Negara Kaya Gagal Penuhi Janji Atasi Krisis Iklim

Penulis : Tim Betahita

Lingkungan

Kamis, 03 Juni 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Negara-negara kaya dinyatakan gagal memenuhi janji mereka untuk membantu negara miskin dalam mengatasi krisis iklim. Pernyataan itu dikeluarkan oleh lembaga riset sosial Care Denmark dalam kajian terbarunya jelang pertemuan para menteri keuangan negara-negara industri G7.

Dalam laporan berjudul Hollow Commitments, Care menerangkan sebuah analisis dari rencana pendanaan iklim negara-negara maju di dunia. Dalam risetnya, lembaga riset itu menemukan bahwa sebagian besar negara G7 masih belum membuat komitmen baru pada pendanaan iklim. Padahal pada 2009, ada komitmen dari negara-negara maju untuk menyediakan segudang dana senilai $100 miliar (£ 70bn) per tahun untuk membantu negara berkembang pada 2020.

Pendanaan iklim digunakan oleh negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka, misalnya melalui investasi dalam pembangkitan energi bersih, dan untuk beradaptasi dengan dampak cuaca ekstrem seperti banjir dan kekeringan. “Baru Inggris dan Amerika Serikat, dua negara G7 yang telah mengajukan proposal untuk meingkatkan pendanaan iklim. Itu pun baru beberapa bulan terakhir,” ujar Care dalam laporannya.

Pekan depan, rencananya Konferensi Tingkat Tinggi G7 akan berlangsung di Cornwall, Inggris. Mulai dari tanggal 11 hingga 13 Juni. Di sana para menteri keuangan negara anggota G7 akan membahas krisis iklim, dan cara-cara untuk memberi akses negara-negara miskin mendapatkan vaksin Covid-19

Ilustrasi perubahan iklim. (Sandy Indra Pratama| Betahita)

Pesan paling kuat terhadap negara-negara G7 dari para aktivis adalah perlu keseriusan yang tinggi dari negara maju untuk meningkatkan pendanaan iklim,. Sebab, apabila tidak segera dilakukan negara-negara miskin akan menjadi rentan terhadap bencana karena cuaca ekstrem, dan bergantung pada investasi bahan bakar fosil yang ditawarkan oleh negara-negara termasuk Rusia, Cina, dan negara-negara kaya minyak lainnya.

Brandon Wu, direktur kebijakan dan kampanye untuk ActionAid USA, meminta negara yang berkala ekonomi besar di dunia seperti Amerika Serikat hendaknya menyediakan lebih banyak bantuan dan pendanaan terkait pencegahan krisis iklim. “Rencana pembiayaan iklim dan permintaan anggaran yang kami lihat dari pemerintahan [Biden] hingga saat ini jauh dari apa yang dibutuhkan,” katanya.

Jan Kowalzig, penasihat kebijakan senior tentang perubahan iklim di Oxfam Jerman, mendesak kanselir Jerman, Angela Merkel, untuk memberi contoh. “KTT G7 adalah kesempatan terakhir Merkel untuk menggandakan pendanaan iklim tahunan Jerman antara sekarang dan 2025, mengalokasikan 50% untuk adaptasi. Jika tidak, Jerman harus menanggung kegagalan kolektif negara-negara maju untuk memenuhi $100 miliar.”

Pemerintah Inggris juga menghadapi kritik tajam atas keputusan pemangkasan bantuan pembangunan luar negeri dari 0,7% dari PDB menjadi 0,5% dari PDB. Catherine Pettengell, Direktur Jaringan Aksi Iklim Inggris, meminta pemerintah untuk mengubah sikapnya terhadap pemotongan bantuan.

“Sebagai tuan rumah G7 dan Cop26, Inggris memiliki tanggung jawab untuk memastikan G7 memberikan tindakan keuangan iklim yang mendesak, adil dan adil bagi negara-negara yang paling tidak bertanggung jawab menyebabkan darurat iklim,” katanya. “Ini harus berarti kesepakatan bersama oleh negara-negara G7 untuk meningkatkan pendanaan iklim, terutama pendanaan berbasis hibah untuk adaptasi.”