KPA: Validasi Sertipikat Tanah Elektronik Perparah Konflik

Penulis : Sandy Indra Pratama

Agraria

Kamis, 04 Februari 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan proses validasi sertipikat tanah elektronik berpotensi memperparah konflik agraria.

"Proses semacam ini berpotensi memperparah konflik agraria, mengukuhkan ketimpangan dan monopoli tanah oleh badan usaha swasta dan negara," kata Dewi dalam keterangannya, Kamis (4/2/2021).

Dewi menjelaskan, dari sisi proses, implementasi digitalisasi sertipikat tanah akan dimulai dari tanah pemerintah, kemudian badan usaha yang akan ditarik, lalu divalidasi dan disimpan dalam sistem file elektronik dan bisa dicetak di mana saja oleh pemilik saat dibutuhkan.

Menurut Dewi, titik kritis dari proses semacam ini menimbulkan pertanyaan. Misalnya, bagaimana validasi tersebut dilakukan. "Apakah secara sepihak oleh BPN dan pemohon institusi pemerintah serta badan usaha? Bagaimana posisi masyarakat dalam validasi tersebut, sebab tanah-tanah yang sudah bersertfikat tersebut banyak yang bermasalah," katanya.

Seorang anggota Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyegel area konsesi PT Kumai Sentosa di Desa Sungai Cabang, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, 2019. Foto: KLHK

Jika tidak sesuai ukuran, tumpang tindih, dan sedang bersengketa di pengadilan, sementara sistem antar instansi seperti pengadilan belum terhubung. Dewi mengatakan, proses ini juga rentan bagi rakyat.

"Banyak sertifikat badan usaha merupakan wilayah-wilayah konflik agraria struktural dengan rakyat, yang seharusnya justru dituntaskan lebih dahulu konfliknya, dilepaskan dari klaim pemerintah dan badan usaha," kata dia.

Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil sebelumnya menerbitkan Peraturan Menteri tentang Sertipikat Tanah Elektronik. Rencana peraturan ini akan menarik semua sertipikat asli dan digantikan sertipikat elektronik.

Penjelasan soal maraknya konflik Agraria rupanya dicatat detil oleh KPA. Dalam kurun waktu Maret hingga April tahun lalu saja, menurut KPA ada sembilan peristiwa penggusuran dan kriminalisasi.

"Penggusuran, penanganan represif, intimidasi, ancaman, dan kriminalisasi terhadap masyarakat di perdesaan masih berjalan di tengah situasi pandemi Covid-19," kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika melalui keterangan tertulis, April lalu.

Kasus-kasus penggusuran dan kriminalisasi ini terjadi di pelbagai daerah, dari Sumatera Utara hingga Sulawesi Selatan. KPA pun menilai praktik-praktik tersebut kian mengancam keselamatan masyarakat dan kedaulatan pangan Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19.

TEMPO|TERAS