan-tujuan tertentu sejak perizinan hingga pengembangan produksi.

Modus keempat, obral janji palsu. Eko menjelaskan, kerap terdengar cerita dan pengakuan dari komunitas adat di sekitar area korporasi sawit yang menyerahkan tanah adatnya karena janji-janji tertentu. Mulai berupa uang, jabatan tertentu, pekerjaan, hingga jalan-jalan ke Jawa.

"Selain itu, ada pula korporasi sawit yang pada awalnya berjanji tidak akan menguasai tanah itu selamanya dan menyatakan masih ada hak masyarakat untuk mengelola tanah adat. Pada praktiknya, janji tersebut hanya dipenuhi setengah hati, bahkan diingkari."

Peta lokasi tiga wilayah perizinan perkebunan sawit di Provinsi Papua dan Papua Barat./Sumber: Greenpeace Indonesia.

Dampak Multidimensi yang Negatif

Modus koruptif korporasi sawit tersebut pada akhirnya memberi dampak multidimensi yang negatif terhadap masyarakat adat. Hal tersebut tampak di tiga daerah tempat penelitian.

Suku Yeinan di Merauke mengalami kerusakan sistem tenurial adat yang sebelumnya menjadi penopang hidup masyarakat dengan alamnya. 'Tsunami uang' melanda dan warga yang terpengaruh membuat nilai dan makna totem yang sakral mulai tergerus. Padahal makna totem separuhnya adalah sejenis keyakinan atau agama mereka. Luntur dan rusaknya totem ini berakibat lebih jauh pada lunturnya kesakralan atas makna tanah dan alam mereka.

Meskipun ekspansi sawit belum sepenuhnya masuk ke wilayah adat Yeinan di Distrik Jagebob, namun tampak bukti potensi hancurnya ruang hidup masyarakat adat melalui rusak dan hilangnya kebun/kampung sagu dan tercemarnya sungai sakral rusaknya ekosistem hutan juga merusak tradisi, budaya, dan identitas keseluruhan dari Suku Yeinan.

"Para orang tua gelisah karena semakin sulit mentransformasikan nilai dan adat lokal mereka ke generasi berikutnya."

Di Lembah Kebar, Tambrauw, Papua Barat, lanjut Eko, Suku Mpur berkisah tentang mulai rusaknya lanskap ekologis savana yang khas dengan beragam biodiversitas lokalnya, setelah korporasi sawit dan jagung beroperasi. Burung Wesia dan Rumput Kebar, dua spesies endemik dan ternama itu, perlahan menghilang.

"Padahal warga telah lama menjalin hubungan yang intim dengan ruang hidup mereka tersebut."

Sementara di bantaran Sungai Digul, Suku Auyu mesti meratapi hancurnya sumber identitas mereka, Naso-Yoso (ekosistem dusun/kampung adat), dengan segenap ikatan kompleks sosial, ekonomi, dan ekologinya. Hilangnya Naso-Yoso, ekosistem hutan, dan tercemarnya sungai-sungai besar tempat kehidupan masyarakat adat memberi pengaruh kuat bagi runtuhnya ketahanan hidup yang selama ratusan tahun kokoh dimiliki Suku Auyu.

Masuknya korporasi sawit juga menjadi akar terciptanya konflik internal antar marga-marga di Suku Auyu yang sebelumnya rukun dan guyub. Politik adu domba dipakai oleh korporasi sawit memecah kesatuan Suku Auyu.

"Modus janji palsu, seperti telah diuraikan di atas, digunakan untuk memicu pertikaian masyarakat."

Walau demikian, masih ada sekelompok anggota Suku Yeinan, Mpur, dan Auyu yang terus berjuang melawan eksploitasi oleh korporasi sawit. Jaringan masyarakat sipil dan tokoh-tokoh gereja ikut membantu warga setempat melakukan perlawanan, meski bentuk perlawanan tersebut belum tampak kokoh.

"Contohnya adalah gerakan ‘salib merah’ suku Auyu sebagai simbol perlawanan adat dan agama menentang masuknya sawit dan perusakan ekosistem hutan adat."

Rekomendasi Greenpeace Indonesia

Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas menambahkan, temuan-temuan empirik di tiga komunitas adat tersebut menunjukkan bahwa ekspansi sawit tidak hanya berdampak terhadap sumber daya alam, tetapi juga pada tingkat mikro komunitas.

"Modus-modus koruptif telah membelah dan merusak harmoni kehidupan komunitas adat. Mulai dari hilang dan rusaknya totem, pangan, identitas, bahasa, tata ruang sakral, sumber air hingga budaya dan tradisi adat lokal mereka," kata Arie Rompas, Selasa (11/8/2020).

Hasil riset Greenpeace Indonesia ini, lanjut Arie, menegaskan limitasi pendekatan valuasi ekonomi klasik yang dominan dengan skema ganti rugi itu. Seolah dampak sawit semua bisa dikalkulasikan dengan ukuran kerugian nominal ekonomi tertentu, dan selesai dengan skema ekonomi ganti rugi.

"Bagaimana jika yang hilang adalah keyakinan, religi, teologi, identitas, bahasa, nilai kesakralan, totem, tradisi-adat-budaya lokal. Apakah selesai dengan skema ganti rugi? Tentu tidak."

Sebab, imbuh Arie, harus ditegaskan hubungan manusia dengan tanah air dan alamnya bukan semata hubungan ekonomistik. Tapi bersifat kompleks dan berlapis. sosial, ekonomi, politik, budaya, religio magis, ekologis, dan sebagainya.

"Berdasarkan penjelasan dan analisa di atas maka tim riset Greenpeace Indonesia memberikan sejumlah rekomendasi."

Secara garis besar, rekomendasi umum Greenpeace meliputi, koreksi paradigmatik kebijakan pembangunan di Papua dan Papua Barat, moratorium ekspansi sawit dan peninjauan izin, pencegahan dan penegakan hukum yang tegas terhadap korupsi sumber daya alam dan tanpa tebang pilih.

Kemudian, perombakan dan perbaikan tata kelola industri sawit termasuk di dalamnya integrasi hulu-hilir sawit, transparansi perizinan baik hak guna usaha (HGU) sawit, izin lokasi ataupun pelepasan kawasan hutan dan penerima manfaat perusahaan dan optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Berikutnya, mendorong korporasi sawit untuk mengadopsi dan mengimplementasikan kebijakan nol deforestasi, nol gambut, nol eksploitasi baik di level grup hingga ke level konsesi dan menjalankan kebijakan Reforma Agraria sejati untuk mengurangi ketimpangan penguasaan lahan dan kedaulatan pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat adat.

"Sedangkan rekomendasi khusus hasil riset ini antara lain, mempercepat pengakuan wilayah adat dan pemulihan hak masyarakat adat/lokal, penyelesaian kasus-kasus kekerasan dan konflik tenurial secara serius berbasis HAM, penguatan ekonomi dan pelestarian ekologis berbasis pengetahuan lokal, penguatan advokasi dan pendampingan masyarakat adat (suku-suku) berbasis HAM," kata Arie Rompas.