Masyarakat Adat Malamoi: Kembalikan Tanah dan Hutan Adat Kami

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Jumat, 19 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Masyarakat adat Sorong Selatan menuntut pemerintah mengembalikan lahan perusahaan yang dicabut izinnya. Mereka ingin memanfaatkan lahan dan hasil hutan di wilayah adat dengan pengetahuan adat setempat. 

Keinginan telah dibicarakan oleh masyarakat adat setelah Bupati Sorong Selatan mencabut izin usaha perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di Distrik Konda, Teminabuan, Moswaren, Saifi dan Seremuk pada Mei 2021 lalu. Tokoh perempuan adat dari Distrik Konda, Sopice Sawor, menyebutkan masyarakat adat Sub Suku Afsya dan Nakna di Distrik Konda telah membicarakan tuntutan ini. 

“Saat ini, kami masyarakat adat Sub Suku Afsya dan Nakna di Distrik Konda sudah duduk dan sedang membuat peta tanah dan hutan adat, peta tempat-tempat penting, yang kami minta pemerintah akui dan lindungi hak masyarakat adat”, ungkapnya dalam Dialog Kebijakan Pengakuan, Perlindungan dan Penghormatan Keberadaan dan Hak-hak Masyarakat Adat Kabupaten Sorong Selatan yang digelar oleh Yayasan Pusaka Bentala Rakyat bersama Relawan Pemuda Tolak Sawit dan Peduli Lingkungan Sosial. 

Perwakilan masyarakat adat yang ada di Sorong Selatan turut serta dalam diskusi ini, yakni perwakilan Distrik Saifi, Seremuk, Teminabuan, Wayer, Moswaren, Konda, Kais, Kais Darat dan Inanwatan, Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Sorong Selatan, DPMA Knasaimos, DAP Sorong Selatan, LPHD Sira – Mangroholo, LMA Sorong, dan AMAN Sorong Raya.

Tampak dari ketinggian Kampung Bariat, Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan./Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat

Selain itu perwakilan LSM dan organisasi mahasiswa yang datang sebagai peserta diantaranya Samdhana Institute, Greenpeace Indonesia, Bentara Papua, ECONUSA, PBHKP, PMKRI, GMKI, GAMKI, GMNI dan relawan pemuda. 

Pencabutan izin lokasi dan izin usaha perkebunan (IUP) perusahaan perkebunan kelapa sawit sendiri dilakukan Pemkab Sorong Selatan setelah mereka bersama pemerintah Provinsi Papua Barat melakukan evaluasi perizinan. evaluasi ini dilaksanakan bekerjasama dengan KPK berdasar Instruksi Presiden No. 18 tahun 2018 tentang Moratorium Sawit. 

Evaluasi ini menemukan pelanggaran pada enam perusahaan. Satu perusahaan, PT. Varia Mitra Andalan (VMA) memiliki IUP kedaluwarsa. Dua perusahaan, PT. Anugerah Sakti Internusa (ASI) dan PT. Persada Utama Agromulia (PUA), tidak mematuhi kewajiban dalam IUP. 

Satu perusahaan, PT. Internusa Jaya Sejahtera (IJS), tidak melanjutkan dana mengembalikan kepada pemda Sorong selatan. Dan dua perusahaan, PT. Permata Putera Mandiri (PPM) dan PT Putera Manunggal Perkasa (PMP), melanggar dokumen legalitas, pelanggaran operasional, berpotensi menelantarkan tanah, dan melakukan penanaman di luar HGU.

Pencabutan izin lokasi pun lantas dilakukan terhadap empat perusahaan, yakni PT. VMA (seluas 23.000 hektar), PT. ASI (seluas 37.000 ha), PT. PUA (seluas 25.000 ha), dan PT. IJS (seluas 40.000 ha).

Kertas Kebijakan ‘Kami Tidak Mau Ada Perkebunan Sawit Masuk Lagi’ yang disusun oleh Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Relawan Pemuda Tolak Sawit dan Peduli Lingkungan Sosial, Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya, dan Green Peace menyebutkan empat LSM ini telah melakukan pertemuan dengan masyarakat adat.

Pertemuan ini digelar di Kampung Srer Distrik Seremuk, Kampung Tapiri Distrik Teminabuan, Kampung Wersar Distrik Teminabuan, Kampung Sira dan Kampung Manggroholo Distrik Saifi, serta Kampung Bariat Distrik Konda.

Seluruh kampung ini terancam oleh operasi perusahaan perkebunan sawit dan mengaku tidak mengetahui apapun soal perizinan perusahaan padahal lokasinya ada di hutan milik adat mereka. Mereka pun lantas menuntut jaminan perlindungan dan pengakuan tanah dan hutan adat oleh pemerintah. Salah satu jaminan tersebut adalah pengembalian lahan perusahaan yang dicabut izinnya kepada mereka.