Pemberantasan Korupsi di Sektor Kehutanan, Pelajaran dari KPK (2)

Penulis : Sofie Arjon Schütte dan Laode M Syarif

Kolom

Rabu, 25 November 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Bagian kedua dari tiga tulisan.

Tujuan dan metodologi penelitian

Tujuan dari keseluruhan proyek ini adalah mengeksplorasi analisis sistematis dari berkas perkara dan putusan KPK sebagai pembelajaran untuk strategi penuntutan penindakan dan pencegahan korupsi oleh KPK. Edisi U4 ini direncanakan mengeksplorasi seberapa banyak analisis yang bisa dilakukan dari putusan saja. Draf awal studi telah disampaikan kepada KPK pada Oktober 2019; KPK berpartisipasi dalam diskusi mengenai latar belakang dan melakukan tinjauan menyeluruh dan pengecekan fakta, tetapi tidak ada wawancara formal atau analisis media sistematis yang dilakukan. Format dokumen putusan sangat membatasi analisis yang bisa dilakukan dalam lingkup proyek, karena pengkodean dan pengolahan data sangat memakan waktu.

Karena itu, ruang lingkup studi ini dibatasi pada analisis deskriptif, statistik tentang kesamaan dan perbedaan lokus delicti dan lokasi persidangan, serta jenis tuntutan pidana yang diajukan terhadap para terdakwa. Kami juga memeriksa profil para terdakwa, mencermati tidak diajukannya korporasi sebagai terdakwa, dan membahas lamanya investigasi, persidangan, dan upaya hukum banding sampai kasasi. Kami membandingkan hukuman (penjara, denda, restitusi, pengembalian aset) yang diminta jaksa KPK dengan hukuman yang dijatuhkan pengadilan.

Efektivitas keseluruhan dalam rantai peradilan pidana bergantung pada semua mata rantai: yaitu, penyelidikan dan penyidikan yang efektif diikuti penuntutan efektif, yang mengarah pada kasus-kasus kuat yang diputuskan oleh pengadilan yang efektif. Oleh karena itu, masuk akal untuk memperluas analisis ke seluruh proses peradilan pidana.948bd07e3f05 Namun demikian, studi ini hanya mengambil sekilas retrospektif dari sekumpulan data yang terbatas, yaitu putusan dalam satu set kasus berbeda. Studi ini tidak dapat mengevaluasi efektivitas KPK secara keseluruhan, atau efektivitas pengadilan antikorupsi atau aktor lain dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Evaluasi semacam itu akan membutuhkan pendekatan yang jauh lebih komprehensif.

Apa yang belum kami lakukan tetapi bisa dilakukan

Penambangan ilegal galian C di dalam kawasan Hutan Lindung Remu, Kota Sorong, Papua Barat, Kamis (24/09/2020).

Analisis putusan yang diberikan sistem pengadilan Indonesia menghadapi dua batasan utama: akses dan format. Meski sebagian besar putusan adalah dokumen publik, baru sejak 2007 Mahkamah Agung mempublikasikan putusannya secara daring melalui situs web khusus yang berafiliasi dengan Mahkamah Agung. Kompilasi tidak lengkap, hanya memuat sedikit putusan dari pengadilan yang lebih rendah. Sampai saat ini situs tersebut hanya bisa dicari menggunakan jenis pengadilan/yurisdiksi, nama terdakwa, nomor perkara tertentu, dan kata kunci. Sesaat sebelum artikel ini dipublikasikan, struktur website dirombak. Meski sekarang berisi fungsi pencarian yang jauh lebih kompleks, putusan kasus korupsi belum lengkap, dengan banyak putusan, terutama dari tingkat pertama dan pengadilan banding, tidak dimunculkan.

Keterbatasan lain yang kami hadapi saat mendapatkanputusan perkara yang didakwakan oleh KPK adalah hasil pindaian (scan)dokumen asli berupa file gambar dalam format PDF. Sebagai gambar, dokumen tidak dapat dicari secara digital. Format OCR (optical character recognition) akan memungkinkan peneliti menganalisis, misalnya, sejauh mana putusan pengadilan memasukkan dakwaan jaksa secara verbatim ke dalam alasan mereka, sesuatu yang menurut pengamat sering terjadi. Banyak putusan yang panjangnya beberapa ratus halaman; ukuran besar dokumen membuat transfer file dan bahkan mengungduhnya sangat memakan waktu, belum lagi beberapa halaman terbalik. Putusan di situs khusus Mahkamah Agung, per pertengahan 2020, ditampilkan dalam format yang bisa dicari.

Untuk menempatkan putusan 30 terdakwa ke dalam perspektif, akan berguna juga menerapkan jenis analisis yang sama untuk semua kasus KPK dan melihat apakah ada kekhususan dalam penuntutan kasus terkait kehutanan - meski seperti yang akan kita lihat nanti, kelemahan utama (kurangnya tanggung jawab perusahaan dan pemulihan kerusakan) tampaknya menjadi ciri kasus korupsi lintas sektor. Karena KPK berbagi yurisdiksi atas kasus korupsi dengan Kejaksaan Agung, kasus-kasus sektor kehutanan yang dituntut Kejaksaan Agung akan menjadi patokan, sepanjang tersedia data yang sama.

Untuk menilai efisiensi dan efektivitas proses penyidikan dan penuntutan, mungkin membandingkannya dengan Kejaksaan Agung, kami membutuhkan lebih banyak data primer dari lembaga penegak hukum, seperti jadwal penyidikan dan penuntutan, biaya kasus, serta komposisi dan jumlah tim investigasi dan penuntutan. Idealnya, data ini dilengkapi pemantauan percobaan sistematis oleh pengamat eksternal terlatih. Informasi semacam itu akan memungkinkan kami menilai kepatuhan terhadap proses hukum dan hak-hak para terdakwa, serta, yang terpenting, kapasitas penuntutan dan peradilan untuk secara ketat mengungkap kejahatan keuangan yang kompleks dan melawan pengaruh politik.

Ada banyak literatur dan program untuk mengevaluasi efektivitas yudisial. Secara umum, studi ini mencoba mengukur efisiensi, kemampuan menangani kasus secara tepat waktu tanpa penundaan yang tidak semestinya, serta kualitas, penerapan dan kepatuhan terhadap undang-undang dalam proses persidangan dan pengambilan keputusan. Informasi ini dipertimbangkan dalam konteks kapasitas yang tersedia dan tingkat sumber daya manusia, keuangan, dan teknis.

Seringkali, independensi dan ketidakberpihakan merupakan aspek integral dari penilaian kualitas, seperti ditunjukkan oleh tidak adanya pengaruh yang tidak semestinya pada keputusan pengadilan dan kejaksaan dan kepercayaan pada hakim dan jaksa. Para ahli yang sangat peduli dengan akuntabilitas dan transparansi juga dapat meninjau apakah mandat yudisial telah dijalankan dengan tingkat akses publik memadai ke informasi dan kepercayaan publik.

Analisis semacam itu, tentu saja, hanya mungkin dilakukan dengan ketersediaan (tepat waktu) dan aksesibilitas sumber data, dan karenanya paling mudah dilakukan bekerja sama dengan sistem peradilan itu sendiri. Analisis ini juga memberi manfaat dalam memberikan umpan balik singkat dan meningkatkan kemungkinan temuan dan hasil studi ditindaklanjuti dalam sistem peradilan. Namun, kami mencatat akses dan pertukaran bahkan informasi non-rahasia di dalam KPK saat ini tidak didukung infrastruktur pengetahuan yang memadai dan kurang terintegrasi ke berbagai bidang.

Sistem pengadilan Indonesia dan putusannya

Kekuasaan kehakiman dalam sistem peradilan Indonesia dibagi antara, di satu sisi, Mahkamah Konstitusi, dan di sisi lain, Mahkamah Agung dan empat cabang di bawahnya: peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan agama, dan pengadilan militer. Pengadilan umum tingkat pertama berlokasi di kabupaten dan kota di Indonesia, dan pengadilan banding umum (pengadilan tinggi) berada di ibu kota provinsi. Sejak 2011, pengadilan khusus antikorupsi ditempatkan di pengadilan negeri8bdce6db2d38 dan pengadilan tinggi di 34 ibu kota provinsi Indonesia. Permohonan kasasi diajukan ke hakim khusus antikorupsi di ke Mahkamah Agung dan disidangkan oleh hakim anti-korupsi di Jakarta

Mahkamah Agung juga dapat melakukan peninjauan kembali (PK) jika ditemukan bukti baru yang membenarkan memenuhi syarat untuk sidang baru. PK dapat dilakukan jika fakta atau situasi yang ditetapkan dalam satu putusan bertentangan dengan aspek kasus lain, atau jika ada kekhilafan atau kesalahan yang nyata dalam keputusan sidang.Peninjauan kembali terjadi pada kasus pengusaha Kwee Cahyadi Kumala alias Swie Teng, yang terlibat dalam kasus di Jawa Barat yang dibahas di bawah ini. Setelah hukuman pertama, daripada naik banding, ia meminta dan menerima peninjauan kasus; akibatnya hukumannya dikurangi setengahnya, dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun, oleh Mahkamah Agung. Berdasarkan putusan, tidak jelas apakah hal tersebut berdasarkan bukti baru, kontradiksi dengan kasus lain, atau jelas-jelas kesalahan pada putusan tingkat pertama.

Putusan pidana di Indonesia biasanya berisi nama pengadilan, nomor putusan, data biografi dan tempat tinggal terdakwa, waktu (jika ada) yang dihabiskan dalam penahanan pra-sidang, dan nama-nama individu yang mengajukan pembelaan. Dalam kebanyakan putusan, hal ini diikuti dengan dakwaan terhadap terdakwa; daftar bukti, termasuk dalam beberapa kasus; ringkasan dari kesaksian di pengadilan; putusan, termasuk alasannya, meski dengan kedalaman bervariasi dalam putusan yang diselidiki pada studi ini; dan hukuman (waktu penjara, denda, restitusi jika ada, aset yang disita).

Ringkasan kasus sektor kehutanan yang didakwa KPK

Antara 2004 dan 2016, KPK mengajukan dakwaan korupsi terhadap kepada lebih dari 400 terdakwa, setidaknya 30 di antaranya didakwa melakukan korupsi terkait sektor kehutanan. Meski kasus-kasus dari sektor pertambangan juga dapat mempengaruhi kehutanan – misalnya, penerbitan izin pertambangan yang tidak sah dapat menyebabkan kerusakan hutan – tapi kami fokus pada kasus-kasus yang melibatkan penerbitan izin sektor kehutanan yang tidak sah. Modus operandinya secara umum sama: pejabat pemerintah dan perusahaan swasta berkolusi dalam penerbitan izin ilegal yang melanggar aturan dan ketentuan yang ada, mengakibatkan penebangan hutan (dengan kualitas bervariasi). Berdasarkan putusan yang dikaji dalam studi ini, tidak selalu jelas siapa yang memulai kesepakatan korup tersebut, tetapi semua pihak yang terlibat diuntungkan dari perbuatan tersebut.

Pejabat pemerintah dan perusahaan swasta berkolusi dalam penerbitan izin kehutanan ilegal

Semua kasus menghasilkan vonis bersalah. Kasus pertama memperoleh putusan akhir pada 2008, dan terakhir pada 2016. Pada 2017-2018, KPK berhasil mengejar 202 terdakwa tambahan, namun hanya satu kasus yang secara tidak langsung terkait dengan sektor kehutanan: Nur Alam. Kasus terakhir ini tidak dimasukkan dalam analisis komparatif artikel ini karena termasuk kasus pertambangan dan sedang ditinjau Mahkamah Agung pada saat penulisan. Secara singkat dibahas dalam Kotak 1 di bawah ini.

KPK menghitung perkara berdasarkan terdakwa, meski tuduhan korupsi jarang dijatuhkan kepada satu orang saja. Kasus-kasus berskala besar yang ditangani KPK seringkali mengungkap jaringan korup yang luas dengan banyak pemain dan perantara. Tidak semua pemain dikenai tuntutan, tetapi biasanya ada beberapa kasus, atau beberapa terdakwa dalam kasus lebih besar, terkait dengan jaringan korupsi yang sama. Meski demikian, para terdakwa dituntut dan dicatat KPK secara terpisah, seringkali dengan tim penyidik ​​dan jaksa berbeda. Di antara 30 terdakwa, hanya tiga yang diadili dalam sidang yang sama, yakni Azwar Chesputra, Hilman Indra, dan HM Fachri Andi Leluasa, ketiganya anggota DPR.

Dalam laporan tahunan KPK, kasus-kasus didaftar berdasarkan nama terdakwa, dan dalam situs web Anti-Corruption Clearing House dan deskripsi kasus juga disajikan sesuai menurut nama terdakwa. Hingga saat ini, kasus hanya dapat dicari sesuai nama terdakwa atau tahun dan tidak bisa dengan variabel lain (misalnya: jenis pelanggaran atau sektor).

Untuk tulisan ini, kami telah mengelompokkan para terdakwa yang bersekongkol dalam tindak pidana korupsi dengan melakukan transaksi satu sama lain, baik secara langsung maupun melalui perantara. Karena semua kasus melibatkan pemerintah daerah dan totalnya hanya enam, kami merujuknya berdasarkan provinsi, misalnya Kalimantan Timur. Dalam ringkasan kasus berikut ini, para terdakwa, posisi mereka pada saat melakukan tindak pidana korupsi, dan hukuman mereka dicantumkan terlebih dahulu, diikuti catatan singkat kasus tersebut. Informasi tersebut sebagian besar diambil dari situs web Anti-Corruption Clearing House, yang memiliki ringkasan kasus beberapa terdakwa, dan dari laporan berita.

Kalimantan Timur

Tahun pelanggaran: 2000
Tahun putusan akhir untuk SA Fatah: 2007

  • Suwarna Abdul Fatah, gubernur Kalimantan Timur; 4 tahun penjara
  • Martias alias Pung Kian Hwa, direktur utama PT Surya Dumai Industri; 1,5 tahun penjara
  • Uuh Aliyudin, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur); 4 tahun penjara
  • Robian, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur; 4 tahun penjara

Gubernur Provinsi Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah mencanangkan proyek pembangunan 1 juta hektar kebun sawit di Paser Utara, Berau, Kalimantan Timur. Sebagai bagian dari proyek ini, ia mengeluarkan rekomendasi Izin Pemanfaatan Kayu untuk kawasan hutan lebih dari 200.000 hektar yang diberikan ke 11 perusahaan di bawah PT Surya Dumai Group yang dimiliki Martias alias Pung Kian Hwa. Gubernur mengabaikan proses yang tepat dan secara lisan memerintahkan Robian, kepala Dinas Kehutanan, Kalimantan Timur, dan Uuh Aliyudin, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur, untuk menerbitkan izin pemanfaatan kayu meski perusahaan tersebut belum memenuhi semua persyaratan untuk izin tersebut. Persyaratan yang belum dipenuhi adalah dokumentasi batas perkebunan, Izin Usaha Perkebunan, studi kelayakan untuk perkebunan, dan jaminan bank untuk pajak berdasarkan volume penebangan kayu (Provisi Sumber Daya Hutan). Suwarna kemudian memberi perusahaan-perusahaan di bawah Grup Surya Dumai persetujuan pembukaan lahan dan pemanfaatan kayu, sebuah kewenangan yang sebenarnya tidak dia miliki, karena saat itu kewenangan tersebut berada di bawah Kementerian Kehutanan.

Secara total, 697.260 meter kubik kayu ditebang dan dijual. Hanya sebagian kecil dari tanah yang akhirnya digunakan untuk perkebunan sawit karena tanah tersebut tidak sesuai untuk tujuan tersebut. Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), total kerugian negara mencapai Rp 346,82 miliar berdasarkan harga standar kayu tersebut. Mahkamah Agung memerintahkan pengembalian uang tersebut dari Martias kepada negara.

Riau 1: Kabupaten Pelalawan dan Siak

Tahun pelanggaran: 2001–2007
Tahun putusan akhir untuk Rusli Zainal: 2014

  • Rusli Zainal, Gubernur Riau (2003–2008, 2008–2013); 14 tahun penjara
  • Tengku Azmun Jaafar, Bupati Pelalawan; 11 tahun penjara
  • Syuhada Tasman, mantan kepala Dinas Kehutanan Riau; 5 tahun penjara
  • Burhanuddin Husin, mantan kepala Dinas Kehutanan Riau (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau); 6 tahun penjara
  • Asral Rachman, mantan Kepala Dinas Kehutanan Riau; 5 tahun penjara
  • Arwin AS, Bupati Siak; 5 tahun penjara

Tengku Azmun Jaafar, Bupati Pelalawan di Provinsi Riau, memerintahkan berturut-turut Kepala Dinas Kehutanan di Riau menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tanaman kepada sejumlah perusahaan swasta. Beberapa dari perusahaan ini didirikan Jaafar sendiri atau oleh anggota keluarga dan atau stafnya.Lahan yang dimiliki semua perusahaan ini mengandung kawasan hutan dengan kepadatan tinggi yang tidak memenuhi standar Kementerian Kehutanan untuk dikonversi. Perusahaan tersebut kemudian dijual dengan izin Jafaar kepada PT Riau Andalan Pulp and Paper, anak perusahaan Asia Pacific Resources International Holdings, dan ke PT Indah Kiat Pulp and Paper di bawah Sinar Mas Group.

Tengku Azmun Jaafar memperoleh sekitar Rp 12,2 miliar dari skema ini, sedangkan saudaranya Lukman memperoleh Rp 8,25 miliar, dan Syuhada Tasman mendapat Rp 800 juta. Asral Rachman menerima Rp 1,5 miliar yang tidak hanya berasal dari kasus Pelalawan tetapi juga dari kasus Siak.

KPK juga menuntut Arwin AS, Bupati Siak, karena menyalahgunakan kekuasaannya sehingga merugikan negara dalam skema serupa. Arwin AS memerintahkan Asral Rachman, kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Siak, memproses permintaan lima perusahaan  mendapatkan Izin Pengusahaan Hutan Komersial. Asral Rachman hanya memeriksa areal yang diminta PT Rimba Mandau Lestari dan PT Bina Daya Bintara untuk memastikan areal tersebut memang kawasan hutan alam. Dia tidak mensurvei tiga perusahaan lainnya: PT Balai Kayang Mandiri, PT Seraya Sumber Lestari, dan PT National Timber and Forest Product. Perusahaan-perusahaan itu menyuap Arwin AS Rp 850 juta dan Asral Rachman Rp 894 juta. Menurut Koalisi Anti Mafia Hutan,  negara mengalami kerugian finansial lebih dari Rp 301 miliar dari kayu yang dijual kelima perusahaan. Gubernur Riau Rusli Zainal mengambil bagian dalam kedua skema tersebut dengan memberikan izin kerja tahunan bagi perusahaan yang memperoleh konsesi. KPK juga menuntut Rusli Zainal atas keterlibatannya dalam korupsi proyek Pekan Olahraga Nasional.

Riau 2: Kabupaten Bintan

Tahun pelanggaran: 2006
Tahun putusan akhir untuk AA Nasution: 2009

  • Al Amien Nasution, anggota DPR; 8 tahun penjara
  • Azwar Chesputra, anggota DPR; 5 tahun penjara
  • Hilman Indra, anggota DPR; 5 tahun penjara
  • HM Fachri Andi Leluasa; anggota DPR; 5 tahun penjara
  • Sarjan Tahir, anggota DPR; 4,5 tahun penjara
  • Yusuf Erwin Faishal, anggota DPR; 4,5 tahun penjara
  • Azirwan, Sekretaris Daerah Bintan; 2,5 tahun penjara
  • Chandra Antonio Tan, direktur utama PT Chandratex Indo Artha; 3 tahun penjara

Pada April 2008, KPK menangkap anggota DPR Al Amien Nasution dan Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan Azirwan, dalam sebuah operasi tangkap tangan. Azirwan menyuap Al Amien agar mendapat persetujuan DPR   menyulap hutan lindung di Pulau Bintan menjadi ibu kota baru Kabupaten Bintan. Investigasi selanjutnya mengarah pada tindakan suap anggota parlemen dari Komisi IV DPR. Sarjan Tahir, anggota DPR dari Sumatera Selatan, setuju mendukung pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dalam upayanya mengubah kawasan hutan lindung menjadi pelabuhan. Sarjan Tahir, Ketua Komisi IV Yusuf Erwin Faishal, Azwar Chesputra, HM Fachri Andi Leluasa, Hilman Indra, dan Al Amien Nasution semuanya menerima suap dari Sofyan Rebuin, Direktur Pelabuhan Tanjung Api-Api, Sumatera Selatan, dan Chandra Antonio Tan, Direktur PT Chandratex Indo Artha, selaku investor pembangunan pelabuhan Tanjung Api-Api. PT Chandratex Indo Artha juga menjadi kontraktor untuk pembangunan jalan dari Palembang ke pelabuhan Tanjung Api-Api. Pada tahun 2006, Chandra Tan berjanji akan membayar total Rp 5 miliar ke Sarjan Taher dan anggota parlemen lainnya untuk mendapatkan persetujuan DPR untuk mengonversi hutan lindung di Tanjung Pantai Air Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, untuk diubah menjadi kawasan pelabuhan.

Sulawesi Tengah: Kabupaten Buol

Tahun pelanggaran: 1999–2012
Tahun putusan akhir untuk AA Batalipu: 2013

  • Amran Abdulah Batalipu, Bupati Buol; 7,5 tahun penjara
  • Gondo Sudjono, manajer operasi PT Hardaya Inti Plantations; 2,5 tahun penjara
  • Siti Hartati Murdaya, direktur utama PT Hardaya Inti Plantations dan PT Cipta Cakra Murdaya; 2,67 tahun penjara
  • Totok Lestiyo, direktur PT Hardaya Inti Plantations; 2 tahun penjara
  • Yani Ansori, manajer umum yang mendukung PT Hardaya Inti Plantations dan kepala kantor PT Hardaya Sulawesi Tengah; 2,5 tahun penjara

Siti Hartati Murdaya adalah seorang taipan dan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, partai politik berkuasa yang didirikan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada saat melakukan pelanggaran. Sebagai pemilik PT Cipta Cakra Murdaya dan Berca Group, ia telah memperoleh izin lokasi untuk areal seluas 75.000 hektar untuk perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah, namun ia hanya memegang hak guna usaha sebesar 22.780 hektar. Siti Hartati Murdaya ingin mengeksploitasi 33.083 hektar lagi. Namun pada 1999, Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengeluarkan peraturan yang membatasi perkebunan kelapa sawit maksimal seluas 20.000 hektar per perusahaan di satu provinsi.

Padahal, PT Cipta Cakra Murdaya telah menggunakan 4.500 hektar untuk perkebunan sawit di bawah anak perusahaannya, PT Sebuku Inti Plantation, dan pada 2011 Siti Hartati Murdaya terlambat menyerahkan dokumen hak eksploitasi atas 4.500 hektar yang sedang digarap. Hingga 2012, Amran Batalipu, Bupati Buol, belum mengeluarkan rekomendasi yang memungkinkan hal itu terjadi. Antara April dan Juni 2012, Siti Hartati Murdaya mengundang Amran Batalipu untuk bertemu di Jakarta dan berjanji akan memberinya Rp 3 miliar untuk mengeluarkan izin yang diinginkannya. Ini termasuk tidak hanya hak eksploitasi untuk PT Sebuku Inti Plantation, tetapi juga izin perkebunan dan hak eksploitasi untuk perusahaannya yang lain, PT Hartati Inti Plantation, untuk menghindari batasan 20.000 hektar kepemilikan tanah oleh satu perusahaan di satu provinsi. Siti Hartati Murdaya memerintahkan jajarannya, termasuk Totok Lestiyo, Direktur PT Hartati Inti Plantation, serta Gondo Sudjono dan Yani Ansori, menyuap Amran Batalipu senilai total Rp 3 miliar. Pada Juli 2012, KPK menangkap Totok Lestiyo, Yani Ansori, dan Amran Batalipu di Buol saat menyerahkan uang.

Jawa Barat

Tahun pelanggaran: 2009–2013
Tahun putusan akhir untuk KC Kumala: 2016

  • Rachmat Yasin, Bupati Bogor; 5,5 tahun penjara
  • FX Yohan Yap alias Yohan, staf PT Bukit Jonggol Asri; 5 tahun penjara
  • Kwee Cahyadi Kumala alias Swie Teng, presiden direktur PT Bukit Jonggol Asri dan direktur utama PT Sentul City; 2,5 tahun penjara
  • M. Zairin, kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Bogor; 4 tahun penjara

Pada 14 Mei 2014, KPK menangkap FX Yohan Yap dan M. Zairin dalam sebuah operasi tangkap tangan. Yohan Yap adalah karyawan PT Bukit Jonggol Asri (PT BJA), pengembang properti raksasa, dan M. Zairin adalah kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. KPK saat itu menyita Rp 1,5 miliar sebagai bagian dari total suap Rp 5 miliar. Penyelidikan lebih lanjut oleh KPK mengungkap, uang tersebut berasal dari pemilik PT BJA, Kwee Cahyadi Kumala, dan diperuntukkan bagi Bupati Bogor Rachmat Yasin untuk mendanai kampanyenya pada Pilkada Kabupaten Bogor 2013.

PT BJA menyuap Rachmat Yasin untuk mendapatkan rekomendasi mengubah kawasan hutan yang ditunjuk seluas 2.754 hektar di Kabupaten Bogor menjadi pembangunan perumahan bernama Kota Satelit Jonggol City. Alih fungsi lahan adalah kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, namun untuk mengkonversi kawasan hutan perusahaan harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari Bupati, dalam hal ini Bogor.

Namun Rachmat Yasin telah memberikan sebagian kawasan hutan tersebut kepada PT Indocement Tunggal Prakarsa dan PT Semindo Resources untuk dijadikan pabrik semen. FX Yohan Yap, karyawan PT BJA, telah menyerahkan pembayaran pertama sebesar Rp1 miliar dan pembayaran kedua sebesar Rp2 miliar sebagai bagian dari total suap yang dijanjikan sebesar Rp5 miliar. Setelah menerima uang dari PT BJA, Rachmat Yasin memerintahkan M. Zairin, Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan, mengajukan usulan konversi ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Rachmat Yasin mengeluarkan rekomendasi tersebut meskipun dia tahu konversi tersebut akan tumpang tindih dengan Izin Usaha Pertambangan yang sudah ada.

Riau 3: Kabupaten Kuantan Singingi dan Rokan Hilir

Tahun pelanggaran: 2014
Tahun putusan akhir untuk Annas Maamun: 2016

  • Annas Maamun, gubernur Riau (2014-2019; namun dijebloskan ke penjara pada 2016); 7 tahun penjara
  • Rusli Zainal, Gubernur Riau (2003–2008, 2008–2013); 14 tahun penjara (termasuk untuk kasus Pelalawan yang dijelaskan di atas)
  • Gulat Medali Emas Manurung, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, Provinsi Riau; 3 tahun penjara
  • Edison Marudut Marsada Uli Siahaan, presiden direktur PT Citra Hokiana; 3 tahun penjara

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dalam kunjungannya ke Provinsi Riau pada Agustus 2014 menyampaikan kebijakannya tentang perubahan kawasan hutan menjadi kawasan non hutan. Memanfaatkan peluang tersebut, Gulat Manurung, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Riau, mendekati Gubernur Riau, Annas Maamun, berupaya mengubah perkebunan sawit miliknya yang masih resmi kawasan hutan menjadi kawasan non hutan. Perkebunan Gulat Manurung berlokasi di Kabupaten Kuantan Singingi (1.188 hektar) dan Kabupaten Rokan Hilir (1.214 hektar), keduanya berada di dalam Provinsi Riau tetapi di luar wilayah yang diusulkan untuk dikonversi oleh Menteri Zulkifli Hasan.

Di Jakarta, Gubernur Annas Maamun meminta total Rp 2,9 miliar dari Gulat Manurung dan pengusaha lainnya, Edison Marudut, meminta untuk melanjutkan konversi. Gubernur Annas ingin berbagi uang dengan DPR untuk menyetujui konversi hutan. Pada September 2014, KPK menangkap Annas Maamun di rumahnya di Jakarta setelah menerima pembayaran suap dari Gulat Manurung dan Edison Marudut.

Baca juga tulisan (1) dan (3)

catatan redaksi

Artikel asli dimuat di U4 Anti-Corruption Recorce Center dengan judul Pemberantasan Korupsi di Sektor Kehutanan, Pelajaran dari Kasus KPK

Penulis: 
1.Sofie Arjon Schütte
SENIOR ADVISER U4

2. Laode M. Syarif
MANTAN KOMISIONER KPK