Negara Kalah lagi, Kasasi Perkara Karhutla PT KS Ditolak MA

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Rabu, 10 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Upaya hukum Kasasi yang diajukan Negara melalui Kejaksaan Negeri (Kejari) Kotawaringin Barat (Kobar), dalam perkara pidana khusus lingkungan hidup, kasus kebakaran lahan perkebunan PT Kumai Sentosa (KS), ke Mahkamah Agung (MA) ditolak. Putusan Kasasi Perkara Nomor 3840 K/Pid.Sus/2021 diketok Majelis Hakim MA pada Senin, 8 November 2021 kemarin.

Putusan MA ini menggenapkan kekalahan Negara dalam perkara yang sama, setelah 17 Februari 2021 lalu Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Bun memvonis bebas (Vrijspraak) PT KS, dalam perkara nomor 233/Pid.B/LH/2020/PN Pbu.

"Tolak Kasasi Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Kotawaringin Barat," bunyi ringkasan Perkara Nomor 3840 K/Pid.Sus/2021 yang diterima Betahita.id dari Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Sobandi, Selasa (9/11/2021).

Dalam ringkasan itu juga diuraikan pendapat MA terhadap alasan Kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi/Penuntut Umum. Bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di muka persidangan, dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Bahwa terjadi kebakaran di areal IUP PT Kumai Sentosa di Desa Sungai Cabang, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 21 Agustus 2019, namun kebakaran tersebut awalnya berasal dari seberang pembatas parit dengan Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) yang kemudian menjalar ke area Blok 41 PT Kumai Sentosa (PT KS) sehingga dengan demikian areal izin usaha kelapa sawit PT Kumai Sentosa ikut terbakar bukan karena sengaja dibakar oleh pihak PT Kumai Sentosa.
  2. Bahwa pihak PT Kumai Sentosa telah berusaha memadamkan api yang menjalar ke area perkebunan kelapa sawit milik PT Kumai Sentosa dengan menggerakkan para pegawai PT Kumai Sentosa dan peralatan pemadamnya namun angin bertiup kencang dan adanya asap sangat pekat menyebabkan pemadaman tidak dapat dilakukan dengan maksimal hingga menyebabkan lahan-lahan perkebunan kelapan sawit PT Kumai Sentosa semakin terbakar. Hal ini menunjukkan bahwa bukan PT Kumai Sentosa yang sengaja membakar areal kelapa sawitnya sebab kalau sengaja dibakar maka tentu PT Kumai Sentosa tidak perlu berusaha memadamkan api yang telah menjalar ke area kebun kelapa sawitnya dan terlebih lagi areal kelapa sawit milik PT Kumai Sentosa berpotensi memberi keuntungan besar bagi PT Kumai Sentosa.
  3. Bahwa di areal perkebunan kelapa sawit milik PT Kumai Sentosa telah pula dipasang papan peringatan untuk tidak melakukan pembakaran lahan dan setiap kerja, para pekerja selalu diberi arahan untuk tidak melakukan pembakaran lahan dan melakukan pemadaman apabila melihat ada api yang menyala. Hal ini membuktikan bahwa PT Kumai Sentosa sangat concern terhadap tidak bolehnya melakukan pembakaran lahan di areal kelapan sawit miliknya sehingga tidaklah logis bila PT Kumai Sentosa dituntut melakukan pembakaran di lahan miliknya sendiri.

Seorang personel Gakkum tengah memasang garis polisi di atas lahan terbakar di areal PT KS

Direktur Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra menganggap Putusan MA yang membebaskan PT KS dari hukuman dalam kasus kebakaran hutan dan lahan seluas 2.600 hektare itu mengabaikan konsep strict liability yang dianut oleh Undang-Undang Lingkungan Hidup. Roni menegaskan, kebakaran yang terjadi di sekitar areal konsensi perusahaan dipandang sebagai kewajiban perusahaan, apalagi kebakaran itu juga masuk ke areal konsesi perusahaan.

"Dengan kata lain harus ada tindakan atau upaya pencegahan dan penanggulangan dari pihak perusahaan. Strict liability dalam hukum pidana dipandang sebagai konsep Hukum Pidana Formil, yaitu kegiatan yang menimbulkan kerugian lingkungan hidup maupun kebakaran hutan yang terjadi di areal kerjanya menjadi tanggung jawabannya," kata Roni, Selasa (9/11/2021).

Tanpa lebih jauh membuktikan pembuktian unsur kesalahan. Kesalahan (mens rea) yang bersangkutan tetap ada dan harus ada, hanya saja dianggap telah terbukti adanya, sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya. Belajar dari banyak putusan lingkungan hidup, cukup banyak putusan-putusan pidana lingkungan hidup yang menjadi landmark yang harusnya dirujuk. Selain itu, posisi asas in dubio pro natura harusnya menjadi pegangan bagi hakim-hakim untuk memutus kasus lingkungan hidup.

"Putusan bebas ini tentu akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum ke depan, dan akan berpotensi dipakai sebagai yurisprudensi oleh perusahaan-perusahaan sejenis ke depan."

Ada yang menarik dari putusan Majelis Hakim MA. Terjadi perbedaan pendapat yang muncul di antara Majelis Hakim. Ketua majelis Salman Luthan mengajukan dissenting opinion (Pendapat Berbeda). Hakim Salman berpendapat PT KS layak dihukum atas kebakaran yang terjadi di areal konsesi perkebunan sawitnya yang menghanguskan lahan seluas 2.600 hektare. Tapi dua hakim anggota Brigjen TNI Sugeng Sutrisno dan Gazalba Saleh justru menganggap PT KS tidak bisa disalahkan dan dibebaskan dari segala tuntutan. Karena suara pendapat Salman Luthan kalah dari pendapat dua hakim lainnya, akhirnya diputuskan bahwa MA menolak upaya hukum Kasasi yang diajukan Kejari Kotawaringin Barat.

Berikut ini isi dissenting opinion Salman Luthan seperti dikutip dari Detik.com:

Bahwa dalam melakukan usahanya tersebut, Terdakwa telah melakukan pembukaan lahan (land clearing) untuk mengejar target seluas 4.775,48 Ha, padahal saat itu musim kemarau dan terdapat gambut yang sudah kering dengan kedalaman sampai dengan 2,5 meter dan tumpukan-tumpukan kayu dan tumbuhan pakis yang mudah terbakar di lokasi Blok B36 sampai B41, hingga pada lokasi D21 sampai D24.

Bahwa pada tanggal 23 Maret 2019 sampai dengan tanggal 26 Maret 2019 telah terjadi kebakaran lahan perkebunan kelapa sawit di Afdeling Tanaman Blok D21, D22, D23 namun tidak meluas dan dapat dilakukan upaya pemadaman dengan menggunakan air dalam ember, kemudian terjadi lagi kebakaran lahan pada tanggal 16 Juli 2019 di Afdeling LC (land clearing) Blok 40, tanggal 28 Juli 2019 di Afdeling LC (land clearing) Blok C.45 dan dapat dipadamkan (Vide: Keterangan saksi Fauzan (Komandan Patroli), saksi Chaerudin, Hendro Prasetyo, diperkuat hasil berita acara verifikasi lapangan oleh Ahli tanggal 14 September 2019);

Bahwa pada kurun waktu tanggal 1 Agustus 2019 hingga tanggal 3 Agustus 2019 terjadi kebakaran lahan Terdakwa di Afdeling perawatan, Blok 8 dan Blok 41, dan pada tanggal 5 Agustus 2019 dan tanggal 6 Agustus 2019 di Afdeling perawatan Blok 15, 13 dan 40, pada tanggal 7 Agustus 2019 dan 20 Agustus 2019 terjadi kebakaran lagi dan telah dilakukan upaya pemadaman oleh Tim, namun karena keterbatasan sarana prasarana dan hembusan angin kencang, maka api meluas di Afdeling perawatan LC (land clearing), pada lokasi Blok 28, 50, 60, 41, 40, 36;

Bahwa selanjutnya pada hari Rabu tanggal 21 Agustus 2019 sekitar jam 16.00 Wib, terjadi kebakaran lagi di lokasi perkebunan kelapa sawit pada Areal Konsesi IUP Perkebunan Terdakwa PT. Kumai Sentosa (PT.KS) di Desa Sungai Cabang, pada titik koordinat S. 03° 21.651' E 111° 51.070' dan S. 03° 19.616' E 111° 50.079', pada lahan yang berada di Blok 41, 40, 39, 38, 37, 36, 35, 34, 33, 32 dan 31 yang merupakan lokasi pembukaan lahan (land clearing) dan penanaman kelapa sawit milik perusahaan Terdakwa PT Kumai Sentosa. Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah sebagaimana keterangan saksi-saksi (saksi Chairudin dan Hendro Prasetyo), diperkuat Pendapat Ahli Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, MAgr menerangkan bahwa Ahli telah melakukan verifikasi ke lapangan secara langsung, mengambil sampel barang bukti untuk dilakukan uji laboratorium sehingga didapatkan hasil kesimpulan bahwa memang benar telah terjadi kebakaran lahan di areal perkebunan kelapa sawit milik Terdakwa dan kebakaran tersebut bukan karena faktor alam karena menurut Ahli kebakaran dari faktor alam hanya bisa terjadi karena sebab lava gunung berapi, sedangkan pada lokasi lahan Tergugat yang terbakar tidak terdapat gunung berapi, sehingga Ahli memastikan kebakaran tersebut oleh perbuatan manusia.

Bahwa pendapat Ahli tersebut didukung oleh bukti ilmiah (scientific evidence) berdasarkan data hot spot (titik panas) yang berhasil terdeteksi khususnya pada periode waktu Agustus - September 2019 pada petak- petak bekas terbakar tersebut tampak merata dan hampir terjadi di semua blok dan dari hasil analisa data hot spot Modis (Terra-Aqua) dipastikan bahwa titik hot spot yang terdeteksi adalah benar titik api yang diperkuat dengan hasil verifikasi lapangan pada tanggal 14 September 2019 dan dipertegas lagi dengan video hasil rekaman yang dilakukan oleh PPNS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalimantan Tengah serta foto-foto yang dihasilkan selama perekaman tersebut.

Bahwa meskipun telah terjadi kebakaran lahan Terdakwa tersebut, dan Terdakwa merasa sudah berupaya untuk melakukan pemadaman, namun ternyata upaya pemadaman yang dilakukan Terdakwa tidak maksimal sehingga tidak mampu mengendalikan api ataupun mencegah terjadinya kebakaran lagi di lahan Terdakwa. Hal tersebut nampak dari bukti ilmiah (scientific evidence) berupa hasil analisa pergerakan hot spot yang terus bergerak dari hari ke hari yang menunjukkan lanjutan hot spot dari hari sebelumnya ataupun munculnya hot spot baru di petak lain, diperkuat dengan keterangan Ahli Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, Magr bahwa Terdakwa tidak memiliki sarana prasarana pengendalian dan pencegahan kebakaran lahan yang memiliki jumlah cukup dan memadai seperti early warning system, early detection system, sistem komunikasi, peralatan pemadaman, personil pemadam sehingga bertentangan dengan PP No.4 Tahun 2001, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.10 tahun 2010, Permentan No.5 Tahun 2018 serta peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian, dipastikan Terdakwa PT Kumai Sentosa belum menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam upaya pencegahan dan penanganan kebakaran hutan lahan yang menjadi kewajibannya selaku pelaku usaha perkebunan;

Bahwa akibat perbuatan Terdakwa tersebut telah menyebabkan kerusakan lingkungan karena terjadinya pelepasan gas rumah kaca selama kebakaran berlangsung sehingga menjadi dilampauinya baku mutu udara yang dapat ditenggang sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.13 tahun 1995 tentang Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan PP No.41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

Bahwa perihal kerusakan lingkungan akibat perbuatan Terdakwa tersebut juga dipertegas lagi oleh Ahli Dr. Ir. Basuki Wasis Msi yang menerangkan bahwa Ahli sudah melakukan pemeriksaan sample dan sample tersebut dinilai memenuhi syarat untuk dilakukan analisis kerusakan tanah dan lingkungan hidup, sehingga didapatkan simpulan pada pokoknya tanah rusak karena pH tanah meningkat, kadar air tanah menurun, bobot isi (bulk density) tanah meningkat dan porositas tanah menurun akibat terbakar.

Bahwa berdasarkan pendapat Ahli Dr. Ir. Basuki Wasis Msi dan Ahli Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, Magr ditetapkan nilai kerugian lingkungan akibat terjadinya kebakaran lahan di areal perkebunan Terdakwa PT Kumai Sentosa seluas 2.688 hektare adalah sebesar Rp935.735.340.000.

Bahwa oleh karena fakta-fakta hukum tersebut di atas dalam perkara a quo didasarkan pada alat-alat bukti ilmiah (scientific evidence), diperkuat dengan pendapat Ahli yang kompeten dan memenuhi kualifikasi Permen LH Nomor 7 Tahun 2014 serta laboratorium tempat dilakukannya pengujian sample sudah terakreditasi Nasional dari Kemendikbud dan tingkat ASEAN, maka alat-alat bukti tersebut autentik, valid dan sah, sehingga mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, oleh karenanya meyakinkan Majelis Hakim bahwa perbuatan Terdakwa telah memenuhi seluruh unsur Pasal 99 Ayat (1) juncto  Pasal 116 Ayat (1) huruf a juncto  Pasal 119 huruf c Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana dalam dakwaan alternatif kedua Penuntut Umum dan oleh karena itu Terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana.

Bahwa oleh karena Terdakwa adalah badan usaha, maka sesuai Pasal 116 Ayat (1) huruf a juncto  Pasal 119 huruf c Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juncto  Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Korporasi, terhadap Terdakwa harus dijatuhi pidana pokok berupa pidana denda dan pidana tambahan berupa perbaikan akibat tindak pidana untuk memulihkan lahan yang rusak akibat kebakaran lahan seluas kurang lebih 2.600 hektare dengan biaya sebesar Rp935.735.340.000 (sesuai memori Kasasi Penuntut Umum).

Bahwa secara filosofis penjatuhan pidana terhadap Terdakwa adalah upaya perbaikan atas kesalahan Terdakwa, oleh karenanya relevan apabila penjatuhan pidana pokok dan pidana tambahan bagi Terdakwa untuk memperbaiki lingkungan akibat tindak pidana harus dilakukan dengan biaya sepenuhnya ditanggung Terdakwa. Hal tersebut merupakan wujud nyata implementasi prinsip internasional yang berlaku secara universal, dikenal dengan prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) sebagai bagian dari prinsip substansi hukum lingkungan (substantive legal principle) yang harus ditegakkan dalam konteks penegakan hukum lingkungan di tanah air.

Dimintai komentarnya soal putusan Kasasi MA, Direktur Jenderal (Dirjen) Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Rasio Ridho Sani hanya mengatakan bahwa kewenangan terkait perkara ini ada di Jaksa. Rasio mengarahkan untuk menghubungi Jaksa. Dia mengaku belum menerima dan pelajari putusannya.

"Saya juga belum terima dan pelajari putusannya," kata Rasio Ridho Sani, Senin (8/11/2021).

Sementara itu Kasi Intel sekaligus Humas Kejari Kotawaringin Barat, Jul Indra Nasution mengaku baru mengetahui MA telah mengeluarkan putusan menolak Kasasi yang diajukan Kejari Kotawaringin Barat. Indra bilang akan membicarakan dahulu soal hasil putusan MA itu kepada pimpinan.