Mimbar Bebas Dukung Bupati Sorong Selatan Lawan Perusahaan Sawit

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat Adat

Jumat, 14 Januari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - "Kami gelar Mimbar Bebas ini sebagai panggung rakyat. Ini sederhana. Semuanya apa adanya. Bisa lihat tulisan-tulisan. Terus kayu ambil dari sana, kiri kanan. Pinjam sana sini. Ini menandakan murni perjuangan rakyat. Tanpa titipan manapun," kata Olland Abago, Koordinator Relawan Tolak Sawit dan Peduli Lingkungan Sorong Selatan, sebelum menjelaskan maksud dan tujuan digelarnya Mimbar Bebas kepada masyarakat yang hadir di Taman Tinarti, Teminabuan, Kabupaten Sorong Selatan, Jumat (7/1/2022) lalu.

Dijelaskannya, Mimbar Bebas ini adalah panggung bagi masyarakat untuk mengajak dan menyampaikan dukungan bagi Bupati Sorong Selatan dalam menghadapi gugatan yang diajukan dua perusahaan sawit, yakni PT Anugerah Sakti Internusa (ASI) dan PT Persada Utama Agromulia (PUA), ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura.

Olland menguraikan, aksi Mimbar Bebas ini merupakan aksi yang kedua kalinya yang ia dan kawan-kawan relawan Koalisi Masyarakat Adat Dukung Bupati Sorong Selatan lainnya lakukan. Aksi pertama sebelumnya digelar pada 4 Januari 2022 lalu.

"Untuk itu saya mengajak seluruh elemen masyarakat yang selama ini mendapat perhatian dari pemerintah sorong selatan. Baik itu lembaga gereja, lembaga pemuda, lembaga-lembaga masyarakat dari berbagai elemen, termasuk lembaga adat harus memberikan dukungan penuh kepada Bapak Bupati. Tidak boleh tinggal diam," lantang Olland melalui pengeras suara.

Aksi Mimbar Bebas digelar oleh Koalisi Masyarakat Adat, Pemuda Knasaimos dan GKI Klasis Teminabuan di Taman Tinarti, Teminabuan, Sorong Selatan, 7 dan 10 Januari 2022 lalu. Mimbar Bebas ini digelar untuk mendukung Bupati Sorong Selatan dalam menghadapi Gugatan PT ASI dan PT PUA di PTUN Jayapura./Foto: Koalisi Masyarakat Adat Sorong Selatan

Olland mewakili Koalisi meminta Majelis Hakim PTUN Jayapura untuk tidak mengabulkan dan tidak menerima gugatan PT ASI dan PT PUA karena keberadaan dan rencana aktivitas perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut ditolak masyarakat adat.

Di tempat sama, Kepala Distrik Teminabuan, Frans Salmon Thesia menyampaikan, investasi yang ada ke Sorong Selatan adalah proyek negara. Tetapi sebaliknya negara juga wajib memperhatikan hak-hak rakyat, yang mana diatur undang-undang. Frans menyebut, sebelum negara ini hadir, masyarakat adat lebih dulu hadir. Maka ia meminta hargailah masyarakat adat, yang walaupun hanya punya satu atau dua pohon sagu, tetapi merdeka di tanahnya sendiri.

"Saya berdiri bukan sebagai Kepala Distrik, tetapi sebagai masyarakat adat, orang asli Tehit. Yang turut prihatin terhadap hutan kita yang hanya sekian hektare. Saya percaya kalau sampai diambil, habis. Lalu kami ini mau pergi berburu di mana, meramu di mana? Kami tidak punya banyak dusun (hutan) sagu," ujar Frans berorasi.

"Perusahaan yang tidak tahu diri diusir ditolak tetapi tetap masih mengikuti jalur-jalur hukum. Banyak cerita tentang persoalan kelapa sawit. Kelapa sawit hadir menurut mereka memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Saya mau tanya, berapa orang di daerah yang jadi pemimpin-pemimpin besar di sana? Tidak ada, semua jadi kuli, jadi kuli kasar," lanjut Frans.

Mimbar Bebas di Taman Tinarti, Teminabuan, Jumat pekan lalu itu, berlangsung hingga malam. Sejumlah tokoh masyarakat adat dan suku dari berbagai kampung hadir. Masing-masing dari mereka yang hadir kemudian membubuhkan tanda tangan di sebuah kertas sebagai bentuk akad dukungan terhadap Bupati Sorong Selatan Samsudin Anggiluli melawan PT ASI dan PT PUA di PTUN Jayapura.

Di waktu yang sama, orasi dukungan dan pembentangan spanduk serta kertas-kertas berisi dukungan terhadap Bupati Sorong Selatan juga dilakukan oleh Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa dan Mahasiswi Kampung Kwowok, Distrik Seremuk, Sorong Selatan.

Di lain hari, Minggu, 9 Januari 2022, puluhan jemaat gereja di Kampung Seloyo Distrik Teminabuan, membentangkan spanduk dukungan di depan Gereja Kristen Injili (GKI) Klasis Teminabuan, terhadap Bupati Sorong melawan PT ASI dan PT PAU.

Hari berikutnya, Senin, 10 Januari 2022, Mimbar Bebas lainnya digelar. Lokasinya juga di Taman Tinarti, Distrik Teminabuan. Kali ini, GKI Klasis Teminabuan mengisi Mimbar Bebas melanjutkan aksi yang mereka lakukan di hari sebelumnya di depan gereja. Seperti di Mimbar Bebas sebelumnya, satu persatu masyarakat adat Sorong Selatan maju dan berorasi menggunakan pengeras suara. Termasuk tokoh masyarakat adat dan suku, perwakilan pemuda, OK, serta perwakilan perempuan dan pihak gereja.

Mimbar bebas itu digelar tanpa ada kendala permasalahan apapun. Sejumlah pejabat pemerintah daerah dan DPRD juga hadir di Taman Tnarti dan menerima langsung aspirasi yang disampaikan masyarakat adat.

Bersamaan dengan Mimbar Bebas, pihak GKI Klasis Teminabuan mengeluarkan surat pernyataan Nomor: 002/A-7.3/G-16.a/I/2022. Isinya menyatakan sikap tegas gereja terhadap penolakan kelapa sawit di Kabupaten Sorong.

"Pengerusakan lingkungan telah menimbulkan banyak dampak negatif, yaitu pemanasan global, pencemaran udara, air, tanah dan lain-lain. Oleh karena itu sikap exploitatif terhadap lingkungan merupakan bentuk pengerusakan terhadap karya Allah. Sebab lingkungan hidup harus dijaga, dipelihara dan dilestarikan demi menjaga keseimbangan ekologis

Dengan demikian, maka Gereja secara khusus Klasis GKI Teminabuan yang terdiri dari 37 jemaat, 1 pos pelayanan, 5 WK di wilayah pelayanan Klasis GKI Teminabuan secara tegas, menolak pembangunan lahan (kebun) dan pabrik kelapa sawit yang berdampak pada kerusakan lingkungan secara global.

Dukungan kita menjadi bagian dalam menjaga dan melestarikan alam ciptaan Tuhan bagi kelangsungan hidup anak cucu kita," bunyi surat pernyataan GKI Klasis Teminabuan yang diterima Betahita.

Aksi Mimbar Bebas semacam ini rencananya akan digelar beberapa kali lagi, baik di Sorong Selatan maupun di Jayapura, hingga sidang gugatan PT ASI dan PT PUA di PTUN Jayapura tuntas.

Dukungan terhadap Bupati Sorong Selatan melawan PT ASI dan PT PUA juga datang dari Pdt. Mamberob Yosphus Rumakiek, anggota DPD RI Dapil Papua Barat. Dalam pernyataan tertulisnya, Bung Mambe sapaan akrabnya, mengatakan, gugatan oleh sejumlah perusahaan perkebunan sawit terhadap Bupati Sorong dan Bupati Sorong Selatan adalah hal yang sangat miris. Karena pemerintah daerah justru malah digugat oleh perusahan perkebunan yang datang dan mendapatkan izin atau mau beroperasi di daerah.

"Bukannya mereka (perusahaan) harus menghargai dan menghormati keputusan pemerintah daerah malah pemerintahnya digugat. Bagaimana dengan rakyat yang tanahnya diambil tanpa izin mereka pemilik hak ulayat."

Mamberob heran, pencabutan izin usaha perusahaan itu didasari oleh hasil evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah provinsi, pemerintah daerah dan KPK. Bagi perusahaan-perusahaan yang tidak beres atau bermasalah, izinnya dicabut. Atas dasar itu, maka apabila kemudian muncul gugatan terhadap bupati, maka semestinya pemerintah provinsi dan pusat juga harus beri dukungan atau ikut pasang badan.

"Saya pikir kalau pemerintah yang digugat ini sudah kelewatan karena pemerintah harus mengatur wilayah pemerintahan serta izin-izin dan memperhatikan keberadaan masyarakat adat pemilik hak ulayat yang harus mendapat keadilan dari kepemilikan hutan, malah digugat," kata Mamberob.

Ia meminta kepada Presiden, melalui DPD RI, untuk memberikan teguran keras kepada pihak perusahaan yang bermasalah dan tidak menghormati keputusan pemerintah daerah, bila perlu izinnya harus dengan tegas dicabut. Selanjutnya ia meminta kembalikan tanah dan hutan adat kepada masyarakat adat pemilik hak ulayat di wilayah Kabupaten Sorong Selatan terutama di Distrik Konda dan sekitarnya.

"Masyarakat punya sumber makan ada di hutan, itu yang sudah disediakan sejak turun temurun dari waktu ke waktu tidak pernah habis, tapi begitu kelapa sawit masuk maka semuanya hilang dalam sekejap, lantas masyarakat ini akan kemana, kemana dia bergantung hidup selanjutnya sampai anak cucu nanti?"

Terakhir Mamberob menganggap, perkebunan kelapa sawit di Sorong Selatan tidak membawa dampak positif. Sebab hutan justru dapat menjamin sumber makanan bagi masyarakat adat untuk generasi ke depan sampai 20 bahkan 30 tahun mendatang.

"Tidak sebanding kehadiran kelapa sawit, dengan tetap memberikan hutan itu lestari. Kami tetap konsen menjaga hutan adat sebagai salah satu provinsi paru-paru dunia selain di Amazon dan di Tanah Papua," tutup Mamberob.