Pakar Hukum: Hutan Adat Tidak Harus Dilihat dari Legalitasnya

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Sabtu, 05 September 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Konflik masayarakat adat di Desa Kinipan, Kecamatan Batangkawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah dengan perusahaan perkebunan sawit PT Sawit Mandiri Lestari belakangan memicu perdebatan tentang ada tidaknya hutan adat di Kinipan tersebut. Sejumlah pihak menganggap hutan adat tidak harus selalu dipandang dari legalitas hukumnya saja, terlebih masyarakat adat sudah lebih dulu ada sebelum negara ada.

Pengamat Hukum dan Hak Asasi Manusia, Tomy Alfarizy berpendapat, ada satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengarahkan masyarakat memahami keberadaan masyarakat hukum adat dengan perspektif tunggal, yakni dari sisi legalitasnya saja. Padahal tidak harus demikian, karena dalam hukum dikenal adanya tiga cita hukum yang juga harus diperhatikan.

"Kalau kita belajar hukum, kita mengenal tiga hal cita hukum dalam penegakan hukum itu. Pertama kita memandang hukum sebagai alat untuk memberikan keadilan, yang kedua alat untuk memberikan kepastian dan ketiga alat untuk memberikan kemanfaatan," kata Tomy, Kamis (3/9/2020).

Tomy berpendapat, tidak tepat bila pemerintah memandang persoalan Kinipan hanya dalam perspektif legalitasnya saja. Karena ada kekosongan hukum terkait masyarakat hukum adat di Kalteng. Tidak ada satupun produk hukum tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat yang dibuat pemerintah untuk melegalisasi keberadaan masyarakat adat di Kalteng, termasuk bagi masyarakat adat Kinipan.

Sebagian lahan areal perkebunan kelapa sawit PT SML tampak sudah terbuka. Lahan tersebut diduga masuk habitat orangutan./Foto: Raden Betahita.id

"Lalu bagaimana bisa kita berbicara hukum, bagaimana kita berbicara kepastian? Saya memandang bahwa Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah ketika mereka berbicara legalitas, itu omong kosong saja. Sebab di sisi lain mereka membiarkan kekosongan hukum yang terjadi di Kalimantan Tengah. Ketika mereka berbicara kepastian hukum itu sama saja mereka menyampaikan suatu yang kosong."

Bicara tentang legalitas, menurut Tomy, hutan adat tidak harus dan tidak selalu dipandang secara hukum saja. Karena bicara tentang hutan adat, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengakui hutan adat. Pasal 3 UUPA adalah cerminan yang terkandung dalam Pasal 18b Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.

"Jadi turunannya di salah satu corak pengakuan hukum adatnya itu masuk ke dalam UUPA, diakuinya hutan adat, hak ulayat bagi masyarakat adat. Hanya saja selama ini belum jelas kelompok mana yang disebut masyarakat hukum adat. Sebab tidak ada regulasi khusus yang mengatur tentang masyarakat adat. Tapi intinya jika ditanya apakah hanya dipandang secara legalitas saja, tidak. Kita harus melihat di sana dari segi keadilan dan kemanfaatan."

Dari segi kemanfaatan, hutan Kinipan yang dianggap masyarakat setempat sebagai hutan adat, merupakan tempat berburu, berladang, mencari sandang, pangan dan papan yang diatur dengan hukum adat yang berlaku, dibabat untuk perkebunan sawit. Selain itu hutan tersebut merupakan wilayah penyangga terakhir di hulu Sungai Batang Kawa.

"Ketika korporasi masuk, 2 tahun terakhir itu berturut-turut terjadi banjir besar di wilayah Kinipan dan sekitarnya, yang itu tidak pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Artinya tidak ada dari segi kemanfaatan yang bisa masyarakat rasakan, malah dampak negatif yang luar biasa yang didapatkan, salah satunya banjir tadi."

Selain itu dari aspek keadilan, belakangan terjadi penangkapan sejumlah warga Kinipan oleh polisi. Yang terakhir Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Effendi Buhing. Dalam persoalan keadilan ini, seharusnya negara hadir memberikan pengakuan atau memberikan rasa keadilan di tengah masyarakat.

"Semakin pemerintah daerah atau pemerintah pusat bersuara bahwa di Kinipan itu tidak ada hutan adat, maka terlihat kepada siapa mereka berpihak. Tidak ada keberpihakan kepada masyarakat adat di Kinipan, tidak ada keberpihakan yang hadir untuk masyarakat Adat di Kinipan. Yang hadir hanyalah keberpihakan pada korporasi."

Masyarakat Adat Sudah Ada Sebelum Indonesia Ada

Sementara itu, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi mengatakan, masyarakat adat sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Leluhur masyarakat bahkan ikut berperang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Terkait penilaian Pemerintah Provinsi Kalteng, yang menyebut tidak ada hutan adat di Kinipan. Rukka mengatakan, cara pandang yang digunakan oleh Pemprov Kalteng adalah soal legalitas. Sementara legalitas hutan adat terkesan sengaja dibuat panjang, berbelit-beli dan penuh prasyarat.

"Keberadaan kami masyarakat adat beserta hak-hak kami tidak ditentukan oleh legalitas. Gubernur dan bupati itu orang Dayak. Pasti tahu sejarah Kinipan, bahwa Kinipan sudah ada sebelum negara ini ada."

Selain prasyarat, legalitas hutan adat yang diakui negara adalah pengakuan melalui peraturan daerah. Hal tersebut merupakan hal wajib yang harus diberikan atau dibuat pemerintah daerah. Dalam kasus Kinipan, alih-alih melaksanakan mandat tersebut, yang terjadi pemerintah malah menggunakan persoalan legalitas hukum sebagai alasan untuk menyangkal keberadaan masyarakat adat di Kinipan.

Persoalan lain, belum disahkannya rancangan undang-undang masyarakat adat juga mengakibatkan permasalahan atau konflik masyarakat adat yang terjadi, termasuk di Kinipan, tidak bisa diambil alih atau ditangani oleh pemerintah pusat. Sehingga yang tejadi masyarakat adat selalu dilempar ke sana sini ketika mencari keadilan dan mengadukan permasalahannya kepada pemerintah pusat.

"Kami sudah melakukan banyak hal untuk mempermudah (pengesahan RUU Masyarakat Adat). Kriminalisasi Pak Effendi ini hanya bagian kecil dari rangkaian proses perampasan wilayah adat."

Menurut Rukka, perlakuan buruk dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat tidak hanya terjadi di Kinipan saja. Hal itu adalah realitas yang dialami masyarakat adat di Indonesia sejak zaman orde baru sampai dengan sekarang.

"Kalau eskalasi perlawanan tak bisa lagi dibendung dengan berbagai cara maka mereka tak segan-segan menghilangkan nyawa para pejuang. Tidak hanya di tanah air tapi terjadi di seluruh dunia."

Belum Ada Penetapan Hutan Adat

Pemprov Kalteng, melalui Sekretaris Daerah Fahrizal Fitri dalam konferensi pers yang digelar pada Selasa (1/9/2020) di Palangka Raya menyatakan belum ada keputusan dari pemerintah maupun negara yang menetapkan hutan adat di Desa Kinipan.

Saat dihubungi, Fahrizal Fitri membenarkan pernyataannya tersebut. Menurutnya pernyataan itu didasari atas legalitas hukumnya. Karena hingga saat ini memang belum ada produk hukum dari pemerintah mengenai penetapan hutan adat dan juga masyarakat hukum adat di Kinipan.

"Saat ini belum ada (hutan adat di Kinipan). Memang pernah ada penyerahan usulan hutan adat Kinipan oleh AMAN tahun 2018, tapi itu peta indikatif. Tapi itu tidak serta merta bahwa usulannya akan diterima. Masalah isinya (usulan) kan harus dianalisis. Apalagi kalau di wilayah itu sudah ada hak perizinan yang diberikan," kata Fahrizal Fitri, Kamis (3/9/2020).

Fahrizal Fitri menjelaskan, berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruan/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, pelaksanaan pengakuan dan perlindungan kesatuan hak ulayat kesatuan masyarakat hukum adat tidak berlaku terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah.

"Atau yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Fahrizal Fitri menambahkan, usulan penetapan wilayah dan hutan adat Kinipan seharusnya diajukan kepada Pemerintah Kabupaten Lamandau. Karena usulan tersebut berada di wilayah kabupaten, maka hal itu menjadi kewenangan pemerintah kabupaten.

"Harusnya ke Kabupaten. Kalau wilayah yang diusulkan lintas kabupaten baru ke provinsi. Provinsi sendiri sudah membentuk tim verifikasi dan validasi usulan penetapan masyarakat hukum adat dan hutan adat. Kami tetap mendukung pembentukan masyarakat adat, tapi harus melalui mekanisme prosedur yang ditetapkan."

Pemprov Kalteng, kata Fahrizal, pada 31 Desember 2018 lalu juga sudah mengeluarkan Surat Gubernur Nomor 522/969/Dishut yang isinya meminta agar bupati dan walikota se-Kalteng segera menetapkan surat keputusan pembentukan pantia masyarakat hukum adat di wilayah masing-masing. Kemudian, terhadap usulan dari masyarakat adat dalam rangka penetapan dan pengakuan hukum adat dan hutan adat agar dapat diproses lebih lanjut.

Selain itu, Fahrizal Fitri juga mempertanyakan tentang kelembagaan masyarakat adat yang ada di Kinipan. Menurutnya kelembagaan masyarakat adat semestinya ditetapkan oleh pemerintah melalui lembaga adat yang sudah ditunjuk, dalam hal ini Dewan Adat Dayak (DAD). Keberadaan masyarakat hukum adat juga harus dibuktikan melalui hasil verifikasi dan validasi terhadap aspek-aspek dan kriteria yang berkenaan dengan masyarakat hukum adat.