40 Persen Anak Muda Takut Memiliki Keturunan Akibat Krisis Iklim

Penulis : Tim Betahita

Perubahan Iklim

Rabu, 15 September 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Empat dari 10 anak muda ragu kini untuk memiliki keturunan akibat semakin parahnya krisis iklim. Survei yang dilakukan di 10 negara, menemukan hampir 60 persen anak muda yang berusia 16-25 tahun sangat khawatir atas perubahan iklim. Sebanyak 65 persen merasa dikhianati oleh pemerintah dan generasi terdahulu yang tidak dapat melindungi bumi dan generasi muda.

Pernyataan “masa depan mengerikan” disetujui oleh 75 persen anak muda. Sebanyak lebih dari 50 persen merasa tidak memiliki kesempatan hidup yang sama seperti orang tuanya.

45% dari survei merasa stress dan khawatir terhadap krisis iklim yang berdampak kepada kehidupannya secara fungsional.

Studi sains terbesar ini, setidaknya dalam hal tingkat kekhawatiran krisis iklim terhadap anak muda, mengajak sekitar 10.000 anak muda dari Australia, Brazil, Finlandia, Pranci, India, Nigeria, Filipina, Portugal, Inggris, dan Amerika Serikat serta didanai oleh organisasi kampanye, Avaaz.

Beberapa anak pulang sekolah di tengah asap akibat bencana kebakaran hutan dan lahan 2015. Foto: Greenpeace

Mitzin Tan (23), aktivis iklim muda asal Filipina mengatakan, “Saya tumbuh dengan rasa takut tenggelam di kamar tidur saya sendiri. Masyarakat memberi tahu saya bahwa kecemasan saya ini adalah ketakutan yang irasional dan perlu diatasi, yang perlu ‘diperbaiki’ dengan meditasi dan mengatasi dengan cara yang sehat,

Pada akarnya, kekhawatiran kami atas iklim berasal dari perasaan pengkhianatan yang mendalam atas kelambatan pemerintah. Untuk benar-benar mengatasi kecemasan iklim kita yang membesar, kita membutuhkan keadilan.”

Kekhawatiran atas krisis iklim menjadi hal yang sering ditemui di kalangan anak muda akhir-akhir ini. Luisa Neubauer (25), aktivis iklim yang merupakan salah penyelenggara mogok sekolah di Jerman dan membantu kemenangan pengadilan dalam memaksa pemerintah Jerman untuk untuk mengevaluasi kembali kebijakan iklimnya, mengatakan,

“Saya bertemu banyak gadis muda, yang bertanya ‘apakah masih boleh memiliki anak?’. Ini pertanyaan sederhana, namun menceritakan banyak hal tentang realitas iklim yang kita hadapi. Kami kaum muda menyadari bahwa mengkhawatirkan krisis iklim saja tidak akan menghentikannya. Jadi kami mengubah kecemasan individu kami menjadi tindakan kolektif. Dan sekarang, kami berjuang di mana-mana: di jalanan, di pengadilan, di dalam, dan di luar institusi di seluruh dunia. Namun, pemerintah masih mengecewakan kita, karena emisi meningkat ke tingkat rekor. Jawaban yang tepat untuk penelitian ini adalah pemerintah mulai bertindak seperti yang mereka janjikan.”

Awal bulan ini, UNICEF menemukan bahwa anak-anak dan anak muda di seluruh dunia menangguh beban krisis iklim, dengan 1 miliar anak-anak dalam ‘risiko ekstrem’ akibat dampak dari kerusakan iklim.
Tom Burke dari think tank e3g mengatakan kepada BBC, "Hal yang rasional bagi kaum muda untuk cemas. Mereka tidak hanya membaca tentang perubahan iklim di media, mereka menyaksikannya terungkap di depan mata mereka sendiri."

Studi yang berjudul “Young People’s Voices on Climate Anxiety, Government Betrayal and Moral Injury: A Global Phenomenon”, telah dirilis pada basis pra-publikasi, saat sedang dalam proses peer review, oleh jurnal ilmiah Lancet Planetary Health. Survei tersebut dipimpin dan dianalisis oleh tujuh institusi akademis di Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat termasuk University of Bath, University of East Anglia,dan Oxford Health NHS Foundation Trust.

Caroline Hickman, dari University of Bath, Climate Psychology Alliance dan salah satu penulis utama studi tersebut, mengatakan kepada BBC, “Ini menunjukkan bahwa kecemasan lingkungan bukan hanya pada kehancuran lingkungan saja, tetapi terkait erat dengan kelambanan pemerintah terhadap perubahan iklim. Kaum muda merasa diabaikan dan dikhianati oleh pemerintah.

“Kami tidak hanya mengukur apa yang mereka rasakan, tetapi apa yang mereka pikirkan. Empat dari 10 orang ragu untuk memiliki anak. Pemerintah perlu mendengarkan ilmu pengetahuan dan tidak patologis anak muda yang merasa cemas."

Francois Hollande, presiden Prancis ketika kesepakatan Paris dibuat pada 2015, mendesak pertemuan antarpemerintah pada November di Glasgow, COP26, untuk diperhatikan. “Enam tahun setelah perjanjian Paris, kita harus membuka mata kita terhadap kekerasan terhadap perubahan iklim, dampaknya terhadap planet kita, tetapi juga terhadap kesehatan mental kaum muda kita, seperti yang ditunjukkan oleh studi yang mengkhawatirkan ini.

“Kami harus bertindak segera dan melakukan segala yang kita bisa untuk memberikan masa depan bagi generasi muda,” katanya kepada Guardian.

Para peneliti mengatakan mereka tergerak oleh tingkat kestressan yang ada. Seorang anak muda berkata: "Saya tidak ingin mati, tetapi saya tidak ingin hidup di dunia yang tidak peduli dengan anak-anak dan hewan."