JATAM: 45 Konflik Tambang 2020, 714 Ribu Ha Lingkungan Rusak

Penulis : Betahita.id

Tambang

Senin, 25 Januari 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional mencatat ada 45 konflik tambang yang terjadi di sepanjang 2020, yang menyebabkan kerusakan lingkungan 714.692 Ha.

Menurut Muh Jamil dari Divisi Hukum JATAM Nasional, jumlah konflik itu meningkat drastis dibanding 2019. "Ada 11 konflik di 2019, maka saat ini terjadi lonjakan peningkatan konflik nyaris lima kali lipat," ujar dia dalam diskusi daring pada Ahad, 24 Januari 2021.

Baca juga DPR: 17 Juta Hektare Hutan Dijarah, Jadi Kebun dan Tambang Ilegal

Jamil merinci, 45 konflik pertambangan itu terdiri dari kasus pencemaran lingkungan (22 kasus), perampasan lahan (13 kasus), kriminalisasi warga penolak tambang (8 kasus), dan pemutusan hubungan kerja (2 kasus).

Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK menutup lubang tambang emas ilegal di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone seluas 1,15 hektare, Selasa, 12 Oktober 2020. Foto: Istimewa

JATAM juga menemukan, hingga 2020, ada 3.092 lubang tambang yang dibiarkan. "Tidak ada proses reklamasi atau pemulihan, perbaikan," kata Jamil.

Sebaran ribuan lubang tambang itu ada di Aceh (6), Riau (19), Sumatera Barat (22), Bengkulu (54), Lampung (9), Jambi (59), Sumatera Selatan (163), Banten (2), Kalimatan Selatan (814), Kalimatan Utara (44), Kalimantan Timur (1.735), dan Sulawesi Selatan (2).

Lubang tambang yang menganga ini kemudian menciptakan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Bahkan, kata Jamil, sampai menimbulkan kematian. Tercatat, 24 orang meninggal lantaran jatuh ke dalam lubang. "Mayoritas anak-anak. Ada yang terbakar karena di dalam lubang itu masih ada batu baranya. Tapi tak ada penegakan hukum atas seluruh kejadian itu," ucap Jamil.

Masalah tambang lain

Selain lubang bekas tambang, di industri pertambangan masih ada masalah lain yang juga perlu diperhatikan, yakni limbah.

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif mengakui masih banyak masalah terkait dengan isu lingkungan yang dihadapi saat ini, seperti limbah B3, slag nikel, slag tembaga yang sampai sekarang belum tuntas penanganannya.

"Mengenai hukum lingkungan, masih banyak problem di pertambangan. Masih ada masalah limbah B3, slag nikel, tembaga yang belum tuntas," katanya dalam acara 'Indonesia Mining Outlook 2021' melalui YouTube Tambang TV, Selasa (15/12/2020).

Menurutnya, kemampuan dalam menyelesaikan masalah limbah menjadi salah satu penentu keberhasilan pembangunan smelter. Dia menyebutkan isu penanganan limbah yang masih dibahas seperti bagaimana membuang limbah dari proses smelter High Pressure Acid Leaching (HPAL) dari bahan baku nikel ke bawah laut, kemudian limbah dari abu pembakaran batu bara, slag nikel, dan juga slag tembaga.

"Walau sudah koordinasi, ini jadi salah satu penentu keberhasilan, seperti bagaimana membuang limbah dari proses HPAL dari nikel ke bawah laut. Limbah B3 abu batu bara bagaimana, slag nikel, tembaga bagaimana ini, ini masih banyak hal menjadi perhatian kita bersama," katanya seperti dikutip CNBC Indonesia.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, aspek lingkungan dan kaidah internasional untuk diperhatikan dalam pemanfaatan slag. Slag itu diuji sebelum dimanfaatkan untuk perusahaan dan pemerintah.

"Vale, IMIP (Indonesia Morowali Industrial Park) yang di Morowali, Pomala Antam. (Nanti dituangkan dalam) Peraturan Menteri LHK untuk tata cara uji karakteristik pengecualian slag nikel," ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian (27/9/2019).

Rosa mengatakan, pemerintah akan melakukan serangkaian uji untuk memastikan limbah yang dipakai nantinya tidak beracun, tidak mudah terbakar dan tidak korosif. Selanjutnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan memberi akreditasi jika suatu limbah layak untuk digunakan.

TEMPO | TERAS