Greenpeace: Gambut Kritis Gara-gara Sawit

Penulis : Kennial Laia

Gambut

Kamis, 01 April 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Greenpeace Indonesia meminta pemerintah untuk segera melakukan review perizinan kehutanan dan perkebunan sawit yang berada dalam area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). Hal itu untuk mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut dan mitigasi kebakaran hutan dan lahan berulang di Indonesia. 

Penelitian terbaru lembaga tersebut, hampir sepertiga dari KHG di tujuh provinsi prioritas restorasi gambut dalam level kritis akibat alih fungsi lahan untuk hutan tanaman industri atau HTI dan perkebunan sawit skala besar. 

Menurut Juru Kampanye Greenpeace Indonesia Rusmadya Maharuddin, kerja restorasi tidak akan akan efektif selama pemerintah memberi izin perkebunan dan HTI di lahan gambut. Pasalnya, pembukaan lahan lahan dan pengeringan di zona gambut budidaya berdampak langsung pada zona gambut fungsi lindung di KHG yang sama. 

“Semua hal ini akan menyebabkan KHG menjadi rentan terbakar di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Maka pemerintah perlu segera melakukan review perizinan yang menyebabkan tumpang tindih dengan Kesatuan Hidrologi Gambut,” kata Rusmadya dalam keterangan tertulis, Rabu, 31 Maret 2021. 

Ilustrasi kebakaran hutan dan lahan di lahan gambut. Foto: Greenpeace Indonesia

Greenpeace mencatat, sekitar 936.000 hektare lahan terbakar di dalam wilayah KHG pada 2016-2019 saat program restorasi gambut sedang berjalan. Walau pembangunan infrastruktur pembasahan gambut ditujukan mencegah kebakaran, empat wilayah KHG di Kalimantan Tengah masih terbakar seluas 165.000 hektar pada 2019. 

Kebakaran besar juga terjadi di 220 dari 520 KHG yang wilayahnya terdapat konsesi kelapa sawit dan HTI. Sebaliknya, kasus karhutla lebih sedikit muncul pada wilayah yang tidak ada izin-izin konsesi dan kanal drainase, kata lembaga tersebut. 

Menurut Greenpeace Indonesia, KGH tidak boleh diganggu karena perannya sebagai penjaga keseimbangan dan tinggi muka air dalam satu kesatuan hidrologi gambut. Kubah gambut menyimpan air yang membasahi area kering dan lahan rendah ketika musim kemarau, yang membantu menurunkan risiko kebakaran menjalar ke lanskap gambut yang lebih luas. 

Bila salah satu bagian KHG dikeringkan untuk perkebunan dan tanaman industri, fungsi penyimpanan air otomatis terganggu. Hal ini berpotensi mempengaruhi tinggi muka air di bagian KHG yang lebih tinggi, seperti kubah gambut.

“Perlindungan dan restorasi ekosistem gambut tidak bisa dilakukan secara parsial, setelah lima tahun upaya ini tidak efektif dan gagal. Tidak ada pilihan lain kesatuan hidrologi gambut harus dilindungi secara menyeluruh,” tegas Rusmadya. 

Pada 2014, Presiden Joko Widodo melarang adanya usaha di lahan gambut dan mengembalikan fungsi lahan-lahan gambut. Namun, komitmen perlindungan gambut secara menyeluruh itu kontradiktif dengan kebijakan yang diterbitkan pemerintah. 

Salah satu peraturan itu dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan lewat Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut. 

Menurut Greenpeace, peraturan ini membatasi perlindungan gambut hanya pada area gambut paling dalam dan puncak kubah gambut. Aturan lain, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 yang membagi fungsi gambut menjadi fungsi lindung dan budidaya juga dianggap tidak berpihak pada kerja restorasi gambut. 

Pada 2020, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020.  Menurut Rusmadya, aturan tersebut menghapus prinsip tanggung jawab sehingga membatasi tanggung jawab perusahaan terkait kebakaran hutan dan lahan. 

“Pemerintah secara sistematis telah melemahkan ekosistem gambut dengan menerbitkan sejumlah aturan dan dikotomi fungsi gambut demi mengakomodasi kepentingan bisnis, pengusaha atau industri semata,” terang Rusmadya. 

“Sulit menemukan persamaan antara janji Presiden Jokowi dengan kebijakan dan aturan yang diterbitkan. Perlindungan gambut Indonesia masih sebatas ala kadarnya atau business as usual,” pungkas Rusmadya.