FSC Putuskan Hubungannya dengan Korindo Group

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Sabtu, 17 Juli 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Forest Stewardship Council (FSC), lembaga sertifikasi kehutanan berkelanjutan dunia, memutuskan hubungannya dengan Korindo Group, dengan mencabut lisensi Keberlanjutan pada merek dagang Korindo dengan FSC. Penghentian kerja sama FSC dan Korindo ini akan mulai berlaku pada 16 Oktober 2021 mendatang dan sejak itu Korindo Group dilarang lagi menggunakan label FSC di tiap produk-produknya. Keputusan FSC tersebut diumumkan pada Rabu (14/7/2021) kemarin.

Dalam pengumumannya FSC menjelaskan, sebelum Dewan Direksi FSC memutuskan penghentian kerja sama ini, Korindo tengah bekerja untuk mencapai perbaikan sosial dan lingkungan yang signifikan sebagaimana diuraikan dalam serangkaian kondisi awal yang ditetapkan oleh FSC pada 2019 lalu. Dewan meminta untuk menerima pembaruan kemajuan untuk memastikan bahwa proses yang kredibel, terikat waktu dan diverifikasi secara independen, dan bahwa kemajuan yang terlihat telah dibuat terhadap komitmen.

Namun, FSC dan Korindo tidak dapat menyepakati prosedur untuk melakukan verifikasi independen atas kemajuan, dan ini menyebabkan keterlambatan kemampuan FSC untuk memverifikasi dan melaporkan kemajuan Korindo terhadap kondisi ini.

"Sudah menjadi situasi yang tidak dapat dipertahankan bagi FSC bahwa kami tidak dapat memverifikasi peningkatan kinerja sosial dan lingkungan Korindo terhadap kondisi awal yang disepakati. Inilah mengapa Dewan memutuskan untuk memisahkan diri," ujar Kim Carstensen, Direktur Jenderal Internasional FSC dalam pernyataan tertulisnya, Rabu (14/7/2021).

Tampak dari ketinggian kondisi hutan yang dibabat untuk pembangunan perkebunan sawit di Papua./Foto: Yayasan Pusaka

"Kami percaya ini akan memberi kami kejelasan dan angin segar sementara Korindo melanjutkan upayanya untuk meningkatkan kinerja sosial dan lingkungan," imbuh Kim Carstensen.

FSC mengakui komitmen yang dilakukan Korindo pada tahun lalu untuk memenuhi kondisi awal yang ditetapkan oleh FSC untuk memastikan peningkatan manfaat hutan di mana mereka beroperasi dan bagi masyarakat yang bergantung padanya.

Alasan Pemutusan Hubungan FSC dan Korindo

Dalam kasus Korindo, investigasi awal FSC, termasuk kunjungan lapangan di Indonesia, di mana panel pengaduan mewawancarai pemangku kepentingan di Jakarta dan Papua dan mengunjungi operasi Korindo, serta masyarakat sekitar di Papua. Investigasi ini menegaskan bahwa Korindo telah mengkonversi hutan untuk membangun perkebunan kelapa sawit di Indonesia, berdampak pada hutan bernilai konservasi tinggi dan berkontribusi terhadap kerusakan, dan potensi kehancuran nilai konservasi tinggi. Selain itu, penyelidikan menemukan bahwa praktik persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC) Korindo tidak selaras dengan persyaratan FPIC yang tinggi yang dituntut oleh FSC.

Setelah investigasi, FSC meminta untuk dilakukan analisis sekunder. Hal tersebut dikarenakan penyelidikan awal yang dilakukan tidak mampu memberikan analisis mendalam terkait dugaan pelanggaran hak adat dan hak asasi manusia serta perusakan kawasan bernilai konservasi tinggi dalam operasi kehutanan. FSC menyimpulkan bahwa analisis tambahan, dengan fokus pada potensi dampak lingkungan dan sosial, akan diperlukan untuk mendukung keputusan atas kasus tersebut.

Analisis lingkungan tambahan mendukung kesimpulan bahwa perubahan penggunaan dan konversi lahan oleh Korindo telah menyebabkan perusakan kawasan bernilai konservasi tinggi, yang dijalankan oleh anak perusahaan Korindo, PT Papua Agro Lestari dan PT Gelora Mandiri Membangun. Analisis sosial tambahan mendukung kesimpulan bahwa telah terjadi pelanggaran hak tradisional, adat, dan hak asasi manusia, dengan masyarakat yang terkena dampak menderita kerugian yang cukup besar.

Hasil investigasi yang dilakukan FSC ini pernah memicu reaksi keras dari Korindo. Pada 2019 Korindo diketahui mencancam akan mengambil tindakan hukum terhadap FSC, dengan menerbitkan surat sebagai tanggapan atas temuan investigasi. Namun surat tersebut sama sekali tidak mengubah pendekatan FSC dalam kasus Korindo.

"Korindo mengancam tindakan hukum terhadap FSC jika mempublikasikan laporan investigasi karena tidak setuju dengan metodologi yang digunakan dan beberapa kesimpulan. Tetapi ini tidak menjadi faktor penentu dalam keputusan FSC," kata Hartono.

Kala itu FSC bisa saja mengambil tindakan tegas terhadap Korindo berdasarkan kesimpulan investigasi (seperti melanjutkan ke disasosiasi). Namun, FSC menetapkan bahwa komitmen yang jelas yang diungkapkan oleh Korindo pada serangkaian tindakan untuk perbaikan dan pemulihan adalah cara terbaik dan paling konstruktif ke depan untuk memberikan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat yang terkena dampak.

Berdasarkan hasil, FSC memberlakukan persyaratan perbaikan dan perbaikan pada Korindo dan menerima laporan kemajuan yang harus divalidasi oleh verifikator pihak ketiga yang independen. Korindo diharuskan memenuhi beberapa persyaratan yang ditetapkan oleh FSC untuk mengatasi kinerja masa lalu yang tidak memadai dalam bisnis kelapa sawit mereka, dan untuk menentukan bahwa tidak ada lagi kegiatan yang tidak pantas yang terjadi dalam operasi Korindo.

Pada November 2019, FSC menetapkan beberapa syarat kondisi bagi Korindo untuk mempertahankan status keanggotaannya di FSC, yakni:

  1. Menerapkan moratorium pembukaan lahan yang berlaku di seluruh operasi dan komoditas di Indonesia.
  2. Menahan diri dari segala kegiatan di kawasan bernilai konservasi tinggi atau kawasan dengan stok karbon tinggi.
  3. Secara bertahap mengurangi dan menghentikan penggunaan, pembelian, perdagangan dan likuidasi kayu bulat yang diperoleh dari pengembangan perkebunan kelapa sawit atau dari konversi lainnya sebagai bahan baku di semua perusahaan di Grup Korindo.
  4. Bekerja menuju sertifikasi FSC penuh dalam empat sampai lima tahun ke depan untuk konsesi hutannya yang berlokasi di Kalimantan dan Papua, Indonesia.
  5. Secara progresif meningkatkan perdagangan bahan bersertifikat dan terkontrol FSC di semua sektor produksi kayu dan hasil hutannya termasuk kayu lapis dan veneer.
  6. Melakukan proses pemulihan dan perbaikan untuk memastikan langkah-langkah sosial telah, dan akan terus, adil dan proporsional dan tunduk pada persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari masyarakat yang terkena dampak di Papua dan Maluku Utara.

Korindo diharuskan melaporkan kemajuannya ke FSC tiga kali setahun dan kemajuan perusahaan direncanakan untuk menjalani validasi tahunan oleh verifikator pihak ketiga yang independen. Korindo telah menyampaikan laporan kemajuan sebagaimana dipersyaratkan.

Namun, FSC dan Korindo tidak dapat menyepakati prosedur untuk melakukan verifikasi independen atas kemajuan, dan hal ini menyebabkan keterlambatan kemampuan FSC untuk memverifikasi dan melaporkan kemajuan Korindo terhadap kondisi ini. Dua kondisi utama yang tidak dapat diverifikasi adalah, penghentian penggunaan kayu dari lahan yang telah dikonversi dari hutan alam dalam rantai pasokan kayu lapis Korindo, dan melanjutkan penegakan moratorium deforestasi lebih lanjut.

Korindo Tidak Boleh Lagi Gunakan Label FSC

Lebih jauh dalam pengumuman resmi yang disampaikan secara tertulis, FSC menjelaskan, disasosiasi ini dapat diartikan sebagai proses pemutusan semua ikatan hukum dengan suatu organisasi, termasuk semua badan hukum, perusahaan induk, anak perusahaan, dan perusahaan sejenis di bawah kepemilikan yang sama dan milik grup yang sama, melalui pemutusan semua sertifikat FSC.

FSC menyebut pemutusan hubungan ini adalah sanksi terberat yang dapat dijatuhkan oleh FSC untuk melindungi reputasi dan kredibilitasnya. Perusahaan yang tidak terkait tidak lagi dapat memperoleh manfaat dari sertifikasi FSC dan penggunaan merek dagang dan kehilangan semua tautan dengan FSC. Dengan demikian, sejak keputusan tersebut berlaku 16 Oktober 2021 nanti, Korindo Group tidak diperkenankan lagi menggunakan label FSC di tiap produk-produknya.

"Dengan keputusan disaosiasi, maka semua perusahaan Korindo yang memiliki sertifikat FSC akan dicabut (terminasi) oleh lembaga sertifikasi. Sejak pencabutan, maka perusahaan tersebut tidak diperkenakan lagi mengklaim dan menggunakan Trademark FSC, baik on-product (label di produk atau kemasan produk) maupun off-product (brosur, flyer, newsletter, website, material publikasi lainnya)," terang Hartono Prabowo, FSC Perwakilan Indonesia, Jumat (16/7/2021).

Hartono menjelaskan mengapa pemutusan hubungan kerja sama FSC dan Korindo berlaku 16 Oktober 2021 sedangkan pengumuman keputusan itu disampaikan 14 Juli 2021. Menurut Hartono hal tersebut dilakukan sesuai prosedur FSC yang harus memberikan peringatan kepada anggota FSC yang diputus hubungannya. Namun ia memastikan bahwa selang waktu 3 bulan itu tidak akan mengubah kebijakan yang sudah diputuskan.

“Prosedurnya memang 3 months notice. Tidak akan mengubah keputusan, hanya periode persiapan bagi Korindo, seperti untuk menanggalkan semua trademark FSC.”

Masih Terbuka Peluang Kerja Sama Lagi

Meski demikian, tetap terbuka peluang bagi Korindo untuk reasosiasi atau kembali bekerja sama dengan FSC. FSC menghargai indikasi yang diterima bahwa Korindo masih berkomitmen untuk menunjukkan kemajuan lebih lanjut di masa depan. Atas dasar ini, FSC berkomitmen untuk bekerja sama dengan Korindo untuk masuk kembali ke dalam proses formal yang berpotensi mengakhiri disasosiasi. Proses tersebut dapat dimulai pada 2022 mendatang berdasarkan persyaratan yang ditetapkan dalam kebijakan FSC untuk prosedur remediasi asosiasi, yang saat ini sedang dikembangkan.

“Kenapa 2022, karena PfA Remediation procedure yang merupakan persyaratan berasosiasi kembali saat ini sedang dikembangkan,” tambah Hartono

Semua perusahaan yang dipisahkan memiliki kemungkinan untuk mengakhiri disasosiasi. Pra-anggapan ini menunjukkan bahwa mereka telah menghentikan aktivitas yang tidak dapat diterima, memberikan perbaikan atas kerusakan yang terjadi dan menerapkan prosedur untuk menghindari terulangnya kembali di masa depan.

Hal ini diidentifikasi melalui penilaian oleh FSC yang mengevaluasi kesiapan perusahaan yang dipisahkan untuk menerapkan perubahan dan berkomitmen pada standar FSC. Tindakan spesifik yang diperlukan didefinisikan dalam peta jalan yang dikembangkan melalui proses pelibatan pemangku kepentingan yang terstruktur, transparan, dan inklusif, dan disepakati dengan perusahaan yang ingin mengakhiri disasosiasi.

Peta jalan tersebut menyatakan kondisi yang harus dipenuhi oleh perusahaan untuk memperbaiki kekurangan yang teridentifikasi, memperbaiki dampak negatif lingkungan dan sosial yang terkait dengan hal ini, dan mencegah terulangnya kembali kegiatan yang tidak sejalan dengan Kebijakan Asosiasi FSC. Peta jalan juga menentukan bagaimana pemenuhan persyaratan akan diverifikasi.

Keputusan FSC Harus Jadi Pertimbangan Pemerintah

Direktur Yayasan Pusaka, Angky Samperante mengatakan, keputusan FSC yang mengeluarkan Korindo dari keanggotaan sertifikasi kehutanannya ini ada baiknya bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah, untuk melakukan review dan audit terhadap izin-izin usaha dan operasional perusahaan Korindo Group yang ada di Papua dan Maluku, sebagaimana diamanatkan dalam kebijakan peraturan pemerintah.

"Saya melihat juga pemerintah belum menjalankan pengawasan dengan baik dan benar, sehingga memungkinkan perusahaan melakukan tindakan yang diduga melanggar hukum. Korindo berargumentasi tidak melakukan deforestasi dan sudah sesuai dengan ketentuan pemerintah. Ini persepsi pengusaha. Namun kebijakan FSC mengsyaratkan asosiasi tidak boleh melakukan perusakan kawasan hutan NKT, investigasi FSC membuktikan hal ini," kata Angky, Jumat (16/7/2021).

Angky berharap FSC harus lebih kuat lagi dalam memastikan kebijakan asosiasi yang mereka terapkan agar benar-benar dijalankan dan memenuhi prinsip usaha berkelanjutan secara sosial dan lingkungan. Pada 2019 lalu, FSC masih memberikan kesempatan kepada Korindo untuk meningkatkan kinerjanya, meskipun hasil investigasi FSC membuktikan adanya pelanggaran signifikan.

"Point saya, FSC harus tegas dengan kebijakannya dan tidak memberikan kesempatan kepada perusahaan yang diduga atau dianggap melanggar kebijakan asosiasi mereka."

Karena dalam kasus Korindo ini, lanjut Angky, berdasarkan laporan yang banyak Pusaka terima, Korindo dikeluhkan melakukan pelanggaran terhadap hak masyarakat adat. Selain melakukan penggusuran dan perusakan dusun pangan, masyarakat adat pemilik hak ulayat di Tanah Papua juga tidak sepenuhnya dilibatkan oleh Korindo dalam proses pengalihan hak atas tanah atau mengalami tekanan dan tertekan dalam membuat keputusan.

"Di Papua, masyarakat yang terdampak mengalami keterbatasan dan kesulitan akses atas keadilan, sehingga keluhan dan permasalahan mereka tidak dapat terselesaikan dengan adil dan jujur. Ini kesempatan bagi pihak-pihak tertentu mengambil kesempatan atas kelemahan masyarakat."

Di kesempatan lain, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Kiki Taufik mengatakan, sikap FSC yang mengeluarkan Korindo dari sistem sertifikasi kehutanannya merupakan keputusan yang baik, meskipun masih terbilang terlambat.

"Akhirnya FSC sadar dan mengeluarkan Korindo dari sistem sertifikasi kehutanannya, meskipun terlambat namun keputusan ini lebih baik dari pada tidak sama sekali," kata Kiki Taufik, Jumat (16/7/2021).

Terkait peluang Korindo melakukan reasosiasi dengan FSC, Kiki berpendapat, yang paling utama FSC harus memastikan bahwa Korindo menyelesaikan masalah sosial, terutama terhadap pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat dengan cara yang transparan dan melibatkan multi pihak.

Hal ini diperlukan agar Korindo tidak lagi memanipulasi masyarakat seperti kasus-kasus sebelumnya. Terkait dengan perusakan hutan alam yang masuk dalam kategori hutan konservasi bernilai tinggi oleh Korindo, pemerintah harus dipastikan melakukan review atau evaluasi izin dan memberikan sanksi tegas.

"FSC harus jauh lebih berhati-hati dan memastikan Korindo untuk transparan terkait dengan rantai pasoknya, perlu ada monitoring yang mendalam dan detail. Jadi tidak dengan gampangnya Korindo melakukan reasosiasi dengan FSC."

Sayangnya, masih kata Kiki, Pemerintah Indonesia saat ini masih saja terus membagikan hutan kepada perusahaan-perusahaan seperti Korindo dan membiarkan perusahaan-perusahaaan itu melanggar hak-hak Masyarakat Adat dan masyarakat saat mereka beroperasi tanpa hukuman.

"Sangat penting bagi para pembeli dan badan sertifikasi untuk tidak terus membantu perusahaan-perusahaan menciptakan ilusi keberlanjutan Korindo dan mengulur-ulur transparansi sepenuhnya pada rantai pasokan mereka."

Kiki menjelaskan, ada 312 suku asli termasuk masyarakat adat yang terpencil di Papua dan sampai saat ini tidak ada satupun dari mereka yang memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum formal atas tanah mereka. Menurutnya, langkah pertama yang paling penting yang perlu diambil Pemerintah Indonesia dan para pemimpin dunia untuk melindungi alam adalah mengakui hak masyarakat adat atas tanah dan mengakhiri perampasan tanah mulai dari Papua, Kongo, hingga Amazon.

"Setelah adanya temuan Greenpeace, Forensik Arsitektur dan investigasi BBC, parlemen Indonesia meluncurkan penyelidikan atas perilaku Korindo, namun temuan itu belum diumumkan ke publik hingga detik ini."

Korindo Group Terkejut

Bagi pihak Korindo Group, keputusan FSC ini adalah hal yang mengejutkan. Dalam pernyataan publiknya, pihak Korindo Group menyebutkan bahwa sebelum keputusan FSC ini dibuat, Korindo Group sedang dalam proses menuju keanggotaan penuh dengan FSC. Korindo Group yakin dapat memulai proses keanggotaannya kembali sesegera mungkin dan suasana ini hanya sementara saja.

"Kami sangat terkejut atas keputusan FSC untuk menghentikan proses keanggotaan, karena kami telah menjalankan setiap langkah pada roadmap yang disepakati bersama dalam beberapa tahun terakhir," ujar Kwangyul Peck, Chief Sustainability Officer Korindo Group, dalam pernyataan tertulis yang dirilis Korindo Group, Rabu (14/7/2021).

Menurut Kwangyul, hal penting yang perlu dipahami bahwa tidak ada masalah yang serius yang terjadi dalam hubungan antara FSC dan Korindo. Melainkan hanya terjadi perbedaan prosedur dalam proses pemilihan verifikator independen dan netral yang kemudian menyebabkan penundaan dalam proses asosiasi.

Vice President Korindo Group Seo Jeongsik mengatakan, berdasarkan komitmen Korindo yang jelas terhadap ESG dan keberlanjutan, pihaknya ingin menekankan komitmen bersama antara FSC dan Korindo Group untuk kembali memasuki proses asosiasi sesegera mungkin.

"Tujuan kami tetap untuk menjadi anggota FSC sepenuhnya dan kami akan terus melanjutkan pemenuhan roadmap seperti yang telah ditentukan,” kata Seo Jeongsik, Rabu (14/7/2021).

Dijelaskan pula, Korindo Group memiliki Piagam ESG yang jelas dan dirumuskan dengan baik serta berkomitmen kuat terhadap Keberlanjutan, Hak Asasi Manusia, dan Tata Kelola Perusahaan. Korindo Group telah bekerja sama dengan FSC sejak tahun 2007 dan telah menghasilkan prestasi besar di bidang Environmental, Social, and Corporate Governance (ESG) dalam beberapa tahun terakhir.

Korindo Group sebelumnya sudah dalam proses menuju keanggotaan penuh dengan FSC. Untuk mencapai tujuan tersebut, melalui Memorandum of Understanding (MoU) yang telah disepakati bersama, kami membuat roadmap yang jelas mengenai target pencapaian yang akan diverifikasi oleh pihak ketiga independen dan netral.

Meskipun Korindo Group tidak berasosiasi dengan FSC untuk sementara waktu, kami akan tetap menjalankan sepenuhnya Piagam ESG serta komitmen Keberlanjutan dan Hak Asasi Manusia.

Awal Mula Kasus

Kasus Korindo ini bermula pada 2017 lalu, ketika Mighty Earth mengajukan keluhan Kebijakan Asosiasi atau Policy for Association (PfA) ke FSC. Korindo dituduh melanggar tiga dari enam kegiatan yang tidak dapat diterima yang dinyatakan dalam PfA FSC. Tiga kegiatan yang tidak dapat diterima adalah, konversi signifikan hutan menjadi perkebunan atau penggunaan non-hutan, penghancuran nilai konservasi tinggi dalam operasi kehutanan, pelanggaran hak tradisional dan hak asasi manusia dalam operasi kehutanan.

Tuduhan itu terkait dengan pendirian perkebunan kelapa sawit Korindo di Indonesia. FSC memulai penyelidikan atas kasus ini menyusul pengaduan yang diajukan oleh organisasi non-pemerintah lingkungan, Mighty Earth pada Juni 2017. Sebuah panel pengaduan independen ditunjuk oleh FSC untuk menyelidikinya.

Keluhan PfA Mighty Earth terkait dengan anak perusahaan Korindo dan operasinya di Maluku Utara dan Papua. Area di mana dugaan aktivitas yang tidak dapat diterima terjadi tidak bersertifikat FSC tetapi aktivitas itu sendiri melanggar tiga dari enam aktivitas yang tidak dapat diterima yang dinyatakan dalam PfA FSC.

Kegiatan yang tidak dapat diterima terjadi di hutan yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Minyak sawit bukan komoditas bersertifikasi FSC, sehingga perkebunan kelapa sawit Korindo tidak pernah, dan tidak mungkin, bersertifikat FSC.

Korindo juga memiliki operasi pengelolaan hutan di hutan alam di Indonesia. Operasi-operasi ini juga tidak bersertifikat FSC, meskipun sebenarnya bisa. Namun, pengaduan Mighty Earth tidak menuduh adanya keterlibatan langsung dalam pelanggaran oleh operasi pengelolaan hutan ini.

Korindo tidak mengoperasikan hutan bersertifikat FSC. Sertifikat FSC mereka berada di bawah Standar FSC untuk Sertifikasi Chain of Custody (FSC-STD-40-004 V3-0), yaitu perusahaan yang diizinkan untuk memproses kayu bersertifikat FSC yang dibeli dari produsen lain. Mereka berlokasi di Kalimantan Timur, Indonesia. Keluhan Mighty Earth tidak menuduh kesalahan apa pun oleh operasi bersertifikat FSC ini