Kematian Massal Babi Hutan akan Pengaruhi Rantai Makanan di Alam

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Biodiversitas

Rabu, 01 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Dalam beberapa bulan terakhir, fenomena kematian babi, baik babi hutan maupun babi ternak, dilaporkan masih banyak terjadi di sejumlah wilayah di Sumatera. Apabila tidak terkendali, kematian celeng atau babi hutan (Sus scrofayang dihubungkan dengan wabah Virus African Swine Fever (AFS) ini akan mengakibatkan ketidakseimbangan rantai makanan di alam. Satwa predator puncak seperti harimau sumatera (Panthera tingris Sumatrae), dikhawatirkan akan mencari makan keluar habitatnya.

Di wilayah Provinsi Bengkulu, kematian babi hutan saat ini masih ditemukan. Bahkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu, baru-baru ini mengirimkan sample dari babi hutan yang ditemukan mati ke Balai Veteriner Lampung untuk mendapat kepastian penyebab kematian babi.

"Sedang diperiksa sampelnya di lab Balivet di Lampung," ujar Kepala BKSDA Bengkulu, Donal Hutasoid saat dimintai keterangan mengenai penyebab kematian babi hutan yang terjadi hampir secara massal di Bengkulu, Selasa (31/8/2021).

Direktur Lingkar Inisiatif Indonesia, Iswadi menyebutkan, fenomena banyaknya kematian babi hutan di alam pasti sangat berpengaruh terhadap rantai makanan di alam, terutama bagi predator atau pemangsa teratas seperti harimau sumatera. Namun dalam dua bulan terakhir dirinya belum menemukan adanya kejadian harimau sumatera keluar dari hutan habitatnya, yang mungkin dikarenakan kekurangan makanan di hutan.

Tim medis dari BKSDA Bengkulu melakukan nekropsi terhadap bangkai babi hutan yang mati. Diduga kematian babi hutan yang belakangan kembali marak terjadi di sejumlah wilayah di Sumatera disebabkan oleh Virus African Swine Fever (AFS)./Foto: Facebook Erni Suyanti Musabine

"Akan sangat mungkin sekali, ketika kematian babi ini tidak cepat ditangani, akan memungkinkan harimau sumatera akan masuk ke kampung dan mencari makanan lain," kata Iswadi, Selasa (31/8/2021).

Iswadi mengungkapkan, pada awal Agustus lalu pihaknya melakukan monitoring lapangan di wilayah Sumatera Selatan (Sumsel) dan masih menemukan fenomena kematian babi hutan. Selanjutnya pada pertengahan Agustus monitoring serupa juga dilakukan di wilayah Bengkulu dan hasilnya sama, masih ditemukan kematian babi hutan.

Menurut Iswadi, untuk di wilayah Provinsi Bengkulu, kemunculan kematian babi hutan di wilayah Kabupaten Bengkulu Utara dan Muko-Muko ini terhitung berada di urutan buncit. Karena kematian babi hutan diduga akibat Virus AFS Provinsi Bengkulu pertama kali terdeteksi di Kabupaten Seluma dan Rejang Lebong.

"Kalau di Sumsel Mei-Juli yang tertinggi, di wilayah Bengkulu Utara dan Muko-Muko justru malah baru mulai muncul," kata Iswandi, Selasa (31/8/2021).

Iswadi mengaku belum tahu bagaimana hasil riset penelitian terkait kematian babi hutan yang terjadi ini. Apakah babi hutan itu mati karena flu babi atau disebabkan penyakit atau virus lainnya. Sehingga dirinya merasa khawatir penyakit yang mengakibatkan babi hutan mati ini akan menular ke satwa lain, maupun ke manusia.

"Kalau di Bengkulu kalau untuk jalur penularannya kita enggak tahu secara pasti ya sepetti apa awalnya. Tapi kalau secara total sudah mencapai ratusan (babi hutan yang mereka temukan mati) ya."

Angka ratusan babi hutan yang mati itu, lanjut Iswadi, berdasarkan pengamatan lapangan dari hasil patroli monitoring yang rutin mereka lakukan di bentang alam Kerinci Seblat dan wilayah hutan lainnya. Dari hasil patroli monitoring itu, kematian babi hutan yang mereka temukan umumnya terjadi dalam dua kondisi. Yang pertama babi hutan sering ditemukan mati dalam kondisi terapung di sungai.

"Yang kedua itu, kematian babi itu kebanyakan juga di sarangnya, jadi anak-anak babi pun ikut mati. Kita tidak melakukan pemantauan babi ternak ya. Tapi memang yang kita pantau itu dari hasil kegiatan patroli monitoring kita dan memang yang ratusan itu semuanya babi hutan."

Kematian Babi Hutan di Sumsel akibat Virus AFS

Di Sumsel, kasus kematian babi juga terjadi pada babi ternak. Menurut Kepala BKSDA SKW II Lahat, Martialis Puspito, fenomena kematian babi hutan di Sumsel terpantau terjadi di Kabupaten Muara Enim dan Musi Rawas Utara. Dari hasil uji laboratorium yang dilakukan terhadap sampel babi hutan yang mati, dipastikan babi-babi itu mati akibat Virus AFS.

Menurut Martialis, sebagian besar kasus kematian babi itu terjadi di luar kawasan konservasi. Berdasarkan riwayatnya, penularan Virus AFS ini berawal dari babi ternak atau peliharaan yang kemudian menjangkiti babi hutan.

"Kalau asalnya dari babi ternak yang menyeberang ke babi hutan. Kalau tentang penyebarannya relatif cepat ya," kata Martialis, Selasa (31/8/2021).

Lebih lanjut Martialis mengungkapkan, fenomena kematian babi di Sumsel juga relatif singkat. Kasus kematian babi di Muara Enim dan Musi Rawas Utara terpantau muncul sejak Mei 2021 dan mereda pada Juli 2021. Menurut Martialis, dilihat dari kurva kejadian, kasus kematian babi karena Virus AFS di Sumsel relatif cepat mereda ketika telah mencapai puncaknya pada Juli lalu.

Martilis menduga, penyebaran Virus AFS ini terjadi melalui media air. Karena babi hutan yang mati banyak terjadi di pinggiran sungai. Yang mana bangkai babi yang mati karena Virus AFS mencemari air sungai yang kemudian airnya dikonsumsi oleh babi lain.

"Penyebarannya yang paling cepat sepertinya melalui air ya. Karena di beberapa lokasi kita temukan babi yang mati itu banyak ditemui di pinggiran sungai."

Meski begitu, dari kasus yang muncul, Virus AFS ini hanya berdampak pada satwa babi saja atau hanya menular di antara babi saja, tidak berdampak pada satwa lain. Karena ada beberapa satwa, salah satunya biawak, diketahui tidak mati ketika diketahui memakan bangkai babi yang mati karena Virus AFS.

Yang menjadi kekhawatiran, lanjut Martialis, justru keseimbangan rantai makanan di alam. Banyaknya babi hutan yang mati karena terjangkit Virus AFS akan berdampak pada keseimbangan rantai makanan, karena babi hutan merupakan pakan bagi predator puncak seperti harimau dan biawak.

"Sudah kita antisipasi sebenarnya. Tapi ternyata tidak ada laporan kasus harimau yang keluar dari habitatnya karena kekurangan pakan. Mungkin sepertinya populasi babi di hutan masih banyak," kata Martialis.

Kasus kematian babi hutan juga terjadi di Jambi. Di provinsi ini, kasus ini marak ditemukan Kabupaten Tebo dan Sarolangun. Bahkan beberapa ekor babi hutan ditemukan mati di dalam kawasan konservasi yang dikelola oleh BKSDA Jambi yang berada di Sarolangun.

"Itu terjadi pada Juni lalu. Untuk di luar kawasan, kami kurang memonitor dan tidak ada laporan atau aduan dari masyarakat. Untuk saat ini sudah tidak ada laporan maupun temuan lagi," kata M. Ali Imron Humas BKSDA Jambi, Selasa (31/8/2021).

Ali juga mengakui kematian babi hutan yang secara massal terjadi dan tidak tertanggulangi tentu akan berpengaruh pada keseimbangan rantai makanan di alam. Karena babi merupakan salah satu pakan bagi satwa predator.