Sejumlah Bank Diduga Ikut Danai Perusahaan Pembakar Hutan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Karhutla

Kamis, 03 September 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Sejumlah lembaga jasa keuangan (LJK), termasuk bank, ditengarai ikut mendanai perusahaan yang terindikasi melakukan pembakaran hutan dan lahan. Beberapa di antaranya merupakan badan usaha milik negara (BUMN).

Data tersebut merupakan hasil penelitian Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, yang dipaparkan dalam diskusi virtual mengenai bank dan korporasi yang ikut mendorong terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla), Rabu (2/9/2020).

Temuan-temuan terbaru soal grup usaha dan pembiayaannya, mengungkap bahwa peristiwa karhutla tidak hanya sekedar persoalan teknis, melainkan terdapat kelindan kapital modal (pembiayaan) dan politik di dalamnya.

Berdasarkan pantauan TuK Indonesia, sejak 1 Januari hingga 14 Agustus 2020, tedapat 5.825 titik api berada di dalam konsesi hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan sawit. Ribuan titik api di konsesi tersebut paling banyak berada di Provinsi Riau, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.

Sebuah ekskavator sedang membuat kanal di salah satu wilayah terbakar di Provinsi Riau pada karhutla 2015. Foto: Ulet Ifansasti/Greenpeace Indonesia

TuK mencatat ada 20 grup perusahaan dengan titik api terbanyak. Berdasarkan data forestsandfinance.org, diketahui terdapat 14 grup perusahaan dengan titik api terbanyak yang mendapat kredit dari LJK sepanjang 2016 hingga April 2020.

Terdapat sejumlah bank yang menyediakan kredit kepada perusahaan yang terindikasi melakukan pembakaran hutan dan lahan dengan nilai pinjaman mulai USD1,365 juta

Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Edi Sutrisno mengatakan, sektor perbankan berperan besar dalam memicu kebakaran hutan lahan (karhutla) dan bencana asap di Indonesia.

Berdasarkan data yang dirilis forestsandfinance.org, bank-bank tersebut mendukung perusahaan yang gagal mengakhiri krisis karhutla di perkebunan kelapa sawit dan bubur kayu atau hutan tanaman industri (HTI) di Indonesia.

Edi melanjutkan, terdapat prinsip Know Your Customer, yang artinya setiap LJK harus mengetahui siapa yang mereka danai dan bagaimana rekam jejaknya. Di saat LJK tidak tahu apa yang dilakukan oleh kliennya, maka LJK sudah bertentangan dengan prisip tersebut.

Apabila terdapat LJK yang terbukti terlibat dalam kejahatan atau pelanggaran kliennya, Edi melanjutkan, maka Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus mengambil tindakan tegas dan nyata karena OJK mempunyai berbagai peraturan cukup baik mengenai keuangan berkelanjutan.

"Sudah saatnya memang OJK secara serius melakukan evaluasi dan perbaikan kinerja LJK. Khususnya LJK milik negara. Dalam kondisi saat ini, ada pihak yang ingin mengembalikan pengawasan perbankan ke BI (Bank Indonesia). Harusnya ini jadi cambuk bagi OJK untuk menunjukan bahwa OJK mampu dan serius melakukan pengawasan perbankan."