Izin Dicabut tapi Masih Buka Lahan, Perusahaan Bisa Dipidana

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Rabu, 02 Februari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Setidaknya ada dua perusahaan perkebunan sawit di Provinsi Papua dan Papua Barat yang diduga masih nekat melakukan pembabatan hutan atau pembukaan lahan, walau izin atau persetujuan pelepasan kawasan hutannya telah dicabut. Dua perusahaan itu yakni PT Permata Nusa Mandiri (PNM) dan PT Subur Karunia Raya (SKR). Aktivitas pembukaan lahan yang dilakukan dua perusahaan ini bisa dipidanakan.

Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Adiranus Eryan menganggap, bila PT PNM dan PT SRK benar dan terbukti melakukan kegiatan pembukaan lahan di atas areal izin yang telah dicabut, maka kegiatan itu masuk dalam kategori pelanggaran pidana. Karena kegiatannya dilakukan tanpa izin--karena izinnya telah dicabut. Adrianus menganggap pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) semestinya bisa melakukan tindakan.

"Semestinya bisa langsung ditindak. Dua perusahaan ini bisa langsung dilaporkan tindak pidana. Sebenarnya KLHK bisa langsung gerak dengan menurunkan Polhut dan Gakkumnya," ujar Adrianus, Senin (31/1/2022).

Menurut Adri, dilihat dari perspektif hukum, ketika perizinannya dicabut maka perusahaan pemegang izin haruslah angkat kaki. Apabila pihak perusahaan masih nekat beroperasi di saat izinnya sudah dicabut maka hal tersebut sudah bisa dianggap tindak pidana.

Tampak areal bertutupan hutan di areal PT PNM dibabat, diduga pembabatan hutan ini dilakukan untuk pembukaan lahan perkebunan sawit./Foto: Yayasan Pusaka

"Sudah masuk tindak pidana, bisa segera ditindak. Tinggal tunggu saja tindak lanjutnya seperti apa."

Dalam kasus PT PNM dan PT SRK, lanjut Adri, dua perusahaan itu melanggar Pasal 50 ayat 2 terutama huruf a dan c juncto Pasal 78 ayat 2 dan ayat 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Selain itu juga melanggar Pasal 12 huruf b dan c juncto Pasal 82 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

"Dua pasal itu setidaknya. Tapi untuk lebih jelasnya harus melihat perbuatannya apa saja di lapangan. Kalau IPKH-nya (Izin Pelepasan Kawasan Hutan sekarang disebut Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan) dicabut, statusnya kembali menjadi kawasan hutan. Kegiatan di atasnya dilakukan tanpa alas hak (karena sudah dicabut)," ujar Adri.

Adrianus berharap KLHK bisa lebih transparan terhadap pencabutan izin konsesi kawasan hutan yang jumlahnya 192 izin mencakup lahan seluas sekitar 3,2 juta hektare. Terutama mengenai tindak lanjut pascapencabutan izin. Karena, menurut Adri, pencabutan izin saja tidaklah cukup. Harus ada tindak lanjutnya demi memastikan pelaku usaha tidak terus berkegiatan atau berkilah dan lain sebagainya.

"Yang saya baca dari berita, katanya lahan yang dicabut izinnya tersebut mau dialihkan ke pihak-pihak lain. Seperti organisasi keagamaan juga, ini saya kurang paham sebenarnya, apa rencana pemerintah terhadap lahan-lahan yang dicabut izinnya tersebut."

Hingga tulisan ini selesai dikerjakan, tidak ada komentar ataupun pernyataan dari Direktur Jenderal (Dirjen) Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Ridho Sani mengenai temuan Yayasan Pusaka ini. Upaya konfirmasi yang betahita lakukan kepada yang bersangkutan via pesan teks tidak mendapat respon apapun.

Tiga Perusahaan Terhubung dengan Salim Group

Sebelumnya, berdasarkan pantauan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan informasi jaringan komunitas, terdapat aktivitas penebangan hutan pada areal perkebunan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM) di daerah Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, pada Minggu kedua Januari 2022. Aktivitas penebangan hutan ini diduga untuk pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit.

Padahal diketahui izin konsesi kehutanan--persetujuan pelepasan kawasan hutan--yang dipegang oleh PT PNM itu telah dicabut oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 5 Januari 2022 kemarin, melalui Surat Keputusan No.SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan. Izin konsesi yang dicabut itu yakni SK.680/MENHUT-II/2014 seluas 16.182,48 hektare yang berlokasi di Jayapura, Papua.

Selain PT PNM, Yayasan Pusaka juga menyebut ada perusahaan lain yang izinnya sudah dicabut namun masih aktif beroperasi membuka, menebang dan menggusur hutan. Perusahaan tersebut adalah PT Subur Karunia Raya (SKR) yang berlokasi di Kabupaten Teluk Buntuni, Provinsi Papua Barat. Izin atau persetujuan pelepasan kawasan hutan PT SKR, dengan nomor SK 452/MENHUT-II/2014 seluas 38.770 hektare, juga telah dicabut bersamaan dengan 191 izin lain oleh Menteri Siti Nurbaya 5 Januari 2022 kemarin.

Tak hanya PT PNM dan PT SRK saja. Yayasan Pusaka juga menerima laporan tentang adanya aktivitas pembukaan lahan yang dilakukan oleh PT Rimbun Sawit Papua (RSP) di Kabupaten Fakfak. Aktivitas pembukaan lahan oleh perusahaan sawit ini diduga juga menyalahi aturan. Karena areal izin PT RSP telah mengalami penyusutan signifikan.

Yang mana, sebagian areal konsesi PT RSP seluas 7.300 hektare telah dinyatakan dikeluarkan dari Izin Usaha Perkebunan. Hal ini bahkan telah disebutkan dalam Surat Perusahaan No. 076/RSP/XII/2020 tanggal 24 Desember 2020 yang ditandatangani oleh Direktur PT RSP. Yang isinya menyatakan tidak bisa dikelola oleh PT RSP, karena enclave masyarakat, kawasan hutan, areal peternakan pemerintah daerah, dan areal penundaan izin baru. Pernyataan tidak akan meneruskan kegiatan ini juga dinyatakan pula pada pertemuan yang digelar pada 18 Desember 2020 lalu.

Yayasan Pusaka juga menerima laporan bahwa perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut melakukan pengembangan usaha tanpa Hak Guna Usaha dan diduga lokasi penebangan hutan berada di luar izin usaha perkebunan. Aktivitas penebangan hutan di luar izin usaha perkebunan ini terjadi menjelang akhir 2021 lalu.

Berdasarkan data Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM, diketahui pemilikan saham dan kepengurusan perusahaan PT Permata Nusa Mandiri, PT Subur Karunia Raya dan PT Rimbun Sawit Papua ini saling berhubungan dengan Indo Gunta Group dan Salim Ivomas Pratama Tbk. (SIMP) Group, dikenal juga sebagai Salim Group/Indofood Group.

Grup perusahaan ini menguasai dan memiliki 10 perusahaan perkebunan di Tanah Papua dan berada di kawasan hutan dengan luas 266.736 hektare. Perusahaan ini memperoleh izin langsung dari pemerintah, dan atau diakuisisi dari perusahaan lain, tanpa sepengetahuan masyarakat adat setempat dan melanggar persyaratan peraturan. Sejauh ini, tanah dan hutan tersebut belum sepenuhnya diusahakan, berkonflik dan masih ada penolakan masyarakat adat setempat.

"Pemerintah daerah dan nasional seharusnya mengambil langkah-langkah proaktif menindaklanjuti hasil evaluasi dan putusan sanksi pencabutan izin usaha perusahaan, dengan melarang aktivitas perusahaan, menegakkan hukum dan memberikan sanksi pidana, membayar denda dan kompensasi ganti rugi, untuk masyarakat terdampak dan restorasi lingkungan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan," jelas Tigor G. Hutapea, Staf Divisi Advokasi Yayasan Pusaka dalam siaran pers yang dirilis 28 Januari 2022 lalu.

Tigor melanjutkan, pengabaian dan pembiaran atas pelaksanaan putusan tersebut dapat memicu konflik dan meningkatkan ketegangan antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan. Demikian pula, dalam konteks penghormatan HAM dan mencegah terjadinya konflik, perusahaan seharusnya menghormati keputusan pemerintah dan masyarakat, tidak memaksakan kehendak sendiri.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat meminta pemerintah tidak lagi memberikan kemudahan perizinan dan memberikan izin baru kepada perusahaan negara dan swasta (dalam negeri dan luar negeri) yang terbukti melakukan aktivitas perusakan alam dan melanggar HAM.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan Surat Keputusan No.SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan, 5 Januari 2022 lalu. Berdasarkan Lampiran SK tersebut yang memuat daftar perizinan perusahaan yang dicabut, termasuk di Provinsi Papua sebanyak 26 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan luas 681.029 hektare, dan di Provinsi Papua Barat sebanyak 22 perusahaan dengan luas 382.071 hektare.