HARI LINGKUNGAN DUNIA: Hutan Menipis Kocek Negara Kempis

Penulis : Sandy Indra Pratama

Hutan

Senin, 07 Juni 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pada tulisan sebelumnya, terbukti dari data, pandemi Covid-19 ternyata tak berlaku untuk ekspolitasi hutan Indonesia. Volume ekspor Indonesia untuk produk hasil hutan beserta turunannya malah meningkat.

Terdapat lima produk hasil hutan yang angkanya justru meningkat dari tahun sebelumnya. Nyaris tak ada pembatasan bahkan pengurangan.

Jumlah ekspor hasil hutan Indonesia tertinggi 2020 yakni berupa bubur kertas. Diikuti dengan produk kertas, kayu panel, furniture dan wood working.

Namun pertanyaannya apakah laju ekspor Indonesia sebanding dengan pendapatannya? Sejatiya harus. namun apakah data menunjukkan sedemikian?

Terlihat dari ketinggian hutan alam skala besar dibuka di areal hutan tanaman industri PT RAPP Sungai Kampar, Mei 2021 lalu./Foto: Eyes on the Forest

Data hasil olahan Direktorat Hutan Yayasan Auriga Nusantara membuktikan ternyata tak sebegitunya. Peningkatan ekspor pulp dan kertas pada 2020 ternyata tidak dibarengi dengan pertambahanp endapatan negara.

Pada tahun pandemi menggila, ekspor pulp dan kertas meningkat, masing-masing 1 juta ton dan 475 ribu ton, namun pendapatan dari kertas hanya USD 3.5 juta dan USD 2,5 juta dari produk pulp.

Produksi kertas pada 2019 dibandingkan tahun 2020 mengalami kenaikan 10 persen, namun pendapatan mengalami penurunan 8,8 persen. Sedangkan produksi pulp mengalami peningkatan 20 persen, namun pendapatannya malah mengalami penurunan 8,9%.

Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan. Dari riset yang dilakukan faktor penurunan pedapatan dipengaruhi dari turunnya harga kertas dan pulp. Sementara penurunan harga dipengaruhi oleh berubah drastisnya pola konsumsi masyarakat global terhadap kertas.

“Beralihnya konsumsi masyarakat dari kertas ke digital membuat harga kertas dan pulp tertekan,” ujar Supin Yohar, Direktur Hutan Yayasan kepada betahita. “Ditambah lagi masa pandemi yang membuat harga semakin tertekan.”

Data ini berarti, kata Supin, semakin tidak lagi relevannya eksploitasi hutan demi pendapatan negara. Sebab secara data jumlahnya terus menurun. Terlebih pada masa pandemi.

Alih-alih mencari sumber pendapatan lain yang lebih ramah lingkungan dan merehabilitasi kerusakan hutan, lanjut Supin, para penikmat “uang hutan” terus membuka lahan-lahan garapannya. “Angka luasan hutan Alam Indonesia terus menyusut pula,” ujarnya. “Peningkatan volume ekspor hasil hutan hanya menyenangkan segelintir pihak saja.”

Sebenarnya kondisi yang terjadi merupakan fenomena yang mengkhawatirkan. (Baca juga: HARI LINGKUNGAN HIDUP: Tak Ada Istilah Pandemi bagi Hutan Indonesia)

Apa pasalnya? Industri ekspolitasi lahan seperti industri kayu yang mengekploitasi hutan -dalam arti yang luas baik itu hutan alam maupun hutan industri- justru memicu banyak masalah.

“Masalahnya terbukti telah memicu konflik lahan hingga kerusakan hutan,” ujarnya.

Kasus terakhir terjadi di sekitaran area konsesi perusahaan raksasa pengekspor kayu, PT Toba Pulp Lestari. Konflik yang terjadi di Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatera Utara dilatarbelakangi oleh klaim lahan antara perusahaan dengan masyarakat adat.

Jadi apakah angka ekspor lima produk turunan industri lahan dan hutan perlu dibanggakan oleh Indonesia? Hutan menipis, Kocek Indonesia tetap kempis.


Tulisan ini merupakan tulisan kedua dalam seri HARI LINGKUNGAN HIDUP DUNIA 2021.