Tolak Penanaman Eukaliptus, Warga Adat Natumingka Alami Kekerasan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Kamis, 20 Mei 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sejumlah warga Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba dilaporkan mengalami luka serius. Luka-luka tersebut konon didapat akibat bentrok dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang memaksa melakukan penanaman eukaliptus di wilayah adat Huta Natumingka, Selasa (18/5/2021) siang lalu.

Berdasarkan kronologi kejadian yang disusun oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, bentrok ini dipicu oleh adanya upaya PT TPL melakukan penanaman eukaliptus di wilayah adat Natumingka di Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, dengan didampingi oleh personel kepolisian dan aparat TNI. Upaya tersebut mendapat penolakan dari masyarakat adat Natumingka.

Masyarakat adat Huta Natumingka melakukan penutupan jalan akses masuk ke wilayah adatnya. Namun pihak TPL yang disebut mengerahkan sekitar 400 karyawan dan petugas keamanan, berbekal tongkat kayu dan batu, dengan membawa puluhan truk yang berisi bibit eukaliptus siap tanam, tetap berkeras untuk melalukan aktivitas penanaman.

Aparat polisi dan pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Balige sempat membujuk warga agar pihak PT TPL dapat melakukan penanaman bibit eucalyptus. Namun puluhan warga yang ada di lokasi tetap tidak memperbolehkan PT TPL untuk melakukan penanaman.

Upaya PT TPL melakukan penanaman eukaliptus di wilayah adat Huta Natumingka di Kabupaten Toba berujung bentrok, Selasa (18/5/2021)./Foto: AMAN Tano Batak

Alhasil ketegangan antara kedua belah pihak itupun akhirnya pecah. Ratusan karyawan PT TPL itu kemudian memaksa menerobos barikade yang dibentuk masyarakat adat dan melakukan pelemparan tongkat kayu dan batu yang sebelumnya disiapkan ke arah warga.

"Oleh security PT TPL memberi aba-aba kepada seluruh karyawan yang masing-masing sudah memegang kayu dan batu untuk menerobos blokade barisan warga. Kemudian oleh karyawan PT TPL melempari warga dengan batu dan kayu. Warga pun berlarian menghindari lemparan batu dan kayu," kata Hengky Manalu dari AMAN Tano Batak.

Hengky melanjutkan, akibat kejadian itu, puluhan warga mengalami luka akibat tindakan kekerasan oleh pihak PT TPL. 5 warga Natumikka dibawa ke Puskesmas Borbor untuk mendapatkan perawatan akibat luka serius yang dialami.

Menurut Hengky, masyarakat adat Natumingka sudah ratusan tahun menguasai dan mengelola wilayah adat titipan leluhurnya tersebut. Akan tetapi tanpa sepengetahuan dan persetujuan masyarakat adat, wilayah adatnya diklaim sebagai hutan negara.

"Kemudian dilanjutkan dengan klaim sepihak bahwa sebahagian besar wilayah adat Natumingka diklaim sebagai konsesi PT TPL. Oleh masyarakat adat Natumingka tidak terima wilayah adatnya diklaim sebagai hutan negara dan konsesi PT TPL."

Berdasarkan informasi yang dihimpun, salah satu korban bernama Jusman Simanjuntak yang mengalami luka serius di bagian kepala akibat terkena lemparan batu disebut merupakan keluarga Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.

Menurut adat batak, Jusman masih terhitung sebagai besannya Luhut Binsar Pandjaitan. Yang mana Jusman merupakan adik kandung dari Kenan Simanjuntak yang merupakan mertua dari putra Luhut Binsar Pandjaitan.

Kekerasan terhadap masyarakat adat Natumingka ini memancing reaksi publik. Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Delima Silalahi dalam akun Facebooknya mengatakan, menyikapi tindakan PT TPL yang semakin arogan dan brutal terhadap komunitas-komunitas masyarakat adat di Tano Batak maka KSPPM, AMAN Tano Batak, Perhimpunan Bantuan Hukum & Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), Jaringan Advokasi Sumatera Utara dan jaringan lainnya telah membentuk Aliansi Tutup PT TPL di Tano Batak.

"Dalam dua bulan terakhir kita selalu dipertontonkan oleh tindakan-tindakan pelanggaran HAM dan pelecehan terhadap budaya dan masyarakat adat di Tano Batak, seperti di Desa Parbulu Kecamatan Parmaksian, Dusun Onan Harbangan-Nagasaribu dan terakhir Selasa, 18 Mei 2021 terhadap masyarakat adat Natumingka. Kita jangan diam lagi. Mari bersatu menyelamatkan Tano Batak dari kehancuran. Aliansi telah membentuk dua posko Gerakan Bersama Tutup TPL di Tano Batak di Porsea dan Balige," kata Delima Silalahi melalui Facebooknya, Rabu (19/5/2021).

Masyarakat Adat Huta Natumingka juga Mengalami Kriminalisasi

Selain aksi kekerasan yang terjadi pada Selasa kemarin. PT TPL sebelumnya juga dituding melakukan kriminalisasi kepada masyarakat adat Natumingka. 3 warga Natumingka dilaporkan dan telah ditetapkan oleh Kepolisian Resor Toba sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana perusakan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 170 KUHP, yang terjadi pada tanggal 24 Oktober.

Agustin Simamora, dari Biro Advokasi AMAN Tano Batak menjelaskan, tiga anggota masyarakat adat Huta Natumingka yang dikriminalisasi tersebut yakni Anggiat Simanjuntak, Pirman Simanjuntak dan Risna Sitohang. Menurut Agus, tindak pidana yang dilaporkan cukup janggal, melakukan perusakan.

"Pelaporan dan pengusutan perusakan tersebut diduga dilakukan sebagai upaya untuk meredam aktivitas ketiga orang tersebut dalam hal mempertahankan wilayah adatnya yang dipandang menganggu kepentingan pengusaha," kata Agus, Rabu (19/5/2021).

Agus melanjutkan, ada ketidakwajaran proses penanganan perkara. Pertama adanya diskriminasi dalam penangangan perkara maupun keberpihakan yang berlebihan atau tidak wajar kepada pelapor. Kedua, pasal-pasal pidana yang digunakan juga ia anggap berlebihan, atau tidak tepat dengan peristiwa yang digambarkan. Terutama pasal-pasal yang dapat dikenakan penahanan.

"Ketiga, proses penanganan perkara yang tidak sesuai hukum acara dan administrasi perkara yang buruk. Kemudian adanya kesengajaan untuk tidak mempercepat penanganan perkara."

Wilayah adat Huta Natumingka, Agus menguraikan, baik pemukiman dan tanah pertaniannya, diklaim oleh PT TPL sebagai konsesi. PT TPL berdalih bahwa penanaman eukaliptus dilakukan dalam areal kerja dan sah, karena telah mangantongi IUPHHK-HTdari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui SK.307/Menlhk/Setjen/HPL.0/72020.

Namun terbitnya izin tersebut, dinilai cacat hukum, karna tidak adanya partisipasi masyarakat sebagai pemilik wilayah adat. Surat Keputusan KLHK itu juga mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum terhadap wilayah adat masyarakat Huta Natumingka, yang berdasarkan pemeteaan partisipatif yang dilakukan AMAN bersama masyarakat luasnya sekitar 2409,71 hektare, serta abainya negara atas hak masyarakat terhadap tanahnya sendiri