Gajah Terus Jadi Sasaran Perburuan Liar di Kawasan Konservasi

Penulis : Kennial Laia

Satwa

Selasa, 05 Oktober 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Populasi gajah sumatra di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, menurun akibat perburuan liar. Hal itu terus terjadi selama satu dekade terakhir walaupun satwa dilindungi tersebut berada di dalam kawasan konservasi. 

Hasil survei DNA populasi gajah pada 2010 oleh Wildlife Conservation Society (WCS) mencatat 247 ekor gajah. Namun pendataan terbaru pada 2020 menggunakan GPS collar mendeteksi hanya 180 individu. Sementara itu 67 tidak terpantau metode ini.

Menurut Balai Taman Nasional Way Kambas, terdapat 22 kematian gajah akibat perburuan liar dalam 10 tahun terakhir. Sebagian besar satwa itu ditemukan tanpa gading dan gigi. Selain itu, kontak senjata antara polisi hutan dan pelaku perburuan liar masih terjadi di dalam kawasan tersebut. Sejumlah barang bukti yang ditemukan antara lain 741 jerat seling, 34 sepeda ontel, 4 perahu dayung, tulang kepala gajah, tulang dan pinggul.

Kepala Balai Taman Nasional Way Kambas Kuswandono mengatakan, hasil evaluasi dengan aplikasi SMART RBM semester 1 tahun 2021, ditemukan jenis alat perburuan 1 jaring kabut, 7 jerat nilon, 16 jerat jerat seling, 40 jerat selling kecil, 2 perangkap kandang, 3 stick dan 13 tanda perburuan lainnya.

Induk gajah terlihat bersama anaknya di Camp Elephant Rescue Unit (ERU) di Taman Nasional Way Kambas pada 2017. Foto: KLHK

“Temuan ini menandakan bahwa perburuan liar di kawasan Taman Nasional Way Kambas harus dihentikan karena mengancam populasi satwa liar dan tentunya akan berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem hutan hingga ekosistem bumi secara jangka panjang,” kata Kuswandono melalui keterangan tertulis, Senin, 4 Oktober 2021.

Menurut Kuswandono, perlindungan gajah sumatra di kawasan konservasi dimulai dengan memperbaiki ekosistem yang menjadi penyangga kehidupannya. Salah satunya adalah melalui restorasi hutan. 

“Di tengah upaya pelestarian gajah dan melawan aksi perburuan liar, kegiatan restorasi hutan juga harus terus dilakukan. Kita sebagai manusia perlu melakukan introspeksi dan meningkatkan kesadaran akan masalah ini,” jelas Kuswandono.

Gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi di bawah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, per 2019 hanya terdapat 693 ekor. Jumlahnya yang menurun drastis dari tahun ke tahun menjadikan satwa ini berada di ambang kepunahan.

Dedi Istnandar, Staf Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan Taman Nasional Way Kambas, mengatakan, Staf Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), mengatakan bahwa populasi gajah sumatra berperan secara tidak langsung dalam penyebaran benih tanaman di area yang dilewati di dalam kawasan konservasi.

Area jelajah gajah yang luas dan kecenderungan hidup berkelompok membantu upaya restorasi hutan. “Selain itu, kotoran gajah juga bermanfaat sebagai pupuk yang menyuburkan area hutan. Gajah juga mengonsumsi makanan dalam jumlah besar, sehingga mengatur keseimbangan ekosistem hutan. Tubuhnya yang besar juga bermanfaat sebagai pembuka jalan bagi satwa lain dalam menjelajah hutan dan mencari makanan,” kata Dedi.

Namun, kebakaran hutan yang kerap terjadi di kawasan konservasi tersebut menjadi tantangan. Menurut Kuswandono, kebakaran sengaja dilakukan oleh pelaku perburuan liar untuk memudahkan mencari hewan buruan.

Untuk melakukan pengawasan dan pencegahan perburuan liar ini, Kuswandono mengatakan  pihaknya bekerja sama dengan berbagai pihak dalam melakukan pengawasan dan pencegahan perburuan liar, termasuk perguruan tinggi, pemerintah daerah, penegak hukum dan masyarakat lokal, dan lembaga swadaya masyarakat.  

Menurut Kuswandono, saat ini terdapat sekitar 17.000 hektare area dari luas total sebesar 125.000 hektare yang perlu direhabilitasi di Taman Nasional Way Kambas. Luasan tersebut dibagi menjadi tiga jenis metode yakni rehabilitasi atau pemulihan ekosistem secara alami,  pemulihan ekosistem yang menggunakan anggaran negara dan pemulihan ekosistem bekerja sama dengan mitra.

“Untuk pelestarian kawasan hutan, kami bekerjasama dengan kelompok komunitas atau mitra lingkungan, seperti Yayasan Auriga Nusantara dalam upaya restorasi hutan yang sudah mulai dilakukan sejak tahun 2013,” kata Kuswandono.

Ketua Yayasan Auriga Nusantara Timer Manurung mengatakan, saat ini pihaknya berupa memulihkan kembali hamparan ilalang pasca-kebakaran hebat pada era 90-an. Tujuannya adalah mengembalikan fungsi hutan termasuk habitat gajah di kawasan tersebut. 

“Kami mengapresiasi Balai Taman Nasional Way Kambas yang membuka ruang kerja sama dengan Auriga Nusantara memulihkan habitat tersebut, baik ketika kami bersama konsorsium pada 2013-2017 seluas 100 hektare, maupun spesifik dengan Auriga hingga 2023 untuk luasan 1.200 hektare,” ungkap Timer.

Menurut Timer, dari total 1.200 hektare, pihaknya menargetkan pembibitan dan melakukan penanaman seluas 600 hektare di kawasan Rawa Kadut hingga 2023. Yayasan Auriga Nusantara juga membuat sekat bakar untuk mengendalikan kebakaran dan menghambat kebakaran agar tidak meluas. Perawatan pada area suksesi juga dilakukan.