Aksi Mahasiswa: Papua Sedang Tidak Baik-baik Saja

Penulis : Tim Betahita

Freeport

Kamis, 08 April 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Sedikitnya 30 mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua berunjukrasa di depan Gedung Sate, Bandung, Rabu, 7 April 2021. Peserta aksi menuntut penutupan PT Freeport seiring beroperasinya perusahaan tambang tersebut selama 54 tahun sejak 1967.

Peserta aksi berjalan kaki dari asrama mahasiswa Papua di Jalan Cilaki menuju ke Gedung Sate sembari membentangkan spanduk bertuliskan ‘Tutup PT Freeport Indonesia. Laksanakan Referendum!’.

Peserta aksi lainnya membawa poster berisi desakan para mahasiswa atas kondisi yang berkembang di Papua seperti “Tolak Otsus Jilid II”, “Tarik Militer dari Tanah Nduga”, “Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi West Papua”, dan “Berikan Kebebasan Jurnalis di West Papua”.

Juru bicara aksi, Papuano menuding keberadaan dan operasional Freeport lebih banyak memberikan dampak negatif bagi masyarakat Papua.

Puluhan peserta aksi yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua berunjukrasa di depan Gedung Sate, Bandung, Rabu, 7 April 2021. Pengunjukrasa menuntut penutupan perusahaan tambang PT Freeport McMoran menutup operasinya yang sudah berlangsung sejak 1967. [Adi Marsiela-Tim Betahita]

“Freeport ini jadi dalang berbagai kejahatan hak asasi manusia, kolonialisme di Papua,” ujar Papuano tegas.

Latarbelakang kerjasama Pemerintah Indonesia dengan perusahaan yang berinduk di Amerika Serikat, jadi perhatian para peserta aksi. Kerjasama itu dibalut dalam Undang-Undang Penanaman Modal Asing no 1 tahun 1967 d bawah Presiden Suharto.

(Baca juga: Deforestasi Papua: Saatnya Adat Digusur Kota)

Pakos, mahasiswa yang berasal dari Lembah Baliem menuturkan, penandatanganan kontrak karya di tanah Papua itu berlangsung pada 1967 tanpa melibatkan masyarakat Papua. “Pendekatan pengamanan di sana juga menggunakan cara militer,” kata Pakos.

Peserta aksi juga menyuarakan perusakan lingkungan yang terjadi seiring operasional Freeport. Papuano menuturkan, pembuangan pasir limbah tailing mengakibatkan kerusakan ekosistem di Sungai Ajikwa dan Agawagon. Dampaknya, masyarakat suku Kamoro dalam lingkungan mereka di pesisir pantai maupun daratan bahkan mematikan hutan-hutan yang subur.

“Perusahaan terus beroperasi tanpa memperbaiki kondisi tempat atau kepentingan rakyat setempat, kecuali Freeport Mc Moran tutup,” ujar Papuano.

Mahasiswa yang memilih program studi teknik sipil di salah satu universitas swasta ini berharap, mahasiswa asal Papua lain bisa ikut bersuara mengenai kondisi yang terjadi di tanah leluhur mereka. “Papua sedang tidak baik-baik saja,” ujar Papuano.

Dia merujuk pada keterbatasan masyarakat untuk menyuarakan pendapat dan ekspresinya terkait pelanggaran hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, hingga pembatasan akses jurnalis internasional meliput di Papua. “Jangan pasif,” katanya tegas.

Juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, Yusuf menyatakan dirinya berempati dan mau ikut bersuara soal Papua karena ada masalah kemanusiaan di sana. “Kami malu atas perbuataan pemerintah Indonesia sehingga kami bersolidaritas,” kata Yusuf.

Dia juga menyoroti keberadaan Freeport di Papua adalah bentuk nyata penjajahan Indonesia atas masyarakat Papua. Kehadiran Indonesia di Papua, ungkap Yusuf, bukan karena alasan perasaan senasib dijajah Belanda. “Freeport jelas motif masuknya Indonesia di atas tanah Papua,” kata Yusuf.

Pada sisi lain, Yusuf mengkritik sikap pemerintah Indonesia yang mengutuk kudeta militer di Myanmar namun tidak berbuat apa-apa atas kejadian di Papua.

(Baca juga: Mendedah Angka Deforestasi Tanah Papua)