Pemerintah jadi Kunci Penyelesaian Konflik Dayak Modang Vs Sawit

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Selasa, 09 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Keinginan Masyarakat Hukum Adat Dayak Modang Long Wai agar wilayah adatnya bebas dari jamahan perkebunan sawit, agaknya masih sulit tercapai. Meskipun beragam cara dan upaya telah dilakukan. Butuh kemauan kuat dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini.

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Timur (Kaltim), Yohana Tiko mengatakan, permintaan atau keinginan masyarakat Dayak Modang Long Wai sebetulnya sederhana, yakni perkebunan sawit PT Subur Abadi Wana Agung (SAWA) keluar dari wilayah adat Dayak Modang Long Wai. Dengan kata lain, masyarakat Dayak Modang yang ada di Desa Long Bentuq, Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai Timur (Kutim) Kalimantan Timur (Kaltim) itu tidak ingin wilayah adatnya digunakan untuk perkebunan sawit perusahaan besar perkebunan apapun.

"Sesederhana itu sebenarnya keinginan masyarakat Long Bentuq ini. Dan sudah sejak awal masyarakat Long Bentuq ini menolak kehadiran perkebunan sawit PT SAWA masuk ke wilayah Long Bentuq. Hanya butuh kemauan yang kuat dari pemerintah menyelesaikan konflik ini," kata Tiko.

Tiko menjelaskan, pada Jumat (5/11/2021) lalu Badan Akuntabilitas Publik Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) di aula kantor Gubernur Kaltim, mengenai tindak lanjut pengaduan Masyarakat Adat Modang Long Wai Desa Long Bentuq terkait konflik lahan dan hutan dengan PT SAWA dan HGU PT Hamparan Perkasa Mandiri (HPM). Dalam RDP yang dihadiri Wakil Gubernur Kaltim, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Kaltim dan sejumlah petinggi PT SAWA dan PT HPM itu dihasilkan sejumlah kesimpulan.

Beberapa perwakilan masyarakat adat Dayak Modang Long Wai Desa Long Bentuq berfoto di depan Kantor Gubernur Kaltim, usai RDP yang digelar DPD RI, Jumat (5/11/2021) kemarin./Foto: Istimewa

Kesimpulan rapat tersebut yakni:

  1. Mendorong Pemerintah Provinsi Kaltim dan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur untuk terus melakukan fasilitasi dan mediasi melalui jalur non litigasi dan memperkuat pengawasan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan di Kabupaten Kutai Timur.
  2. Mendorong Pemerintah Kabupaten Kutai Timur untuk mengaktifkan peran forum pelaksana Community Development dan Corporate Social Responsibillity (CSR) PT SAWA dan PT HPM, sehingga program-program Community Development dan CSR dapat terlaksana secara terpadu, efisien dan berkelanjutan agar tuntutan Masyarakat Adat Modang Long Wai Long Bentuq dapat diakomodir sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
  3. Mendorong masyarakat adat Modang Long Wai Long Bentuq mengajukan permohonan untuk pengakuan masyarakat hukum adat dan diminta kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Timur segera melakukan percepatan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. BAP DPD RI akan melaksanakan pemantauan terkait permasalahan tuntutan masyarakat adat Long Wai Long Bentuq.

"Kami apresiasi upaya DPD RI mengadakan RDP ini. Karena selama ini permintaan kita ke DPRD untuk RDP seperti ini tidak pernah mendapatkan respon. Ada kesimpulan RDP, tapi sifatnya bukan sebuah kesepakatan penyelesaian," kata Tiko.

Menurut Tiko, apa yang disimpulkan dalam RDP itu tidak sesuai permintaan masyarakat Long Bentuq. Terutama soal CSR. Tiko bilang, masyarakat adat di Desa Long Bentuq sama sekali tidak meminta atau menuntut CSR dari perusahaan. Yang diinginkan hanyalah perusahaan sawit keluar dari wilayah adat.

"Kok malah diarahkan ke CSR. Bukan itu yang diinginkan masyarakat. Yang diinginkan adalah PT SAWA keluar dari wilayah adat."

Selain itu, kesimpulan RDP yang mendorong masyarakat adat Dayak Modang untuk mengajukan permohonan pengakuan sebagai masyarakat hukum adat juga membuat persoalan ini menjadi rumit. Karena beberapa tahun sebelumnya masyarakat adat Dayak Modang Long Wai sudah mengajukan permohonan pengakuan, bahkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

"Yang harus dilakukan saat ini adalah Panitia Masyarakat Hukum Kabupaten melakukan verifikasi dan identifikasi di lapangan. Karena masyarakat Long Bentuq sudah mengajukan permohonan pengakuan," kata Tiko.

Tiko berharap apa yang menjadi tuntutan masyarakat adat di Desa Long Bentuq ini benar-benar dijadikan perhatian oleh pemerintah. Selain itu Tiko juga berpesan agar tidak ada lagi upaya kriminalisasi dari pihak manapun yang melemahkan perjuangan masyarakat adat Long Wai.

Konflik agraria MHA Modang Long Wai Desa Long Bentuq dengan perusahaan perkebunan sawit ini umurnya sudah cukup panjang, 13 tahun. Permasalahan ini mulanya dipicu oleh adanya penerbitan Izin Lokasi untuk PT Subur Abadi Wana Agung (SAWA) dan PT Hamparan Perkasa Mandiri di Kecamatan Busang, Kabupaten Kutim.

Izin Lokasi itu terbit dengan SK masing-masing Nomor 22/02.188.45/HK/I/2006 tentang Izin Lokasi Perkebunan a.n PT Subur Abadi Wana Agung (SAWA) seluas sekitar 14.350 hektare di Kecamatan Busang dan SK Nomor 27/02.188.45/HK/I/2006 tentang Izin Lokasi Perkebunan a.n PT Hamparan Perkasa Mandiri (HPM) seluas sekitar 12.180 hektare di Kecamatan Busang. Penerbitan dua SK Izin Lokasi itu telah mengakibatkan sekitar 4 ribu hektare areal wilayah adat Modang Long Wai Desa Long bentuq masuk dalam areal perusahaan sawit PT SAWA.

Pada 2008, atau dua tahun berselang setelah mendapat Izin Lokasi, PT SAWA tanpa izin dan persetujuan masyarakat adat melakukan pembukaan dan pembersihan lahan disertai penanaman sawit, di atas lahan yang dianggap merupakan wilayah MHA Modang Long Wai Desa Long Bentuq, sesuai batas adat yang sudah disepakati desa-desa setempat pada 1993. Dari sini konflik tersebut mulai memanas.

Kala itu, masyarakat adat telah meminta kepada pihak perusahaan untuk menghentikan aktivitasnya. Terlebih karena sejak awal MHA Modang Long Wai memang sudah menyatakan menolak masuknya investasi perkebunan sawit di wilayahnya.

Bahkan sebelum wilayah adat mulai dibabat, masyarakat Long Bentuq pernah melakukan Resolusi Bersama Menolak Kebun Sawit. Isi resolusi tersebut yakni, pembangunan perkebunan besar kelapa sawit, baik model perusahaan (Inti) maupun model perkebunan rakyat (sawit plasma) tidak memberikan jaminan ruang kehidupan bagi masyarakat terhadap hak-hak tanah adat, hutan adat dan sumber daya alam lainnya, yang akan terancam musnah serta mengancam kelestarian lingkungan hidup di sepanjang DAS Atan.

Terhitung sejak 2008 tersebut, hutan wilayah adat Modang Long Wai Desa Long Bentuq berangsur-angsur lenyap ditebang untuk perkebunan sawit PT SAWA. Sejak 2008 itu pula berbagai bentuk protes penolakan penggusuran lahan wilayah adat dilakukan oleh MHA Modang Long Wai Desa Long Bentuq. Namun semua ekspresi tersebut tidak mampu menghentikan penggusuran yang terjadi.

Pencaplokan dan penggusuran wilayah Long Bentuq ini juga diperparah oleh terbitnya SK Bupati Kutai Timur Nomor 130/K.905/2015 tentang Penetapan Batas Administrasi antar Desa Long Bentuq, Desa Rantau Sentosa, Desa Long Pejeng Kecamatan Busang dan Desa Long Tesak di Kecamatan Muara Ancalong. Lantaran terbitnya SK Tata Batas ini telah mengakibatkan sebagian wilayah adat Modang Long Wai Desa Long Bentuq masuk dalam wilayah administrasi desa lain.

Tata batas antardesa berdasarkan SK Bupati Kutim ini tentu saja tidak dapat diterima oleh MHA Modang Long Wai Desa Long Bentuq. Karena penerbitan SK itu tidak melibatkan MHA Modang Long Wai Long Bentuq. Selain itu, batas antardesa yang ditetapkan oleh Bupati Kutim lewat SK itu juga tidak sesuai dengan hasil kesepakatan batas desa yang sudah disepakati pada 1993 silam.

Atas permasalahan yang terjadi tersebut, MHA Modang Long Wai Desa Long Bentuq mencari perhatian ke berbagai pihak terkait di pemerintah. Pada 2015 misalnya, mereka pernah mengirim laporan tertulis mengenai pengusuran hutan adat dan illegal logging PT SAWA kepada pihak kepolisian, dengan ditembuskan kepada Bupati Kutim, dinas terkait seperti Dinas Kehutanan maupun Dinas Lingkungan Hidup, Badan Pertanahan Nasional, Ombudsman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Komisi Pemberantasan Korupsi, Gubernur Kaltim, Ketua DPRD Kaltim dan Bapedas Mahakam Berau. Namun tidak ada respon dan hasil yang didapat.

Di tahun yang sama, perwakilan tokoh adat Modang Long Wai Desa Long Bentuq bahkan terbang ke Jakarta untuk menyampaikan secara langsung permasalahan penggusuran hutan di wilayah adatnya dan aktivitas illegal logging oleh PT SAWA ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM). Pada 2016 KLHK mengirimkan timnya ke Long Bentuq untuk berdiskusi dengan hasil KLHK menyarankan agar Long Bentuq menjalin kemitraan dengan perusahaan, namun saran tersebut ditolak oleh masyarakat dan tetap kembali pada keputusan awal bahwa PT SAWA tidak boleh beroperasi di wilayah Long Bentuq.

Selain mengadu ke berbagai pihak di pemerintahan, daerah maupun pusat. MHA Modang Long Wai ini juga beberapa kali mengekspresikan perjuangan dan penolakannya terhadap pembangunan perkebunan sawit di desanya lewat beberapa aksi lapangan. Pada 2015 misalnya, sekitar 286 warga Long Bentuq melakukan aksi damai di kantor PT SAWA menuntut hak atas tanah yang digusur.

Terbaru, aksi damai melibatkan ratusan warga berupa penutupan jalan desa bagi akses mobilisasi pengangkutan CPO dan buah sawit milik PT SAWA yang digelar 30 Januari hingga 10 Februari 2021 lalu. Aksi damai pembatasan akses jalan bagi kendaraan PT SAWA ini berbuntut penangkapan secara paksa dua tokoh adat Long Bentuq, yakni Daud Luwing dan Benediktus Beng Lui, serta Elisason dari Dewan Adat Dayak (DAD) Kaltim.