Polisi Tangkap Nelayan dan Aktivis Penolak Tambang Pasir Laut

Penulis : Betahita.id

Lingkungan

Minggu, 13 September 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Polisi Air dan Udara Polda Sulawesi Selatan menangkap tujuh nelayan dari Pulau Kodingareng, Makassar, Sulawesi Selatan, karena menolak penambangan pasir laut.

Anggota LBH Makassar Edy Kurniawan mengatakan polisi menangkap nelayan ini setelah mereka berunjuk rasa menolak penambangan pasir di daerah Copong, Makassar, tempat mereka biasa mencari ikan. "Penangkapan ini diduga disertai kekerasan," kata Edy lewat keterangan tertulis, Sabtu, 12 September 2020.

Baca juga: Nelayan Kodingareng Tolak Penambangan Pasir Laut

Edy menceritakan peristiwa bermula saat kapal milik salah satu perusahan kembali menambang pasir pada Sabtu pukul 06.00 WITA di daerah tangkapan para nelayan.

Satu setengah jam kemudian, ratusan nelayan yang didominasi ibu-ibu bersama mahasiswa dan aktivis lingkungan bergerak ke lokasi untuk protes. Mereka menggunakan 48 perahu tradisional untuk tiba di lokasi penambangan pasir.

Sejumlah nelayan Kodingareng menarik salah satu kapal yang tenggelam akibat ketegangan dengan Polairud Polda Sulsel (Kabarmakassar.com)

Edy mengatakan para nelayan memang sudah sering memprotes penambangan pasir untuk membangun Makassar New Port ini. Nelayan menilai penambangan merusak habitat laut hingga menyebabkan mereka sulit mencari ikan.

Di lokasi itu, kata Edy, para demonstran menggelar aksi. Mereka berorasi ilmiah, membentangkan spanduk, dan mengelilingi kapal tambang dengan maksud menghentikan penambangan pasir laut. "Maka pada pukul 08.50, kapal milik perusahaan meninggalkan lokasi tambang," kata Edy.

Namun, pada pukul 09.40 WITA, dua perahu cepat milik Polisi Air dan Udara Polda Sulawesi Selatan menghadang para nelayan yang berniat pulang ke Pulau Kodingareng. Edy mengatakan polisi memepet dan menabrak perahu nelayan hingga penumpang di atas perahu nyaris terjungkal. Selain itu, stir perahu juga dirusak.

Edy mengatakan, polisi lalu menangkap 7 nelayan, 1 mahasiswa aktivis lingkungan, dan 3 jurnalis dari pers mahasiswa.

Satu nelayan mengalami kekerasan hingga berdarah di bagian wajah. Satu mahasiswa bernama Rahmat yang merekam penangkapan itu dengan ponselnya ikut ditangkap.

Edy mengatakan Rahmat dipukul di wajah dan badan, ditendang, serta diinjak lehernya. "Ponsel milik Rahmat yang dipakai merekam jatuh ke laut saat hendak disita oleh Polairud," kata dia.

Edy mengatakan 3 mahasiswa asal pers kampus ikut ditangkap meskipun sudah menunjukkan kartu identitas jurnalisnya. Ketiga anggota pers mahasiswa berasal dari Universitas Hasanuddin Makassar dan Mahasiswa Muslim Indonesia. "Polisi tak menghiraukan dan tetap menangkap mahasiswa tersebut," ujarnya.

Edy mengatakan ratusan nelayan sebenarnya ingin menyambangi kantor Polairud Polda Sulsel guna berunjuk rasa terhadap penangkapan. Akan tetapi, anak buah kapal tak bersedia mengangkut para nelayan. "Mereka tidak bersedia mengangkut para nelayan, karena mendapat  ancaman dari pihak Polairud. Jika nekat mengangkut akan ditangkap," kata dia.

Alasan Polisi

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan Komisaris Besar Ibrahim Tompo mengatakan, mereka ditangkap lantaran melempar bom molotov ke kapal pengeruk pasir laut 'Queen Off Netherland' untuk proyek Makassar New port.

"Ketika kapal datang, beberapa nelayan meminta mereka untuk menghentikan kegiatan dengan melemparkan batu dan bom molotov ke atas dek kapal, sehingga menimbulkan kebakaran," ujar Tompo saat dihubungi pada Ahad, 13 September 2020.

Selain itu, menurut Tompo, para nelayan tersebut juga memotong kabel listrik peneumatic, yang mengakibatkan kapal tidak bisa mengeruk.

Kepolisian yang mendapat laporan tersebut, bergerak ke lokasi pengerukan. "Tim intel menemui para demonstran yang sedang mengejar kapal Queen of netherlands, dan segera mengamankan beberapa orang yang diduga menjadi provokator dari aksi demonstrasi anarkis tersebut," ucap Tompo. Kesebelas orang tersebut pun dibawa ke Markas Komando Direktorat Polisi Perairan dan Udara untuk diperiksa.

TEMPO.CO | TERAS.ID